Bos tidak menjawab. Ia hanya berusaha mendekat ke arahku.
"Jangan mendekat, please,"Â kataku sedikit mundur.
"Saya tahu saya salah," katanya.
"Aku masih nggak bisa percaya."
Aku mencoba menganggap semua hal ini hanya lelucon di hari ulang tahunku. Tapi tatapan itu sama sekali tidak bisa dibohongi.
"Selain tanda lahir di punggung, kamu juga punya tahi lalat kecil di telapak kaki, kan?"
"Cukup bos, cukup!" jawabku dengan nada tinggi. "Tolong jangan diteruskan. Aku masih belum bisa berpikir jernih untuk saat ini. Maaf."
"Mau kemana kamu, Gandira Putra? Saya belum selesai ngomong. Masih banyak hal yang perlu dibicarakan." tanya Bos mencegahku pergi.
"Kalau masih ada yang harus dibicarakan, kenapa tidak dari waktu itu? Kenapa harus menunggu momen ulang tahunku yang ke-19? Kamu punya banyak waktu yang bisa digunakan selain menyembunyikan identitas seperti ini!"
Sekali lagi, aku membentaknya. Bahkan ini pertama kalinya aku memanggil Bos dengan kata 'kamu'.
Aku langsung keluar dari ruangan dengan air mata yang masih tertahan. Bukan ini momen yang aku harapkan. Semua terlalu tiba-tiba tanpa bisa aku duga sebelumnya.