ANALISIS POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA
Nur Awaliah ¹, Amelfi Ananda Utami², Khalidazia Azahra³, Isbhat Nawakhil4, Gilang Ramadhan5, Wardatul Husnia6, Fitrianida Mile7, Selvi menalia8, Imilay Enjulopi9, Aulia Putri10, Hadiz Ramadhan11.
Alamat email author: gilangrmdhn022@gmail.com
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis politisasi identitas dalam kompetisi pada pemilu di Indonesia. Politisasi identitas tersebut berupa mempolitisir simbol-simbol agama dan etnis sebagai alat politiknya. Artikel ini merupakan artikel kualitatif, bersifat deskriptif analisi, dari sumber data primer dan sekunder, data dikumpulkan mengunakan riset kepustakaan (library research). Kemudian dianalisis menggunakan analisis kualitatif dengan cara berfikir deduktif. Artikel ini membahas mengenai para kandidat yang ikut serta dalam kontestansi politik pada pemilu berkemungkinan menang memiliki tiga modal utama yaitu modal sosial, modal politik dan modal ekonomi. Namun, modal sosial yang dimiliki tersebut banyak disalahgunakan untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Politisasi identitas agama dan etnis minoritas dianggap efektif bagi para kandidat untuk memperoleh dukungan dari masyarakat beragama dan etnis mayoritas. Praktik politisasi identitas senantiasa muncul pada tahun politik, baik itu pada tingkat pemilihan kepala daerah bahkan pemilihan presiden. Permasalahan praktik politisasi identitas pada pemilu di Indonesia patut dicermati, karena praktik tersebut berpotensi mengarah pada dampak yang berlawanan dengan tujuan demokrasi dan menjurus pada perpecahan yang menyebabkan terjadinya instabilitas politik dan disintegrasi bangsa Indonesia. Untuk itu, para kandidat yang terlibat dalam kontesrtasi pilitik pada pemilu hendaknya memiliki kesadaran yang tinggi dan lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dari daripada kepentingan politik sesaat.
Key word: Politik Identitas, Multikultural, Politik Etnis, Politik Agama, Pilkada.
Pendahuluan
Pemilu diselenggarakan sebagai wujud dari pemenuhan hak-hak politik warga negara yang dijamin oleh undang-undang, yaitu adanya kebebasan bagi setiap warga untuk menyatakan pendapat dan berkumpul. Hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”, dan juga diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, di mana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan, dan lain-lain.
Salah satu karakteristik dari pemilu adalah adanya partisipasi dari warga negara dalam kehidupan politik. Partisipasi dapat beraneka ragam bentuknya, mulai dari yang resmi yaitu mengikuti jalur yang ditetapkan oleh pemerintah sampai kepada bentuk yang tidak resmi. Partisipasi politik memiliki pengertian yang beragam. Partisipasi politik merupakan keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Partisipasi politik yang merupakan wujud pengejawantahan kedaulatan rakyat adalah suatu hal yang sangat fundamental dalam proses demokrasi. Setiap warga dan kelompok masyarakat dalam proses demokrasi memperoleh ruang untuk turut berpartisipasi politik sebagai bentuk keikutsertaannya dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksaan umum dan ikut dalam menentukan pemimpin sebuah pemerintahan. Akan tetapi, ruang yang diperoleh tersebut dipolitisasi oleh kelompok-kelompok atas dasar identitas dalam masyarakat. Hal ini berpeluang melemahkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri dan menjurus pada perpecahan yang menyebabkan terjadinya instabilitas politik.
Metode Penulisan/Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
Hasil Analisi
A.Konsep Politik Identitas
Politik identitas sendiri merupakan konsep baru dalam kajian ilmu politik. Politik identitas adalah nama lain dari biopolitik dan politik perbedaan. Biopolitik mendasarkan diri pada perbedaan perbedaan yang timbul dari perbedaan tubuh. Dalam filsafat, sebenarnya wacan ini sudah lama muncul. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang sering kita dengar. Terlebih lagi, ini merupakan konsep yang menjadi basis untuk pengenalan sesuatu hal. Kita akan mengenali sesuatu halnya itu kalau kita tahu identitasnya. Ini juga akan berarti bahwa kalau kita mengenali identitas sesuatu hal, maka kita akan memiliki pengetahuan akan sesuatu halnya itu. Politik identitas adalah nama lain dari biopolitik dan politik perbedaan. Biopolitik mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari perbedaan tubuh. Identitas menurut Jeffrey Week adalah berkaitan dengan belonging tentang persamaan dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan seseorang dengan yang lain.
B.Menganalisis Politik Identitas
Jika kita menganalisis karakter gerakan identitas dalam beberapa tahap perkembangannya, mulai dari tahap pramodern sampai dengan postmodern. Perpecahan fundamental, kelompok-kelompok kesukuan dan kebangsaan memunculkan gerkan sosial politik yang menyeluruh. Dalam hal ini mobilisasi secara ideologis diprakarsai oleh para pemimpin. Tujuannya adalah perampasan dan perebutan kekuasaan dari suatu penguasa ke penguasa yang baru. Pada tahap modern, gerakan tersebut muncul dengan adanya pendekatan kondisional, keterpecahan membutuhkan sumber- sumber untuk dimobolisasi. Terjadi keseimbangan mobilisasi dari atas dan partisipasi dari bawah, peran pemimpin tidak lagi dominan dan tujuan akhirnya adalah pembagian kekuasaan. Kemudian pada perkembangan pos modern, munculnya gerakan- gerakan itu berasal dari dinamikanya sendiri, protes muncul atas berbagai macam kesempatan individual, tidak ada satu kelompok atau pecahan yang dominan. Pola aksi dan kegiatannya berdasarkan kesadaran diri yang bersifat otonami sebagai tujuan finalnya.
Proses politik di Indonesia telah diwarnai dengan kasus politisasi identitas agama yang mencederai nalar demokrasi. Politisasi identitas etnis dan agama mencapai titik kulminasinya pada saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017. Sejak Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) mencalonkan diri menjadi gubernur DKI Jakarta. Sentimen etnis dan agama mulai dimainkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politiknya. Kasus penodaan agama yang menjerat Ahok menjadi kapital politik bagi lawan politiknya dalam memainkan sentimen agama di dalam kompetisi elektoral. Perkembangan politisasi identitas dalam kompetisi pada pemilu di Indonesia patut dicermati, karena praktik politisasi identitas tersebut berpotensi mengarah pada dampak yang berlawanan dengan tujuan demokrasi. Padahal dalam kehidupan yang demokratis, partisipasi dari seluruh institusi sosial diperlukan untuk mencapai kepentingan-kepentingan publik yang adil. 10 Politisasi identitas dengan mobilisasi atau melibatkan gerakan-gerakan massa akan mengganggu roda perekonomian. Kondisi sosial politik yang tidak stabil akan mengikis kepercayaan investor dan menyulitkan pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya. Selain itu, politisasi identitas pada pemilu juga berpotensi terjadinya perpecahan di tengah masyarakat yang menyebabkan instabilitas politik dan disintegrasi bangsa Indonesia.
Diskusi; Kontestasi Politik pada Pemilihan Umum
Pemilu di Indonesia dilaksanakan secara langsung dan diadakan setiap 5 tahun sekali15 merupakan agenda penting yang di tunggu-tunggu oleh setiap warga negara. Karena merupakan suatu momentum untuk merubah tatanan kehidupan kebangsaan, dengan membuka kebebasan pada setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Partisipasi warga negara dalam pemilu tidak hanya dalam bentuk pemberian hak suara, melainkan adanya antusiasme warga yang mendaftarkan diri sebagai kontestan dalam pemilu, baik sebagai calon anggota DPR dan DPRD maupun sebagai calon presiden dan kepala daerah.
