University Day. Ya, ini kegiatan rutin yang selalu dilakukan oleh banyak sekolah untuk memperkenalkan dunia perkuliahan kepada para siswanya yang akan lulus. Banyak alumni dari kampus ternama akan datang sebagai tamu utama. Membuka stand dan panggung hiburan, memperkenalkan tempat kuliahnya, serta menjelaskan mengenai masalah jurusan dan prospek kerja.
Tempat Rafika mencari ilmu menjadi salah satu sekolah yang rutin mengadakan acara university day setiap tahunnya. Tapi, gadis yang masih duduk di kelas sebelas ini tidak begitu peduli dengan acara tersebut. Kuliah kan masih lama, menurutnya.
"Kantin, yuk," ajak Margo, teman laki-lakinya dari kelas sebelah. Seketika lamunan Rafika buyar.
"Aku nitip aja, deh."
Aul, perempuan berambut pendek yang sekelas dengan Margo, muncul dari dalam kelasnya lalu merangkul mereka berdua.
"Kantin, yuk. Laper, nih," katanya.
"Fika lagi males kayaknya. Dia pengin nitip aja."
Aul memandang kedua teman dekatnya itu sekilas. Tidak biasanya Rafika malas diajak ke kantin. Pasti ada sesuatu yang membuatnya tidak ingin beranjak dari depan kelas.
Pikiran Aul langsung melayang menembus imajinasinya. Dan hanya membutuhkan waktu beberapa detik saja, ia mendapat asumsi awal tentang diri Rafika.
"University day," kata Aul pelan melihat tengah lapangan penuh dengan banyak orang. Mulai dari yang mengenakan seragam putih abu hingga yang mengenakan jas alamater berbagai warna karena berasal dari kampus yang berbeda.
"Dua hari ini kan memang ada univ day," jawab Margo sedikit aneh. "Ada yang salah?"
Margo adalah siswa baru. Ia masuk ke sekolah ini dan mulai mengenal Rafika dan Aul sekitar 7 bulan lalu. Wajar jika dia belum tahu tentang ini.
"Mantan aku ada di sana, Mar," jawab Rafika santai menunjuk ke arah bagian lapangan yang dekat dengan kantin. "Dia anak UGM dan lagi buka stand di sana. I just want to hide myself."
Akhirnya Margo mengerti, sementara Aul jelas sudah tahu sejak lama. Perempuan itu memilih diam dan tidak lagi ingin membahasnya. Ya, hanya sekadar jaga-jaga agar Rafika tidak terlalu lama terjebak di ruang nostalgia.
"Ingin bersembunyi dari siapa?"
Dan, suara berat itu sangat mengagetkan Rafika dan Aul, sementara Margo lagi-lagi dibuat kebingungan. Laki-laki itu sedang memandang mereka lengkap dengan jas almamater yang dikenakannya. Sendirian, tapi dengan tatapan tajam.
"Dari kamu," jawab Rafika saat itu juga. "Kenalin, Mar, dia mantan pacar aku. Namanya Azka."
Aul hanya bisa geleng-geleng kepala.
***
"Apa kabar, Fik?" tanya Azka di kantin sembari mengaduk-aduk jus mangganya.
"Cukup baik," jawab Rafika seperlunya.
Dan di sinilah mereka sekarang. Setelah pertemuan di depan kelas tadi, Aul dan Margo memilih pergi meninggalkan keduanya. Lalu, Azka mengajak Rafika ke kantin. Sekadar ngobrol-ngobrol, kata mantannya itu.
"Nomor kamu ganti, ya? Soalnya..."
"Nomor Kak Azka aku block, jadi nggak ada lagi SMS ataupun telepon yang bisa masuk dari nomor Kakak."
"Oh. Oke."
Tidak ada percakapan serius dan berbobot. Semua pertanyaan hanya diajukan oleh Azka. Itu pun hanya pertanyaan 'receh' yang sebenarnya bisa ditanyakan oleh siapa saja.
"Kapan Kakak balik ke Jogja?" tanya Rafika yang akhirnya menanyakan sesuatu.
