Lima menit sebelumnya aku baru menurunkan penumpang di Jalan Cipaganti. Sekarang, mobil yang kukendarai terparkir di pinggir jalan, lebih tepatnya di depan salah satu rumah makan sederhana. Tidak perlu menunggu waktu lama, ada notifikasi yang mengharuskan aku mengambil penumpang baru. Jalan Cihampelas. Oke, tidak terlalu jauh. Hanya perlu memutar jalan sedikit.
Radio yang kuputar akhirnya selesai memutar lagu Raisa --Terjebak Nostalgia. Kali ini si penyiar radio sibuk membacakan pesan masuk yang berisi curhatan, salam-salam, atau sekadar untuk me-request sebuah lagu. Sambil mendengarkan, aku melajukan mobil ke jalan yang dimaksud.
Aku sampai di Jalan Cihampelas dalam waktu tidak lebih dari 10 menit, tepatnya di sebuah mal besar yang terletak di sebelah kiri jalan. Seorang perempuan berusia 30 tahunan yang menjadi penumpangku langsung masuk tanpa aba-aba ketika mobil berhenti. Dia duduk di depan, persis di sebelahku.
"Mas Aditya, kan?" katanya memastikan.
"Iya," jawabku singkat sambil membenarkan kacamata yang kurang pas, kemudian mulai mengendarai mobil ke tempat yang dituju oleh penumpang ini.
"Nah, kawan-kawan, kali ini kita akan membacakan pesan dari salah satu pendengar kita. Namanya Rasta. Dia titip salam untuk mantan pacarnya yang sekarang udah pindah ke luar kota. Isi pesannya gini guys. Udah dua tahun sejak kita memutuskan berpisah. Semakin hari kita nggak tahu kabar masing-masing..."
"Apaan sih ini, nggak penting," kataku sambil mengganti siaran radio. Tapi, perempuan itu langsung menghempas tanganku pelan, lalu mengembalikan acara membaca pesan itu dengan saksama.
"... Aku cuma berharap kamu akan dipertemukan oleh orang yang benar-benar pas yang bisa menjaga diri kamu di masa depan. Namun, jika orang tersebut kembali pada diriku, maka kita bisa mengulang kembali kisah ini dari awal."
Aku sempat melirik wajah perempuan ini. Ada tatapan kehilangan yang kutangkap dari matanya. Entah itu rindu, cinta, kehilangan, ataupun semuanya yang melebur jadi satu.
"... Jadi Rasta ini mau request lagu Tulus yang berjudul Seribu Tahun Lamanya. Spesial untuk kamu, umumnya untuk kalian para pendengar. Baiklah, tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, kita akan putar lagu yang diinginkan Rasta. Enjoy, guys!"
Intro musik jaz yang menenangkan mulai terdengar mengisi keheningan. Perempuan ini, yang kutahu namanya Filia, membesarkan sedikit volume setelah sebelumnya meminta izin kepadaku. Aku hanya mengiyakan.
Bila kau sanggup untuk melupakan dia...
Biarkan aku hadir dan menata...
Ruang hati yang telah tertutup lama...
Musiknya sangat menenangkan, membuatku perlahan melupakan kekesalan tadi pagi oleh salah satu penumpang yang memakai promo, namun banyak maunya. AC minta dingin, minta turun di tempat yang tidak sesuai aplikasi, hingga tidak memberikan tips sedikitpun. Setidaknya aku mencoba ikhlas.
Jika, kau masih ragu untuk menerima...
Biarkan hati kecilmu bicara...
Karena ku yakin kan datang saatnya...
Karena terlalu terbawa alunan musik, aku sampai tidak sadar sampai ikut bernyanyi di mobil yang sedang melaju ini. Bahkan Filia terlihat sedikit kaget.
Takkan pernah berhenti untuk percaya...
Walau harus menunggu seribu tahun lamanya...
Biarkan terjadi wajar apa adanya...
Walau harus menunggu seribu tahun lamanya...
"Sebentar, kamu Rasta, kan?" tanya Filia.
Aku tersenyum simpul, melepaskan kacamata, lalu menatapnya jahil.
"Akhirnya kamu sadar juga."