Secara konseptual ada 3 modal utama yang dimiliki oleh para kandidat yang akan mengikuti kontestasi di dalam pemilu. Ketiga modal itu adalah modal politik (political capital), modal sosial, (social capital) dan modal ekonomi (economical capital), ketiga modal ini dapat mempengaruhi seorang kandidat dalam memperoleh dukungan dari masyarakat. Semakin besar akumulasi modal yang dimiliki oleh seorang kandidat maka semakin besar pula dukungan yang diperoleh.
A.Modal politik
Modal politik sangat penting bagi para kandidat untuk memperkuat posisi kandidat tersebut dalam kontestasi di dalam pemilu. Para kandidat memerlukan dukungan politik yang didapat dari partai politik. Partai politik merupakan organisasi politik yang dapat mengajukan seorang kandidat dalam pemilu. Oleh karena itu, para kandidat akan berusaha mencari sebanyak mungkin koalisi partai politik untuk dapat mengusungnya dalam pemilu.
B.Modal Sosial
Latar belakang sosial yang dimiliki kandidat bisa dicermati seperti, tingkat pendidikan, pekerjaan awal, ketokohannya di dalam masyarakat (tokoh agama, adat, organisasi kepemudaan, profesi dan lain sebagainya) merupakan modal sosial yang harus dimiliki kandidat berkaitan dengan membangun relasi dan kepercayaan dari masyarakat bahwa kekuasaan juga diperoleh karena kepercayaan. Kepercayaan di gunakan untuk memperoleh kedudukan merupakan seseorang atau sekelompok orang yang memang dapat dipercaya atas dasar kepercayaan masyarakat. Jika kekuasaan dilanggar, maka masyarakat dengan mudah tidak percaya lagi kepada pemegang kekuasaan. Pengaruh ketokohan dan popularitas, latar belakang pendidikan dan pekerjaan kandidat menentukan pemenangan pemilu, karena untuk membangun relasi dan kepercayaan dari masyarakat kandidat harus memiliki pengaruh tersebut.
C.Modal Ekonomi
Modal ekonomi memiliki peranan yang sangat penting sebagai roda penggerak dan memperlancar mesin politik yang digunakan oleh kandidat dalam pemilu. Setiap kandidat dalam mempersiapkan dan menghadapi kontestasi perlu modalitas ekonomi atau dana politik yang tidak sedikit, karena berkaitan dengan pembiayaan yang besar atau berdasarkan penggunaan dana politik itu sendiri. Modal ekonomi yang nampak adalah uang, Modal uang digunakan untuk membiayai kampanye. Masing-masing partai/politisi berusaha untuk meyakinkan publik bahwa partai/politisi tersebut adalah partai/politisi yang lebih peduli, empati, memahami benar persoalan bangsa dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Salurannya adalah melalui media promosi, seperti TV, lobi ke ormas, koran, radio, baliho, spanduk, sewa konsultan politik dan pengumpulan massa, semuanya itu membutuhkan dana yang besar.
Fenomena Perbandingan Politik Identitas pada pemilu/pilkada
Nuansa identitas-aliran, Islam berhadapan dengan nasionalis sekuler, memenuhi diskursus rivalitas politik terutama di media sosial. Sepanjang kampanye Pilpres 2019, berbagai kampanye hitam yang memojokkan lawan politik seringkali menyinggung karakteristik agama dan etnis kandidat. Misalnya, tuduhan bahwa Jokowi adalah seorang yang lahir dari simpatisan PKI dan keturunan China yang anti-Islam. Sementara Prabowo diidentikkan dengan sosok militer diktator dan didukung oleh kelompok Islam radikal serta intoleran. Politisasi identitas mendapatkan momentum pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Pertarungan memperebutkan kursi DKI 1 kemudian dipenuhi oleh sentimen agama semenjak Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, dituduh melakukan penistaan terhadap Islam ketika melakukan pidato kedinasan di Kepulauan Seribu pada September 2016. Setelah potongan video pidato tersebut tersebar luas di media sosial, berbagai kelompok Islam melakukan aksi unjuk rasa baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. Aksi yang diikuti oleh ratusan ribu hingga jutaan peserta itu dinamai sebagai Aksi Bela Islam yang dilakukan tiga kali, yaitu pada 17 Oktober 2016, 4 November 2016, dan 2 Desember 2016. Mereka menuntut pemerintah supaya proses hukum terhadap Ahok atas tuduhan penistaan agama ditegakkan. Mereka antara lain Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia (PNPF-MUI), dan puluhan organisasi Islam lainnya.
