Aku ingat, ketika hidup di panti asuhan pada usiaku yang ke sembilan, Ibu memberikanku gitar akustik berwarna maroon. Tidak, ia tidak menemui anak laki-lakinya ini secara langsung. Ibu hanya menitipkan gitar itu pada jasa ekspedisi yang datang ke panti ketika matahari sedang berada di puncaknya. Yang menerimanya saat itu adalah Bunda, salah satu orang yang mengurusku di sana.
Ada amplop yang sengaja ditempel di permukaan gitar. Tulisannya Untuk Gandi, namaku.
Bunda dan aku sangat semangat ketika menerima paket itu. Kami berdua kemudian membuka lembar kertas yang ada di dalam amplop tersebut. Tulisan rapi itu, kata Bunda, sama dengan tulisan yang disimpan ketika aku ditinggal sendirian di depan pintu panti asuhan ini saat malam hari. Itu artinya, pengirimnya sama.
Hai, Gandi, apa kabar? Selamat ulang tahun, ya. Maaf Ibu kasih hadiahnya telat. Ibu lagi sibuk akhir-akhir ini.
Dulu Ibu pernah memimpikan punya anak yang jago musik. Lalu ketika melihat gitar ini, Ibu jadi ingat kamu.
Tenang, Ibu tidak akan memaksa. Jadilah diri sendiri seperti apa yang kamu inginkan.
Gandi, Ibu tahu kamu rindu dan ingin sekali bertemu dengan Ibu. Tapi, ini bukan waktu yang tepat. Ibu masih belum siap untuk bertemu denganmu secara langsung.
Ingatlah ini, kita akan bertemu 10 tahun lagi pada usiamu yang ke-19. Ibu berjanji.
***
Ketika melihat layar ponsel, aku sadar bahwa waktu yang dijanjikan ibu 10 tahun yang lalu akhirnya tiba. Ya, hari ini usiaku tepat menginjak angka 19. Usia yang bukan dikategorikan sebagai anak-anak lagi, bahkan remaja. Ketika memikirkannya, perasaanku tak karuan. Mulai dari takut, tegang, senang, hingga marah.
Tapi yang lebih penting, apakah Ibu benar akan memenuhi janjinya?