1.
Di tepi laut, aku melihat Â
matamu yang seperti gelombang Â
membawa aku jauh, tak berdaya Â
seperti anak yang mengumpulkan pasir Â
menjadi benteng yang rapuh, Â
lalu kehancuran datang, Â
di antara percakapan malam dan siang Â
yang selalu berubah, Â
seperti tubuh yang tak bisa kita pegang.
2.
Aku mencintaimu dengan cara yang aneh, Â
seperti cahaya di pagi hari, Â
terbakar oleh dirinya sendiri, Â
menggenggam seutas benang tipis Â
yang tak pernah bisa kugenggam utuh. Â
Kita semua---anak-anak dalam cinta--- Â
membiarkan diri kita dipatahkan Â
oleh puing-puing harapan yang rontok, Â
seperti dedaunan di jalan yang dilalui waktu.
3.
Lalu aku berjalan tanpa peta, Â
menjadi kota yang terbuka--- Â
setiap ruas jalan adalah ruang bagi luka, Â
dan setiap sudut adalah tempat Â
di mana kau meninggalkan jejak kaki, Â
seperti debu yang tak pernah bisa hilang, Â
tertanam dalam udara yang kita hirup Â
dan tetap ada dalam segala kesunyian Â
yang menyisakan suara tubuh kita yang kosong.
4.
Aku ingin melihat dunia dengan matamu--- Â
logika seorang anak yang tidak tahu takut, Â
tak pernah bertanya kenapa, hanya berjalan Â
dengan keyakinan penuh, Â
melangkah ke jurang dengan senyum Â
tanpa mengenal apa itu kehilangan. Â
Kita semua berlari mengejar bayangan Â
yang akhirnya terhapus oleh waktu, Â
seperti ombak yang tak lagi ada di pantai.
5.
Cinta itu tak pernah sempurna, Â
ia datang dengan segala kecacatan--- Â
menarik kita keluar dari gua, Â
menghancurkan dindingnya, Â
menjadikan dada kita masjid yang terbuka, Â
tempat kita berdoa untuk ketidakpastian. Â
Aku menyerahkan diriku untuk dilihat, Â
untuk dicintai, dan untuk hancur, Â
seperti hujan yang tak pernah berhenti Â
menyirami tanah kering.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H