Mohon tunggu...
Gilang Febriano Putra
Gilang Febriano Putra Mohon Tunggu... Seniman - Film Director

Gilang Febriano Putra adalah seorang sutradara, penulis, untuk beberapa iklan, film pendek, dan tvc. Ia lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat dan dibesarkan di sebuah desa tepian danau Maninjau. Ia pernah kuliah di salah satu Institut Seni dengan jurusan Telvisi dan Film, karya dokumenter pendeknya pernah diputar pada event Youth Asian Film Exhibition, Guangzhou, Cina.

Selanjutnya

Tutup

Film

Film "A Perfect Fit", Not Perfect Film, Menebak Antagonis dan Karakter yang Lemah

30 Agustus 2021   19:12 Diperbarui: 31 Agustus 2021   00:14 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

  • Sinopsis

Saat pergi bersama temannya ke satu tempat, Saski (Nadya Arina) diramal oleh seseorang yang membawanya ke sebuah toko sepatu. Saski kemudian memasuki toko itu untuk memilih sepatu yang cocok. 

Tanpa ia sadari kunjungannya ke toko sepatu itu memicu sederet kejadian yang akan mengubah hidupnya. Sederet kejadian itu dimulai dengan pertemuan dengan lelaki bernama Rio (Refal Hady) secara tidak sengaja. Ia merupakan pembuat sepatu di toko yang dikunjungi Saski. 

Rio sendiri seakan terpesona dengan Saski sejak pertama kali melihatnya memasuki toko sepatu. Ia seperti tidak bisa mengalikan pandangannya dari wajah Saski yang cantik. 

Di sisi lain, Saski merasa kehadiran Rio dalam hidupnya merupakan sesuatu yang baru. Pasalnya, pengrajin sepatu itu berperan sebagai orang yang mendorongnya untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. 

Perlahan rasa cinta di antara mereka mulai tumbuh, bersamaan dengan kemunculan konflik antara tradisi dan modernitas yang berperan penting dalam hidup saksi. Takdir keduanya pun telah ditetapkan dan tidak ada yang bisa diubah.

  • Poster ala dongeng dari Indonesia

Cinta dan jodoh sejatinya tidak ada yang sempurna, tentu ada kurang ada lebihnya, layaknya cinta dan jodoh, sebuah karya juga bersifat seperti itu, tidak ada yang sempurna, ada kurang, ada lebih, hal tersebut lah yang membuat kita mengkoreksi diri dan dewasa dalam berkarya. Tidak ada cinta dan jodoh serta karya seni yang sempurna, hanya ada yang tepat. Jika Saski merasa tepat dengan Rio, dan Tiara yang tidak tepat dengan Rio, atau Deni yang tidak tepat dengan Saski. Namun, secara subjektif hal - hal tersebut memberi banyak pelajaran dan nilai.

Ekspetasi saya melambung tinggi ketika mlihat poster A Perfect Fit pada salah satu sosial media, dengan font "A Perfect Fit" seperti font pada sampul buku dongeng, dengan material kayu dan gradasi warna antara kuning muda dengan tua, motif font yang melengkung dengan logo sepatu pada huruf R, type font yang benar - benar seperti poster buku atau film dongeng. Layaknya sebuah poster tentu memberi rasa penasaran dan imajinasi tersendiri pada yang melihat, mencoba menebak - nebak isi cerita dari poster tersebut.

Potret seorang pria dengan baju orange berlapis kimono modern berwarna putih, dan wanita dengan kain penutup kepala bermotif seperti kain tenun Sumba. Motif tersebut juga terdapat pada tas samping yang menggantung di tangan kirinya, baju merah tanpa lengan sembari memegang sepatu berisi bunga. Saya menebak, poster film ini mencoba menjelaskan perpaduan budaya, itu terlihat dari kimono dan motif tenun serta warna - warni bunga dalam sepatu.

Poster tersebut membangun imajinasi saya pribadi, bahwa film ini akan menghadirkan rentetan nuansa hutan tropis yang lembab, air terjun, bunga - bunga di pinggir sungai, dan sungai yang dihuni oleh peri - peri kecil bersayap indah warna - warni, layaknya film - film yang diproduksi world disney, tetapi ini adalah film Indonesia, bisa saja peri - peri dengan pakaian motif tenun dan batik, atau sang raja dengan pakaian hinggi khas Sumba yang berkuda di tengah padang savanna untuk mengejar sang putri yang dilarikan oleh roh jahat.