Namun, politik identitas bukan berarti tindakan yang selalu dianggap negatif atau berseberangan dengan demokrasi. Politisasi identitas berupa aksi-aksi kolektif juga merupakan jalan yang sah bagi kelompok-kelompok yang tersisih dari aspek sosial ekonomi dan politik untuk meraih kepentingannya, ketika saluran-saluran institusional kurang tersedia untuk mereka. Karena itu, supaya kelompok-kelompok yang marjinal harus diintegrasikan pada kelompok mainstream daripada terus merayakan perbedaan. Perbedaan yang didominasi politik identitas yang sempit akan menghilangkan makna nasionalisme. Karena itu, solusi yang bisa ditempuh yaitu menekankan kembali identitas (re-identity) nilai-nilai kebangsaan.
Kesimpulan
Pemilu di Indonesia merupakan agenda penting yang di tunggu-tunggu oleh setiap warga negara. Karena merupakan suatu momentum bagi setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi. Partisipasi warga negara dalam pemilu tidak hanya dalam bentuk pemberian hak suara, melainkan warga dapat mendaftarkan diri sebagai kontestan dalam pemilu.
Modal sosial, politik dan ekonomi yang dimiliki para kandidat digunakan dengan memunculkan isu-isu agama dan etnis untuk menjatuhkan lawan politiknya. Identitas agama dan etnis dipropagandakan hanyalah sebagai alat legitimasi politik sesaat untuk kepentingan politis. Politisasi identitas ini terjadi pada tingkat pemilihan kepala daerah bahkan pemilihan presiden. Misalnya, tuduhan terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok melakukan penistaan terhadap Islam ketika melakukan pidato kedinasan di Kepulauan Seribu pada September 2016. Begitu juga tuduhan terhadap Jokowi yang lahir dari simpatisan PKI dan keturunan China yang anti-Islam. Sementara, Prabowo diidentikkan dengan sosok militer diktator dan didukung oleh kelompok Islam radikal serta intoleran. Politisasi identitas ini dijadikan kekuatan elektoral yang efektif untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Namun, politik identitas bukan berarti tindakan yang selalu dianggap negatif atau berseberangan dengan demokrasi. Politisasi identitas berupa aksi-aksi kolektif juga merupakan jalan yang sah bagi kelompok-kelompok yang tersisih dari aspek sosial ekonomi dan politik untuk meraih kepentingannya, ketika saluran-saluran institusional kurang tersedia untuk mereka. Karena itu, supaya kelompok-kelompok yang marjinal harus diintegrasikan pada kelompok mainstream daripada terus merayakan perbedaan. Perbedaan yang didominasi politik identitas yang sempit akan menghilangkan makna nasionalisme. Karena itu, solusi yang bisa ditempuh yaitu menekankan kembali identitas (re-identity) nilai-nilai kebangsaan.
Daftar Pustaka
Rismadani, Ni Nyoman Yesi, and Dewa Nyoman Rai Asmara Putra. ‘Perlindungan Hukum Hak Politik Pekerja Migran Dalam Pemilu Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia’. Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum 7, no. 6 (24 June 2019) https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/50514.
Frenki, Analisis Politisasi Identitas dalam Kontestasi Politik pada Pemilihan Umum di Indonesia. AS-SIYASI: Journal of Constitutional Law Volume: Vol 1, No 1 (2021) Link : http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/assiyasi/index/AS-SIYASI
Habibi, Muhammad. Analisis Politik Identitas di Indonesia. (15 April 2019) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. https://www.researchgate.net/publication/326251963
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H