"Hmmm... sejujurnya sih, hubungan mereka lagi nggak begitu baik."
***
Untuk saat ini, Rega dan Marlo hanya akan bicara jika memang sangat diperlukan. Keduanya sama-sama dingin, sulit diajak kumpul, apalagi jika membahas tentang Ayla. Rezi yang sekelas dengan Marlo, dan Satya yang sekelas dengan Rega, sebisa mungkin membuat jadwal khusus agar keduanya bisa bertemu. Hasilnya, nihil.
"Gue nggak bisa terima dia nyakitin sahabat gue, Re," kata Marlo ketika bersama  Rezi di kantin sekolah. "Lo nggak akan lupa kan ketika gue malem-malem datang ke rumah Ayla cuma untuk nenangin dia yang shock? Dia lemah, bahkan sampai penyakit asmanya kumat."
"Marlo--"
"Selain menyakiti psikologis, dia juga menyakiti fisik Ayla. Untuk perempuan seperti dia, patah hati itu bukan hal yang sederhana."
Tidak seperti Marlo dan Rezi yang menghabiskan waktu istirahat di kantin, Rega lebih memilih berdiam diri di kelas sambil mengerjakan beberapa soal fisika untuk persiapan UN beberapa bulan lagi. Suasana kelas cukup sepi sebenarnya, tapi Satya ada di sana. Dia belum menyerah untuk menjadi penengah di antara Rega dan Marlo.
"Lo nggak menganggap kalau Marlo itu orang ketiga, kan?" tanya Satya pelan, tapi tidak dijawab oleh lawan bicaranya. "Ga!," ulang dia sekali lagi.
"Gue nggak pernah ngomong gitu," jawabnya santai tanpa mengalihkan pandangnya dari buku. "Lo sendiri yang bilang, kan?"
Satya tidak bisa berkutik lagi. Sepertinya ia telah salah bicara. Seharusnya, ia bisa menanyakan hal ini dengan lebih halus. Tidak to the point seperti ini. Kesannya, malah jadi dia yang menuduh Marlo sebagai penghancur hubungan Rega dan Ayla.
"Kalau gitu, gue ganti pertanyaannya." Satya melanjutkan ragu.