Modal politik sangat penting bagi para kandidat untuk memperkuat posisi kandidat tersebut dalam kontestasi di dalam pemilu. Para kandidat memerlukan dukungan politik yang didapat dari partai politik. Partai politik merupakan organisasi politik yang dapat mengajukan seorang kandidat dalam pemilu. Oleh karena itu, para kandidat akan berusaha mencari sebanyak mungkin koalisi partai politik untuk dapat mengusungnya dalam pemilu.
B.Modal Sosial
Latar belakang sosial yang dimiliki kandidat bisa dicermati seperti, tingkat pendidikan, pekerjaan awal, ketokohannya di dalam masyarakat (tokoh agama, adat, organisasi kepemudaan, profesi dan lain sebagainya) merupakan modal sosial yang harus dimiliki kandidat berkaitan dengan membangun relasi dan kepercayaan dari masyarakat bahwa kekuasaan juga diperoleh karena kepercayaan. Kepercayaan di gunakan untuk memperoleh kedudukan merupakan seseorang atau sekelompok orang yang memang dapat dipercaya atas dasar kepercayaan masyarakat. Jika kekuasaan dilanggar, maka masyarakat dengan mudah tidak percaya lagi kepada pemegang kekuasaan. Pengaruh ketokohan dan popularitas, latar belakang pendidikan dan pekerjaan kandidat menentukan pemenangan pemilu, karena untuk membangun relasi dan kepercayaan dari masyarakat kandidat harus memiliki pengaruh tersebut.
C.Modal Ekonomi
Modal ekonomi memiliki peranan yang sangat penting sebagai roda penggerak dan memperlancar mesin politik yang digunakan oleh kandidat dalam pemilu. Setiap kandidat dalam mempersiapkan dan menghadapi kontestasi perlu modalitas ekonomi atau dana politik yang tidak sedikit, karena berkaitan dengan pembiayaan yang besar atau berdasarkan penggunaan dana politik itu sendiri. Modal ekonomi yang nampak adalah uang, Modal uang digunakan untuk membiayai kampanye. Masing-masing partai/politisi berusaha untuk meyakinkan publik bahwa partai/politisi tersebut adalah partai/politisi yang lebih peduli, empati, memahami benar persoalan bangsa dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Salurannya adalah melalui media promosi, seperti TV, lobi ke ormas, koran, radio, baliho, spanduk, sewa konsultan politik dan pengumpulan massa, semuanya itu membutuhkan dana yang besar.
Fenomena Perbandingan Politik Identitas pada pemilu/pilkada
Nuansa identitas-aliran, Islam berhadapan dengan nasionalis sekuler, memenuhi diskursus rivalitas politik terutama di media sosial. Sepanjang kampanye Pilpres 2019, berbagai kampanye hitam yang memojokkan lawan politik seringkali menyinggung karakteristik agama dan etnis kandidat. Misalnya, tuduhan bahwa Jokowi adalah seorang yang lahir dari simpatisan PKI dan keturunan China yang anti-Islam. Sementara Prabowo diidentikkan dengan sosok militer diktator dan didukung oleh kelompok Islam radikal serta intoleran. Politisasi identitas mendapatkan momentum pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Pertarungan memperebutkan kursi DKI 1 kemudian dipenuhi oleh sentimen agama semenjak Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, dituduh melakukan penistaan terhadap Islam ketika melakukan pidato kedinasan di Kepulauan Seribu pada September 2016. Setelah potongan video pidato tersebut tersebar luas di media sosial, berbagai kelompok Islam melakukan aksi unjuk rasa baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. Aksi yang diikuti oleh ratusan ribu hingga jutaan peserta itu dinamai sebagai Aksi Bela Islam yang dilakukan tiga kali, yaitu pada 17 Oktober 2016, 4 November 2016, dan 2 Desember 2016. Mereka menuntut pemerintah supaya proses hukum terhadap Ahok atas tuduhan penistaan agama ditegakkan. Mereka antara lain Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia (PNPF-MUI), dan puluhan organisasi Islam lainnya.
Namun, politik identitas bukan berarti tindakan yang selalu dianggap negatif atau berseberangan dengan demokrasi. Politisasi identitas berupa aksi-aksi kolektif juga merupakan jalan yang sah bagi kelompok-kelompok yang tersisih dari aspek sosial ekonomi dan politik untuk meraih kepentingannya, ketika saluran-saluran institusional kurang tersedia untuk mereka. Karena itu, supaya kelompok-kelompok yang marjinal harus diintegrasikan pada kelompok mainstream daripada terus merayakan perbedaan. Perbedaan yang didominasi politik identitas yang sempit akan menghilangkan makna nasionalisme. Karena itu, solusi yang bisa ditempuh yaitu menekankan kembali identitas (re-identity) nilai-nilai kebangsaan.
Kesimpulan
Pemilu di Indonesia merupakan agenda penting yang di tunggu-tunggu oleh setiap warga negara. Karena merupakan suatu momentum bagi setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi. Partisipasi warga negara dalam pemilu tidak hanya dalam bentuk pemberian hak suara, melainkan warga dapat mendaftarkan diri sebagai kontestan dalam pemilu.
Modal sosial, politik dan ekonomi yang dimiliki para kandidat digunakan dengan memunculkan isu-isu agama dan etnis untuk menjatuhkan lawan politiknya. Identitas agama dan etnis dipropagandakan hanyalah sebagai alat legitimasi politik sesaat untuk kepentingan politis. Politisasi identitas ini terjadi pada tingkat pemilihan kepala daerah bahkan pemilihan presiden. Misalnya, tuduhan terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok melakukan penistaan terhadap Islam ketika melakukan pidato kedinasan di Kepulauan Seribu pada September 2016. Begitu juga tuduhan terhadap Jokowi yang lahir dari simpatisan PKI dan keturunan China yang anti-Islam. Sementara, Prabowo diidentikkan dengan sosok militer diktator dan didukung oleh kelompok Islam radikal serta intoleran. Politisasi identitas ini dijadikan kekuatan elektoral yang efektif untuk menjatuhkan lawan politiknya.