"Sabtu ini, Fik."
Jeda lagi beberapa detik.
"Fik, besok malam ada waktu kosong?"
Rafika diam, hanya memberi tatapan yang seakan mengatakan memangnya kenapa?
"Kita udah lama kan nggak ngobrol. Kalau di tempat kayak gini nggak nyaman. Kita ke kafe tampat biasa kota nongkrong dulu, yuk. Gimana?"
"Aku pikir-pikir dulu ya, Kak," jawab Rafika tanpa memandang ke arah Azka.
***
Hai, selamat bertemu lagi...
Aku sudah lama menghindarimu, sialku lah kau ada di sini...
Sungguh tak mudah bagiku, rasanya tak ingin bernapas lagi...
Seperti biasa, setiap Jum'at malam, kafe ini akan mengadakan sebuah live music di bagian tengah ruangan. Rafika dan Azka ada di lantai dua, jadi hanya bisa mendengarkan lagu tanpa melihat langsung penyanyinya.
Kali ini, suasana sedikit lebih mencair. Rafika sudah enak diajak ngobrol dan tidak hanya menjawab pertanyaan saja, melainkan sebaliknya. Mereka lebih banyak membahas masa lalu. Bagaimana pertemuan pertama mereka, hal konyol yang pernah dilakukan, dan masih banyak lagi. Dan saat itu, Azka melihat senyuman Rafika yang sudah lama tidak dilihatnya.
"Parah banget kan waktu kita mau nonton, tapi ternyata tiketnya hilang. Jadi malah beli dua kali, deh," kata Rafika menahan tawa sembari menikmati makanannya.
"Dan ternyata, tiket itu nggak hilang. Itu ada di tas kamu kan, Fik? Duh, kocak banget, ya."
Rafika sadar bahwa malam ini seharusnya tidak pernah terjadi. Ia sudah berjanji sejak lama, bahkan pada dirinya sendiri, untuk tidak lagi berkomunikasi dengan Azka, apalagi sampai diajak makan malam seperti sekarang. Tapi, ia terlanjur membawa perasaannya mengalir jauh ke muara terdahulu. Rafika ingin saja menghindar, hanya saja kenyamanan ini membuat dirinya seolah membeku dan kembali membuka luka yang seharusnya sudah tertutup sempurna.
Dan, upayaku tahu diri... tak selamanya berhasil apabila...
Kau muncul terus begini... tanpa pernah kita bisa bersama...
Mendengar lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi kafe itu, raut wajah Rafika perlahan berubah. Tidak ada senyum, apalagi tawa. Azka sempat melihat kejanggalan itu, tapi Rafika seakan menutupnya rapat-rapat.
***
Hai selamat berpisah lagi...
Meski masih ingin memandangimu, lebih baik kau tiada di sini...
Tidak ada yang menyangka bahwa Rafika akan ikut mengantar Azka ke stasiun, padahal sebelumnya Aul telah mengingatkannya agar tidak terlibat jauh dalam drama tak berkesudahan ini. Rafika menanggapinya santai, seolah ia sudah bisa mengakhiri ini semua. Margo yang tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa mendukung keputusan temannya itu dan berharap semua bisa berjalan baik.
Maka, di sinilah mereka berdua sekarang menunggu kedatangan kereta api yang akan mengantar Azka ke kota rantaunya. Dengan mengandalkan ransel besar pada pundaknya, laki-laki bertubuh tinggi itu duduk di kursi dekat rel bersama Rafika. Mereka lebih banyak diam dan hanya akan bicara jika memang benar-benar penting.
Lima menit berlalu. Kereta api yang ditunggu datang dengan suaranya yang sedikit mengganggu telinga. Azka bangkit, disusul oleh Rafika yang menyesuaikan posisinya.
"Kayaknya Kakak harus pergi sekarang, Fik."
Yang ditanya hanya menundukkan kepala tanpa berani melihat mata lawan bicaranya. Sejujurnya, ada hal yang ingin Rafika katakan pada Azka, tapi mengapa rasanya begitu sulit? Padahal, perasaannya terus memberontak.
