Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - @dampstain

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tengah Laut, Tanpa Peta

19 November 2024   12:53 Diperbarui: 19 November 2024   12:54 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Riak Gelombang Laut. Matt Hardy/Pexels.com

1.

Di tepi laut, aku melihat  

matamu yang seperti gelombang  

membawa aku jauh, tak berdaya  

seperti anak yang mengumpulkan pasir  

menjadi benteng yang rapuh,  

lalu kehancuran datang,  

di antara percakapan malam dan siang  

yang selalu berubah,  

seperti tubuh yang tak bisa kita pegang.

2.

Aku mencintaimu dengan cara yang aneh,  

seperti cahaya di pagi hari,  

terbakar oleh dirinya sendiri,  

menggenggam seutas benang tipis  

yang tak pernah bisa kugenggam utuh.  

Kita semua---anak-anak dalam cinta---  

membiarkan diri kita dipatahkan  

oleh puing-puing harapan yang rontok,  

seperti dedaunan di jalan yang dilalui waktu.

3.

Lalu aku berjalan tanpa peta,  

menjadi kota yang terbuka---  

setiap ruas jalan adalah ruang bagi luka,  

dan setiap sudut adalah tempat  

di mana kau meninggalkan jejak kaki,  

seperti debu yang tak pernah bisa hilang,  

tertanam dalam udara yang kita hirup  

dan tetap ada dalam segala kesunyian  

yang menyisakan suara tubuh kita yang kosong.

4.

Aku ingin melihat dunia dengan matamu---  

logika seorang anak yang tidak tahu takut,  

tak pernah bertanya kenapa, hanya berjalan  

dengan keyakinan penuh,  

melangkah ke jurang dengan senyum  

tanpa mengenal apa itu kehilangan.  

Kita semua berlari mengejar bayangan  

yang akhirnya terhapus oleh waktu,  

seperti ombak yang tak lagi ada di pantai.

5.

Cinta itu tak pernah sempurna,  

ia datang dengan segala kecacatan---  

menarik kita keluar dari gua,  

menghancurkan dindingnya,  

menjadikan dada kita masjid yang terbuka,  

tempat kita berdoa untuk ketidakpastian.  

Aku menyerahkan diriku untuk dilihat,  

untuk dicintai, dan untuk hancur,  

seperti hujan yang tak pernah berhenti  

menyirami tanah kering.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun