"Kamu mendadak jadi aneh, meski teman-teman tidak sadar akan hal itu. IPK kamu turun drastis. Belum lagi, kesehatan kamu yang lemah jadi pemicu kamu masuk rumah sakit saat itu."
Sambil mendengar DF, aku mengaduk gelas yang sudah terisi air panas dan gula, kemudian menyimpan teh celup di dalamnya.
"Terus, waktu selesai wisuda SMA 4 tahun lalu, tiba-tiba hubungan kamu diputuskan oleh FT secara sepihak. Kamu jadi sosok yang sulit mengendalikan emosi. Sering marah, berdiam diri di kamar, kadang juga menangis diam-diam."
"Minum dulu," kataku menyerahkan gelas ke tangannya. "Waktu itu aku masih dalam tahap labil. Jadi, harap maklum saja."
DF menyesap tehnya sedikit demi sedikit, lalu kembali melanjutkan pidatonya yang belum selesai.
"Urusan patah hati kan bukan hal yang sederhana. Paling tidak, aku di sini untuk memberi support agar kamu tetap bisa-"
Volume suara DF mendadak mengecil, lalu perlahan hilang tenggelam dalam ketidakmengertian pikiranku. Keringat dingin menetes di pelipis disusul oleh jantungku yang mulai terasa sakit. Aku memegang dada, merasakan detak jantung mulai berdetak di luar batas normal. Sial, mengapa ini terjadi lagi.
Sekilas, aku melihat DF tampak cemas melihat keadaanku yang seperti ini. Tapi, aku terlalu kaku untuk menggerakkan badan, bahkan untuk berdiri sekalipun. Lalu pada detik selanjutnya, aku roboh dan berbaring di lantai sampai tak sadarkan diri.
***
Begitu membuka mata, aku melihat DF berdiri memandang ke luar jendela. Aku pikir aku ada di kamar. Ternyata salah. Aku pasti ada di rumah sakit. Bau obatnya sangat tajam tercium. Bajuku pun telah terganti oleh baju khusus pasien berwarna biru langit.
Samar-samar di tengah kesadaranku yang belum sempurna, aku melihat tirai di sebelah kananku. Itu tempat tidur yang lain. Aku yakin itu. Tapi masalah ada pasien atau tidaknya, aku tidak tahu. Tidak terdengar suara apa-apa dari bilik sebelah.