***
Aku ingat, tiga tahun lalu ketika masih tinggal di Bogor, di sebuah kafe yang buka hingga pukul 2 subuh, aku dan Filia bertemu, aku memutuskan hubungan kami secara sepihak. Filia terpukul, jelas. Tapi, bukan berarti aku kuat. Aku dilanda rasa bersalah untuk beberapa bulan pertama. Konsentrasiku ketika kerja buyar, membuat aku sering dimarahi atasan.
Bukannya aku tidak bisa menerima status dia yang single parent. Perkara umur pun bukan masalah. Ini hanya soal mental. Aku belum siap untuk menjadi pasangan hidupnya, terlebih harus menghidupi dua orang sekaligus.
Raut wajahnya jadi kaku. Musik Tulus yang sedang diputar seakan bukan jadi konsumsinya.
"Kabar Nuri gimana, Fil?" tanyaku pelan untuk mencairkan suasana.
"Baik," jawabnya tanpa menatapku.
"Aku kaget menemukan kamu secepat ini."
"Aku juga kaget, driver yang ambil orderan aku ternyata kamu, bahkan dengan identitas palsu."
Keadaan lalu lintas di Jalan Riau tiba-tiba tersendat. Hanya beberapa menit sekali mobil bisa melaju dengan sangat pelan. Pengendara motor banyak yang mengambil jalur seenaknya, membuat semuanya semakin tidak karuan.
Di sela kemacetan ini, aku menceritakan kenapa bisa sampai memilih menjadi driver taksi online. Karena sebenarnya, aku hanya menggantikan teman yang kebetulan tidak bisa melakukan pekerjaannya hari ini.
Beberapa topik kucoba tanyakan pada Filia, namun hanya dijawab dengan ketus tanpa senyuman. Ya, aku sadar, perempuan mana yang akan bisa menerima laki-laki yang meninggalkannya, bahkan nyaris tidak memberikan kabar selama dua tahun terakhir. Jika dibilang salah, jelas aku salah.
"Aku rasa sekarang kamu sudah memiliki pendamping hidup yang baru, khususnya untuk Nuri, anakmu."
"Dua bulan yang lalu aku dilamar, Ras."
Aku terkejut, tapi mencoba tenang.
"Wow, selamat kalau gitu. Dia pasti laki-laki mapan yang bisa jadi suami yang baik buat kamu."
"Ya, begitulah. Dia memang pantas untuk jadi pendamping hidup aku. Sosok yang dewasa, punya naluri ayah yang sangat kuat, serta bertanggung jawab. "
"Aku... ikut senang, ya..." kataku pelan tanpa melihat ke arahnya. Seketika mood-ku turun drastis.
Setelah percakapan itu kami tidak lagi banyak bicara hingga perjalanan selesai. Aku menurunkan dia di salah satu hotel mewah di Jalan Gatot Subroto. Setelah memberikan uang jasa sesuai yang ada di aplikasi, ia turun dari mobil meninggalkan aku sendirian.
"Rasta..."
Ia berbalik arah. Aku menurunkan kaca penumpang agar bisa mendengar suaranya lebih jelas.
"Aku akan menikah di sini bulan Oktober nanti. Kamu mau datang, kan?"
"Pasti."
Aku menutup pintu kaca meski kami masih bertatapan. Ini terlalu sakit dan terlalu cepat. Aku tidak bisa lagi melihatnya lebih lama lagi. Aku tidak bisa.
Tak lama, Filia berbalik arah masuk menuju lobi hotel. Mungkin ada banyak hal yang harus dia urus untuk reservasi acaranya nanti di sini. Ketika dia sudah menghilang dari sudut mataku, aku masih berada di sini dengan pikiran yang sangat berantakan.
Harusnya, aku senang karena Filia kini sudah bangkit dari sakit hatinya dulu yang disebabkan oleh diriku sendiri. Harusnya, aku juga senang ada laki-laki yang akhirnya bisa membahagiakan dia dan anaknya. Harusnya, aku tahu bahwa meninggalkan dia selama 2 tahun akan merubah banyak keadaan. Dan harusnya, aku tidak perlu menangis saat ini.
Akhir cerita sudah ditentukan. Tidak ada lagi harapan, juga tidak ada lagi penantian yang aku harapkan selama ini. Aku tidak bisa lagi menunggu dia, apalagi jika sampai 1000 tahun lamanya.
Selesai...
*Baca cerita Rasta dan Filia sebelumnya di sini*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H