Seharusnya, tatapan dingin Rega saat ini sudah biasa di mata Marlo. Dari sahabatnya yang lain, laki-laki berkacamata itu memanglah yang paling pendiam. Dia hanya bicara seperlunya, menanggapi sesuatu dengan kata oh, dan menjadi yang paling tertutup di antara mereka berempat.
Tapi, hari ini tidaklah sama seperti hari-hari sebelumnya. Rega dan Marlo memiliki masalah pribadi yang tidak mereka bagikan kepada yang lain. Keduanya tak saling bicara lagi, bahkan untuk menatap mata lawannya masing-masing pun seakan terlalu berat untuk dilakukan.
Ditemani oleh Satya dan Rezi sebagai penengah, semuanya berkumpul di rumah Rega untuk menyusun kembali kesalahpahaman puzzle ini. Setidaknya, jangan sampai persahabatan mereka berantakan hanya gara-gara seorang perempuan.
"Sejujurnya gue kaget sih pas tahu kalau Rega putus sama Ayla," kata Rezi membuka percakapan.
Tidak ada yang berkomentar. Rega dan Marlo masih terdiam di dalam pikirannya masing-masing, sedangkan Satya sesekali melihat keduanya dengan perasaan bingung.
"Gue jauh-jauh dateng ke rumah Rega demi bicara soal ini. Speak up, please."
"Nggak usah terlalu mencampuri masalah gue," jawab Rega pada Rezi.
"Ga, denger gue," ucap Marlo cepat. "Ayla itu sahabat gue. Dengan cara lo memutuskan dia--"
"Gue udah nggak cocok sama dia, Mar. Itu alasan gue." Rega langsung memotong.
"Memutuskan hubungan dengan tiba-tiba hanya untuk alasan nggak cocok. Apa kalian pikir itu logis?" tanya Marlo pada Rezi dan Satya.
Satya tidak berani bicara. Ia hanya takut dianggap berat sebelah dalam permasalahan ini dan malah membuat kubu baru pada persahabatan mereka.
"Calm down, guys. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik. Gue agak nggak enak aja ngelihat kalian berdua yang beberapa hari ini jadi terkesan menjauh."
"Marlo aja yang terlalu berlebihan," kata pria berkacamata itu santai.
Jujur saja, jika Rega bukan bagian dari persahabatan ini, Marlo akan langsung menghajarnya saat ini juga, apalagi telapak tangannya sudah terkepal keras. Tapi ia tetap harus menahan emosi. Lagipula, jika dia terlalu lama menghabiskan waktu di sini, peluang emosinya yang akan terus naik tentu cukup besar.
"Gue pergi. Butuh waktu buat sendiri."
Rega memperhatikan dengan jelas ketika Marlo pergi dari kamarnya. Tatapannya lagi-lagi tidak bersahabat. Ia tahu ada rahasia yang Marlo sembunyikan, begitu pula dengan rahasia yang ia tutupi kepada tiga sahabatnya ini.
***
"Rega masih belum mau bicara," kata Marlo melirik ke arah lawan bicaranya.
"Nggak apa-apa," jawab perempuan berambut pendek sebahu itu.
Suasana perpustakaan sekolah memang selalu sepi. Biasanya di waktu seperti ini, kebanyakan siswa berseragam putih abu akan menghabiskan waktu di kantin untuk mengisi ulang dahaga mereka. Tapi, rasanya perpustakaan adalah tempat yang paling cocok dalam membahas diskusi serius seperti ini, terutama untuk seseorang yang baru patah hati.
Ayla masih asik menggambar di sketch book-nya dengan pensil tanpa menatap Marlo. Jika sudah seperti ini, ia akan memasuki imajinasinya sendiri yang dituangkan dalam bentuk seni. Seperti siang ini misalnya. Ia melukis potret seorang perempuan yang sedang memeluk dirinya sendiri dalam kegelapan. Entah ditujukan untuk siapa, tapi Marlo berspekulasi bahwa itu merupakan curahan hati Ayla.