Tentu ekspektasi tersebut tidak bertahan lama, dalam catatan sejarah film Indonesia, saya belum melihat ada film berlatar belakang dongeng, seperti sebuah job desk, film dengan tema seperti itu sudah menjadi pekerjaan world disney untuk mengadaptasi dongeng dan membangun visual sedemikian indah, sebut saja Cinderella, Mulan, Alladin, Snow White, dan banyak lagi, sehingga membentuk fantasi dan imajinasi tersendiri pada penonton.

  • Trailer singkat di luar ekspektasi

Sepanjang trailer dengan durasi 2 menit kurang 1 detik ini, kita disuguhkan dengan visual Bali yang indah dan menawan, seakan - akan memberi pencerahan di masa pandemic, yang menuntut kita selalu di rumah dan tidak bisa berlibur. 

Dibuka dengan seorang pria yang mendesain sepatu di atas kertas, dan tangan wanita mengikat tali pada sebuah baju, lalu narasi soal Ibu Hadra sang peramal dengan kartu tarot yang membentang, dan sehelai daun berwarna coklat kering serta mantra ajaib yang membawa wanita melihat sebuah sepatu dari balik kaca, diikuti dengan landscape Bali yang mempesona dengan bibir pantai dan debur ombak. Beberapa title dengan kata - kata bijak yang mengajak kita untuk menebak apa kisah film tersebut.

Trailer dan poster yang sedikit berbeda, dengan ekpektasi poster ala - ala cerita dongeng, ternyata trailer "A Perfect Fit" dibangun sedemikian realistis, visual Bali yang diambil begitu baik, bentangan bibir pantai, debur ombak khas pantai Bali membawa ekpektasi saya pada cerita - cerita FTV yang tayang pada pukul 1 dini hari. Tetapi, tentu ini bukan FTV, secara poster, trailer, sutradara dan penulis yang banyak pengalaman, ada nama Garin Nugroho yang cukup kontras sebagai penulis skenario. Tidak ada peri dengan sayap warna warni, tidak ada hutan tropis, trailer lebih fokus pada Bali, budaya dan ramalan.

  • Karakter yang Ragu - ragu

Jika proses dari skenario ke audio dan visual adalah ritual alih wahana, maka akan sangat butuh imajinasi dan pengalaman luar biasa untuk menciptakan audio dan visual yang kuat. Karna sangat sulit sebuah cerita, skenario, atau novel, untuk dijadikan sebuah tontonan, setiap pembaca memiliki theater of mind yang berbeda - beda.

Pengenalan karakter pada babak pertama dalam film ini terkesan buru - buru, sehingga latar belakang para tokoh tidak terbangun, bahkan terkesan tanpa latar belakang. Para tokoh diciptakan tidak dengan pondasi yang kuat, tak heran jika pada film ini banyak pertanyaan yang tidak terpecahkan, dimulai dari Rio sebagai penjual sepatu dengan mudah bisa menebak ukuran kaki wanita, hal tersebut lebih terkesan mengada - ngada, karna tidak ada satupun scene yang menceritakan hal tersebut.

Saski yang menjadi poros dalam film diperankan oleh Nadya Arina, ia akan melaksanakan pernikahan dengan seorang laki - laki anak orang kaya, pengusaha sukses di Bali, perihal pernikahan sudah di suguhkan secara frontal di awal film, perihal Deni dan Saski yang membicarakan gaun pengantin, hingga kecupan bibir disaat Deni hendak pamit.

Adegan dan gestur klise dari Hendri, ketika Hendri yang berada dekat dengan mereka menunjukkan gestur yang unik saat mereka berciuman, gestur tersebut tidak menjelaskan hal yang spesifik, apakah Hendri kaget dengan kecupan itu, atau tidak suka, atau ia merasa canggung karna kecupan depan umum, bahkan sampai akhir film tidak ada kejelasan terhadap reaksi Hendri.

Ibu Handra yang diperankan oleh aktris senior Cristine Hakim berusaha menghentikan Saski yang hendak pulang, Hendri yang mengatakan pada Saski bahwa Ibu Handra adalah peramal yang hebat, tetapi reaksi Andra, sahabat Saski agak terkejut, dan memperlihatkan wajah cemas. Ibu Handra memberikan sehelai daun kering dengan mantra yang ditulis dalam kertas, Andra sebagai sahabat Saski ditugaskan atas mantra tersebut.

