Aku juga jadi lebih sering menanyakan kabarmu lewat Kirana, adikmu. Dia memberiku informasi tentang keadaan kamu di sana. Begitu lega ketika tahu bahwa dirimu baik-baik saja. Mungkin beberapa saat lagi hubungan kita bisa kembali membaik.
Namun, semua tidak seindah yang aku pikirkan. Pikiranmu jadi semakin kacau. Hubungan kita semakin rumit. Tidak ada lagi canda dan tawa. Aku seperti tidak mengenal Kinar yang dulu. Semuanya benar-benar berubah. Seminggu lamanya kita tidak berkomunikasi. Aku sibuk pada urusan kuliah, kamu juga sibuk pada kehidupanmu di sana.
Beberapa hari setelah Hari Natal tiba, aku mendapat telepon dari Kirana bahwa kamu masuk rumah sakit dengan kondisi yang sangat lemah. Mungkin itu disebabkan karena kamu terlalu banyak pikiran. Saat itu, dunia seakan berhenti. Yang bisa aku pikirkan adalah aku harus segera pulang ke Indonesia. Sekarang juga.
"Hey, hey, what are you doing?" tanya Kim kebingunan melihat aku sedang memasukkan baju ke koper besar.
"I have to go. My wife is in dangerous condition. She needs me."
"No, you can't!"
Ya, tidak mungkin aku mendadak pergi. Secara peraturan pun aku baru bisa pulang ke Indonesia setelah 6 bulan. Dan ini baru bulan ke-5.
Di kamar, aku langsung menangis sejadi-jadinya. Aku ingin pulang dan menemani Kinar di sana secara langsung. Tapi aku tidak bisa pergi dan hanya bisa mendoakan istriku dari sini agar kondisinya baik-baik saja.
***
Januari 2009
Hari ketiga di tahun 2009 menjadi sejarah penting dalam hidupku. Anak laki-lakiku lahir dengan selamat. Meski saat itu aku tidak ada di sana, tapi aku bisa mendengar suara tangisnya lewat telepon yang disambungkan oleh Kirana. Keadaanmu masih lemah sehingga belum bisa bicara denganku.