1.
Bangun, katanya, suaranya menusuk seperti trompet patah.
Cahaya merayap di tembok bata, menghancurkan sisa mimpi.
Langit adalah kanvas yang dicoret-coret tangan asing,
matahari memburu bulan, seperti pencuri dalam film noir.
Aku melihatmu di sela bayangan,
wajahmu seperti gema yang tak pernah hilang.
2.
Kita adalah debu di kaca jendela,
cahaya membentuk pola membentuk pola yang hanya kita mengerti.
Kau bicara tentang bintang,
tapi aku tahu kau maksudkan cinta yang terbakar perlahan.
Di balik kata-kata itu ada jurang,
dan aku berdiri di tepinya, mencoba melompat.
3.
Matahari, pemburu itu, mengikat kita
dengan cahaya membelenggu.
Kau tertawa, mengatakan kita bisa lari,
tapi bayang-bayang kita selalu mengejar.
Kopi dingin di meja adalah saksi,
percakapan tanpa ujung tentang segalanya dan bukan apa-apa.
4.
Malam datang seperti kabut yang berat,
menutupi jejak langkah kita.
Tapi cinta kita seperti api kecil di ujung rokok,
berjuang untuk tetap hidup di tengah angin.
Aku ingin menulis puisi tentangmu,
tapi setiap kata menjadi kaca yang memantulkan diriku sendiri.
5.
Pagi datang lagi, seperti pukulan palu pada lonceng.
Cinta bukan cerita manis,
tapi bayang-bayang panjang yang menari di trotoar.
Kita adalah dua pengelana di labirin ini,
mengikuti jejak cahaya yang kita ciptakan sendiri.
Dan entah kenapa, aku terus percaya pada setiap pagi
yang terus mengulang dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H