Setelah mereka pergi, Andra mendesak Saski untuk melakukan ritual yang disuruh oleh Ibu Handra, tetapi Saski menolak dan tidak setuju dengan ramalan tersebut, Andra sebagai penanggung jawab mantra dari Ibu Handra mendesak untuk melakukan ritual ramalan, memutari bumi 3 kali dan mantra ajaib, hingga mengarah pada toko sepatu.

Kehadiran Saski yang tidak direncanakan itu mengagetkan Rio yang masih berbenah untuk menyelesaikan toko sepatunya. Sesampai di depan toko, Saski langsung melihat sebuah sepatu yang di pajang depan toko, Rio yang awalnya menolak untuk menerima pembeli karna masih mempersiapkan toko, namun Saski tidak merasa keberatan, ia akan mencari sepatu yang ia inginkan, dan menyuruh Rio terus bekerja.

Secara pribadi, saya tidak melihat Rio sebagai orang expert di bidang sepatu, dan tiba - tiba Rio bisa mencarikan sepatu dengan ukuran yang tepat dengan Saski, dan anehnya Saski langsung membeli sepatu tersebut. 

Latar belakang Rio yang lemah, tidak adanya landasan Rio memiliki kemampuan membaca ukuran kaki, selera wanita, serta ilmu - ilmu lain yang memperlihatkan Rio adalah orang yang benar - benar kompeten pada bidang sepatu, atau jangan - jangan Rio adalah orang yang festish terhadap kaki wanita? 

Bahkan Rio tidak dengan karakter yang misterius atau laki - laki yang penuh teka - teki untuk menyembunyikan kemampuan ia melihat kaki dan sepatu yang cocok, keterbukaan Rio pada rentetan film sangat jelas ia hanya laki - laki biasa yang suka memasak jantung pisang, dan kakeknya yang juga pengrajin sepatu.

Ketika Saski menyadari bahwa sepatu yang ia beli tertukar, ia meminta pada sopir taksi untuk kembali ke toko, pada scene ini pertanyaan dari saya secara pribadi kembali muncul, tidak ada dekupase yang menjelaskan lokasi ia naik taksi, sampai sopir taksi terlihat bingung ketika ia menyebut toko sepatu, lokasi dan waktu yang klise. 

Ketika beranjak dari toko sepatu suasana masih siang, lalu ketika Saski kembali ke toko sepatu untuk komplen terhadap sepatu yang tertukar, suasana berubah menjadi malam. Apa jarak perjalanan sedemikian jauh? Tidak ada dekupase yang memberi penjelasan, hanya kepanikan dari Saski ketika berada di atas taksi, dan ugal - ugalan sopir taksi yang berlebihan. Penonton tidak diberikan penjelasan lokasi dan waktu yang baik, sangat disayangkan.

Refal Hady sedikit memaksa demi masuk dalam karakter Rio, ia tidak menjadi sesuatu yang istimewa, wibawa yang dibangun Rio secara keseluruhan kurang pas, dialog bijak tidak menyatu dengan perannya, ia tidak berhasil memerankan karakter yang bijak sesuai dengan kutipan atau kata - kata yang ia sampaikan dalam film. 

Rio lebih terkesan lelaki nakal dengan pembawaan yang tenang, menerima ciuman di mobil secara diam - diam, mengetahui ukuran kaki wanita secara tepat, dapat menebak selera wanita terhadap sepatu, mengagumi bagian leher Saski secara terang - terangan, dan memberi kecupan pada calon istri orang. 

Dialog - dialog manis dengan quotes bijak yang disampaikan Rio lebih terasa berlebihan, jadi terkesan pembual, usaha untuk membangun Rio sebagai karakter yang bijak malah terkesan cringe, dari sini, saya jadi ingat film Garin Nugroho "Ach, Aku Jatuh Cinta" film romantis dengan tema klasik tapi dialognya lebih bagus dan baik, serta berhasil membentuk Chicco Jeriko sebagai sesuatu yang spesial.