"Sekarang aku lebih baik, Mar." Ayla berkata serius seraya membayangkan dirinya dua minggu lalu ketika baru diputuskan oleh Rega dengan cara sepihak, bahkan hanya melalui telepon. Â Saat itu, dia jelas terpuruk karena tenggelam dalam ketidakmengertian sikap Rega yang berubah mendadak.
Mata mereka bertemu beberapa detik. Marlo bisa melihat masih ada kesedihan yang tersisa dalam tatapan itu.
"Aku sama Rega nggak terlalu dekat meski kita sahabatan. Belum lagi sifat dia yang pendiam membuat aku kesulitan untuk cari informasi dari dia. Aku harap kamu ngerti."
"Untuk saat ini aku nggak mau membahas tentang dia dulu," jawab Ayla yang kemudian melanjutkan lukisan pensilnya.
"Gimana kalau Sabtu besok kita jalan-jalan?" tanya Marlo tiba-tiba yang hanya dibalas Ayla dengan tatapan bingung. "Kita ke pameran lukis yang baru buka itu."
Tanpa pikir panjang, Ayla langsung menyetujui saran itu, disusul oleh senyum simpul yang beberapa hari ini jarang dilihat Marlo.
***
Dengan menggunakan sepeda motor matic favoritnya, Marlo menjemput Ayla. Setelan kemeja putih rapi dengan celana jins biru tua menjadi pelengkap fashion-nya hari ini.
Setengah jam perjalanan, akhirnya mereka berdua sampai di tempat tujuan. Meski hanya dengan duduk di motor terkena panas, angin, juga polusi, Ayla tidak pernah mengeluhkan hal itu ketika sedang pergi bersama Marlo. Baginya, saat-saat seperti ini justru terkesan unik dan memberikan pengalaman tersendiri bagi persahabatan mereka.
Pameran lukisan ini baru buka seminggu lalu. Di dalamnya menghadirkan banyak karya seni yang dipajang di dinding putih dengan bingkai kokoh sebagai pelindungnya. Tidak hanya lukisan yang terbuat dari cat saja, lukisan pensil seperti yang selalu dibuat Ayla pun ada di sini. Perempuan itu pun seketika langsung jatuh cinta pada tempat ini. Rasanya, ia ingin terus menghabiskan waktu di sini tanpa batas.
Berbeda dari Ayla yang menyukai karya lukis pensil hitam putih, Marlo justru lebih tertarik dengan lukisan bermedia kanvas dengan banyak kombinasi warna. Ketika di ruang pameran pun mereka berpisah beberapa saat untuk menikmati karya seniman favorit masing-masing.
"Nih, es krim green tea kesukaan kamu," kata seseorang yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Ayla memegang dua buah es krim stik yang masih terbungkus.
"Marlo, kamu itu memang paling tahu apa yang bisa buat aku bahagia." Dengan berbunga-bunga, Ayla menerima es krim tersebut dan langsung membukanya.
Keduanya terus menelusuri tempat pameran dengan es krim yang ada di tangan masing-masing. Sesekali mereka mengobrol tentang bagaimana keadaan di sekolah, tapi lebih banyak membicarakan hal yang berhubungan dengan banyak lukisan di sini.
"Jadi inget ya pertama kali kita ketemu pas di ekskul seni." Tiba-tiba saja Marlo membuka memori nostalgia ketika keduanya sedang duduk di sudut ruangan untuk istirahat sebentar.
Sambil menikmati es krimnya yang belum habis, sudut bibir Ayla perlahan melengkung membentuk senyum, lalu tertawa pelan. "Kamu masih suka bahas yang dulu-dulu, deh."
Sebenarnya, persahabatan mereka bukanlah persahabatan yang terbentuk sejak lama. Mereka baru saling mengenal dua tahun lalu ketika masih kelas sepuluh di sekolahnya. Karena sama-sama menyukai bidang seni lukis, keduanya dipertemukan di sebuah ekskul. Meski awalnya hubungan mereka seperti Tom and Jerry, tapi pelan-pelan akhirnya bisa menjadi sahabat dan sampai sedekat ini.