"Kakak duluan, ya," ucap Azka yang perlahan pergi dari hadapan Rafika.
"Kak..." Akhirnya, perempuan itu mampu bicara. "Tolong... jangan datang lagi."
Refleks, Azka berbalik arah. Mata mereka bertemu. Dengan hanya sekali pandang, Azka bisa menangkap bahwa Rafika sedang menahan tangis. Ia membawa langkahnya mendekat, tapi Rafika justru mundur perlahan.
"Stop. Jangan lebih dekat lagi," kata Rafika sedikit bergetar.
"Am I wrong?"
"Kenapa sih Kakak harus datang menemui aku lagi? Kenapa Kakak datang dan pergi seenaknya tanpa memikirkan perasaan aku?"
Sepertinya sekarang memanglah waktu yang tepat untuk mengeluarkan semua emosi Rafika pada Azka. Saat itu juga, kenangan lama mereka kembali terulang pada pikiran masing-masing dalam putaran lambat. Keduanya tentu ingat mengapa terpaksa mengakhiri hubungan ini karena masalah jarak. Azka yang memutuskan, lalu diterima dengan berat hati oleh Rafika pada saat itu.
Rafika tentu terpukul, tapi dia masih berusaha untuk bangkit. Apalagi ada Aul yang selalu setia menemani kesedihannya dan mendengarkan keluh kesahnya. Di saat dirinya mulai berhasil melupakan sosok Azka, laki-laki itu malah datang kembali ke hidupnya. Dan bodohnya lagi, dia mau saja masuk ke dalam perangkap nostalgia itu.
"Aku capek Kak kalau gini terus. Kakak masih nggak siap kan untuk menjalani hubungan jarak jauh? Tapi perilaku Kakak kenapa kayak kita seakan masih punya hubungan khusus? Maksudnya apa, sih?"
"Kakak masih sayang sama kamu, Fik."
"Aku juga! Tapi kalau kita kayak gini tanpa ada hubungan yang pasti, buat apa dilanjut? Aku selalu janji untuk bangkit dan melupakan sosok Kakak. Tapi, nyatanya apa? Kakak datang seenaknya, terus mau pergi lagi?"
Azka belum mampu bicara.
"Berbagai cara aku lakukan untuk melupakan Kakak. Mulai dari blokir nomor dan akun-akun sosial media Kakak. Bahkan, aku pun menghindar dari univ day supaya nggak ketemu sama Kakak. Tapi, Kak Azka malah berusaha untuk menemui aku."
"Aku minta maaf, Fik..."
Rafika mendekat, menyentuh dada Azka dengan telunjuk tangannya. "Aku nggak butuh maaf. Aku... hanya butuh... tindakan."
"Sekarang kamu mau gimana?"
"Kakak pergi ke Jogja sekarang. Belajar biar cepat jadi sarjana. Tapi tolong, lupakan aku dan jangan hubungi aku lagi. Seenggaknya sampai aku siap untuk ketemu sama Kakak lagi."
"Aku nggak tahu bisa apa enggak, Fik. Tapi, aku akan mencoba..."
Bisa jadi, inilah pertemuan terakhir mereka. Dalam ramainya orang-orang yang memadati stasiun, langkah Azka perlahan menjauh dari tempat Rafika berdiri. Ia masuk ke salah satu gerbong kereta, sementara Rafika hanya bisa menatapnya dari jauh.
Pergilah... Menghilang sajalah, lagi...
Kereta berangkat. Rafika berbalik arah dan segera menjauh dari sana. Ia yakin, ini adalah jalan terbaik untuk dirinya maupun Azka.
Margo dan Aul muncul dari kejauhan tanpa sepengetahuan Rafika sebelumnya. Rafika berlari, lalu memeluk keduanya erat sambil meneteskan air mata yang dari tadi ditahannya.
"Thanks, guys. Untung kalian di sini."
Playlist 06 -SELESAI....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H