Hai selamat berpisah lagi...
Meski masih ingin memandangimu, lebih baik kau tiada di sini...
Tidak ada yang menyangka bahwa Rafika akan ikut mengantar Azka ke stasiun, padahal sebelumnya Aul telah mengingatkannya agar tidak terlibat jauh dalam drama tak berkesudahan ini. Rafika menanggapinya santai, seolah ia sudah bisa mengakhiri ini semua. Margo yang tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa mendukung keputusan temannya itu dan berharap semua bisa berjalan baik.
Maka, di sinilah mereka berdua sekarang menunggu kedatangan kereta api yang akan mengantar Azka ke kota rantaunya. Dengan mengandalkan ransel besar pada pundaknya, laki-laki bertubuh tinggi itu duduk di kursi dekat rel bersama Rafika. Mereka lebih banyak diam dan hanya akan bicara jika memang benar-benar penting.
Lima menit berlalu. Kereta api yang ditunggu datang dengan suaranya yang sedikit mengganggu telinga. Azka bangkit, disusul oleh Rafika yang menyesuaikan posisinya.
"Kayaknya Kakak harus pergi sekarang, Fik."
Yang ditanya hanya menundukkan kepala tanpa berani melihat mata lawan bicaranya. Sejujurnya, ada hal yang ingin Rafika katakan pada Azka, tapi mengapa rasanya begitu sulit? Padahal, perasaannya terus memberontak.
"Kakak duluan, ya," ucap Azka yang perlahan pergi dari hadapan Rafika.
"Kak..." Akhirnya, perempuan itu mampu bicara. "Tolong... jangan datang lagi."
Refleks, Azka berbalik arah. Mata mereka bertemu. Dengan hanya sekali pandang, Azka bisa menangkap bahwa Rafika sedang menahan tangis. Ia membawa langkahnya mendekat, tapi Rafika justru mundur perlahan.
"Stop. Jangan lebih dekat lagi," kata Rafika sedikit bergetar.