"Aku nggak akan pernah lupa waktu kamu numpahin cat air ke sepatu aku," kata Marlo mengingat kembali memori usang itu.
"Hahaha maaf, deh. Itu kan nggak sengaja."
"Ya, aku udah memaafkan kamu sejak lama. Lagipula, gara-gara kejadian itu juga kita bisa jadi sahabat kayak gini, kan?"
"Bener banget, deh. Oh iya, habis ini kita mau ke mana?"
"Hmmm... nonton, yuk!"
"Ayo! Gimana kalau film horror?"
Saat itu juga, ekspresi Marlo berubah drastis. Wajahnya mendadak pucat, disusul oleh keringat dingin yang mengalir dari pelipisnya.
"Kali ini aja, Mar." Ayla membujuk paksa.
Mau tak mau, Marlo menyetujuinya.
***
Ini bukan kali pertama mereka menghabiskan waktu bersama. Sebelumnya Marlo dan Ayla pernah juga nonton berdua seperti ini. Kadang film yang ditonton adalah genre romantis, action, kadang juga horror. Sudah bukan hal asing lagi jika mereka makan popcorn berdua di dalam studio, selfie bareng, bahkan sampai menangis jika filmnya sedih. Bahkan, ketika nonton film horror dan ada adegan yang menakutkan, secara refleks Marlo akan menyembunyikan kepalanya di bahu Ayla. Seperti hari ini, misalnya.
Setelah selesai menonton film horror yang disukai Ayla, keduanya berfoto bersama di dalam studio, lalu sibuk dengan gadget masing-masing untuk membagikan momen tersebut di sosial media.
AYLA on Instagram Story
I don't need boyfriend. I just need best friend.
MARLO on Instagram Story
Makasih lho film horrornya :(Â
[with Ayla]Â
[@ Cinema XXI]
Jauh dari tempat Marlo dan Ayla nonton, ada seseorang yang tanpa sengaja melihat aktivitas mereka di beranda sosial medianya. Senyum sinisnya yang khas mulai terbentuk bersamaan dengan jarinya yang mengetik pesan khusus untuk mereka.
REGA: Duaan aja, nih?
"Caper banget jadi cowok," kata Marlo cuek saat tahu Rega mengomentari fotonya bersama Ayla.
***
Ayla datang ke sekolah cukup pagi dengan tatanan rambut yang diikat menyerupai ekor kuda. Ketika di koridor menuju kelasnya, ternyata ada Rega di sana. Kelas mereka memang berdekatan sehingga hal seperti ini sebenarnya sudah tidak asing lagi. Tapi, dengan hubungan keduanya yang masih belum baik, ada kesulitan tersendiri saat menatap laki-laki berkacamata itu.
Ayla sudah menundukkan kepala, tapi Rega malah menghalangi jalannya dengan kesengajaan.
"La, bisa kita bicara sebentar?" tanya Rega baik-baik.
"Untuk apa, Ga?" Ayla balik bertanya tanpa memandang ke arah lawan bicaranya.
"Sebentar aja, kok. Ya?"
"Kalau orang nggak mau ya jangan dipaksa, dong."
Suara itu mengagetkan keduanya. Marlo datang dengan santainya dari balik punggung Rega, kemudian mendekati Ayla, merangkulnya, dan mengajak perempuan itu pergi dari sana agar tidak terlibat lebih jauh lagi dengan sang mantan yang nampaknya belum bisa move on. Rega hanya terdiam kaku tanpa bisa melakukan apa-apa untuk mencegah Ayla pergi. Mungkin benar dugaannya, tidak secepat itu harusnya ia memutuskan Ayla.
***
Di dalam kelas, Lidia menyambut Ayla dengan baik. Mereka selalu dipertemukan di kelas yang sama sampai kelas 12 ini, bahkan sebangku. Jadi tidak heran lagi jika keduanya sudah tahu kepribadian masing-masing beserta masalah apa saja yang sedang dihadapi oleh temannya itu.
Seperti halnya perempuan di usia remaja, jika ada waktu kosong tanpa ada guru yang sedang mengajar, Ayla dan Lidia selalu mencari topik seru untuk dijadikan obrolan di kelas. Biasanya mereka lebih sering membicarakan tentang fashion, tapi masalah asmara pun sepertinya tidak akan terasa bosan untuk dibahas.
"By the way, kamu udah nggak sedih lagi kan sekarang gara-gara diputusin sama Rega?"
"Aku nggak mau ngomongin tentang dia dulu, ah. Rasanya tuh gimana, ya..." Ayla berpikir sejenak. "... orangnya tuh nggak konsisten. Kayak nggak punya pendirian gitu."
"Maksudnya...?"
Ayla pun menceritakan kembali beberapa poin tentang Rega yang belum Lidia tahu. Salah satunya adalah tentang sikap Rega pagi tadi yang membuat dirinya sendiri bingung.
"Kalau mantan ya mantan, lah. Yang mutusin siapa, yang ngejar-ngejar siapa." Rasanya, Ayla sedikit kepedean di mata Lidia.
"Bicara soal Rega, nih, dia kan salah satu sahabatnya Marlo. Begitu pula dengan kamu yang sahabatan sama dia. Mereka berdua nggak berantem gara-gara kamu putus sama Rega, kan? If you know what I mean."
Ayla ragu untuk mengatakannya, tapi dia juga butuh seseorang untuk berbagi mengenai kisah ini.
"Hmmm... sejujurnya sih, hubungan mereka lagi nggak begitu baik."
***
Untuk saat ini, Rega dan Marlo hanya akan bicara jika memang sangat diperlukan. Keduanya sama-sama dingin, sulit diajak kumpul, apalagi jika membahas tentang Ayla. Rezi yang sekelas dengan Marlo, dan Satya yang sekelas dengan Rega, sebisa mungkin membuat jadwal khusus agar keduanya bisa bertemu. Hasilnya, nihil.
"Gue nggak bisa terima dia nyakitin sahabat gue, Re," kata Marlo ketika bersama  Rezi di kantin sekolah. "Lo nggak akan lupa kan ketika gue malem-malem datang ke rumah Ayla cuma untuk nenangin dia yang shock? Dia lemah, bahkan sampai penyakit asmanya kumat."
"Marlo--"
"Selain menyakiti psikologis, dia juga menyakiti fisik Ayla. Untuk perempuan seperti dia, patah hati itu bukan hal yang sederhana."
Tidak seperti Marlo dan Rezi yang menghabiskan waktu istirahat di kantin, Rega lebih memilih berdiam diri di kelas sambil mengerjakan beberapa soal fisika untuk persiapan UN beberapa bulan lagi. Suasana kelas cukup sepi sebenarnya, tapi Satya ada di sana. Dia belum menyerah untuk menjadi penengah di antara Rega dan Marlo.
"Lo nggak menganggap kalau Marlo itu orang ketiga, kan?" tanya Satya pelan, tapi tidak dijawab oleh lawan bicaranya. "Ga!," ulang dia sekali lagi.
"Gue nggak pernah ngomong gitu," jawabnya santai tanpa mengalihkan pandangnya dari buku. "Lo sendiri yang bilang, kan?"
Satya tidak bisa berkutik lagi. Sepertinya ia telah salah bicara. Seharusnya, ia bisa menanyakan hal ini dengan lebih halus. Tidak to the point seperti ini. Kesannya, malah jadi dia yang menuduh Marlo sebagai penghancur hubungan Rega dan Ayla.
"Kalau gitu, gue ganti pertanyaannya." Satya melanjutkan ragu.
"Apa?"
"Kenapa lo mutusin Ayla secara tiba-tiba? Bener kata Marlo, ketidakcocokan bukanlah hal yang logis."
Kali ini, Rega yang tidak bisa berkutik.
***
Next Chapter: (Not) A Friendzone Story - Middle Part
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H