Adegan di cafe yang membingungkan, setelah seharian duduk di cafe, Rio berjalan hendak pulang, tetapi di pintu cafe, Saski datang lalu mengucapkan kata maaf, saya mencoba mengingat dan memutar adegan sebelum scene ini, rasanya tidak ada kejadian yang memperlihatkan kesalahan dari Saski, kenapa harus minta maaf? Apa salah Saski untuk dilukat dan mengurus kerjaannya? Apa Saski salah jika menolak ajakan Rio di hari sebelumnya? Rio juga tidak menjawab dengan kata yang lebih baik, hanya "dua piring dan 3 gelas kopi, maaf bersyaratlah" Rio yang mencoba asik tapi jadi tidak jelas tujuan kalimat tersebut, manis tapi jadi tidak ada tujuan.

Deni yang diperankan Giorgino Abraham bermain terlalu biasa, marah - marah yang berlebihan, tidak sesuai takaran. Deni tampil dengan akting ala - ala sinetron, eye contact, gestur, dan dialog, tidak memberikan sensasi kesal pada penonton, malah terkesan lucu, peran yang Deni mainkan seperti kehilangan arah. 

Juga pada bagian kostum yang digunakan Deni tidak memberikan semiotika yang cukup untuk seorang antagonis, hanya cerminan bahwa ia adalah anak orang kaya, tidak lebih. 

Dialog dan intonasi Deni yang sangat mengganggu menjadikan Deni adalah karakter paling buruk dalam film ini. Bahkan setelah film selesai, Deni tidak memberi kesan, sehingga mudah dilupakan, kecuali kesan ketika scene di atas tebing dengan Saski, ketika Deni ketahuan berselingkuh, scene emosional, tapi karna Deni, semua buyar.

Marah - marah ala sinetron yang dibawa Deni sangat terasa, lempar handphone, dagu naik, arogansi, tidak menghargai orang lain, gila harta, gila wanita, peran seperti itu banyak kita temukan di layar kaca televisi swasta Indonesia. Scene ketika Deni melempar sepatu pada seorang DJ menjadi scene marah - marah yang tidak memancing emosi, barangkali sang sutradara ingin memperlihatkan Deni dengan karakter emosi tidak terkontrol, tapi secara keseluruhan Deni tidak menemukan hal tersebut.

Ketika Deni memainkan scene yang tenang dan berusaha meyakinkan Saski, wibawanya pun tidak terbangun dengan baik, menyentuh wajah, rambut, memberi bunga, pelukan dan kecupan terhadap Saski tidak membantu Deni untuk menemukan karakter yang kuat, justru Wafda Saifan yang berperan sebagai Galih lebih menemukan karakter tersendiri, walaupun secara durasi dan scene, Galih tidak bermain banyak dalam film ini, tapi, karakternya tetap terbawa sampai film ini selesai.

Melihat Andra sebagai support dalam film, tetapi tanpa latar belakang. Beberapa scene yang Andra mainkan memang berperan sebagai sahabat dari Saski, ia yang memberi solusi dan support, ia juga menjadi tempat curhat oleh Saski. 

Tetapi, saya tidak melihat latar belakang Andra yang kuat, beberapa adegan ketika keluarga Saski bertemu dengan keluarga Deni ia juga hadir di sana, ini menjadi pertanyaan, lagi! Apa peran dan kepentingan Andra berada di sana? Saya tidak menemukan hal tersebut. 

Latar belakang Andra sangat lemah, dalam film, tidak ada keterangan hubungan antara Andra dan Saski selain teman, tidak ada kedekatan dari Andra terhadap keluarga Saski, atau hal terdekat Saski, tapi memaksa ia menjadi penting hanya untuk membawa kabar tentang kemungkinan gagal pernikahan tersebut. Peran Andra yang lemah dan tidak jelas yang hadir tanpa asal - usul. Tetapi ia cukup baik dalam akting, dialog dengan aksen Bali, serta tipikal cewe yang friendly.

Secara keseluruhan, peran - peran penting dalam film ini tidak memiliki latar belakang yang kokoh, bahkan Saski sendiri tidak begitu kuat sebagai seorang fashion blogger, belum lagi Rio, yang tidak diberi cerita atau pengenalan, kenapa ia bisa expert pada dunia sepatu. 

Satu - satunya latar belakang yang dapat diterima adalah, peran Deni sebagai anak orang kaya, ya, anak orang kaya yang marah - marah, tidak seperti Bapak atau Ibunya yang tenang, tidak juga seperti adiknya yang sabar. Jadi, istilah "Buah tidak jauh dari pohonnya" terbantahkan pada peran Deni.

Secara keseluruhan, cerita pernikahan antara Deni dan Saski yang menjadi salah satu latar belakang dari film, terkesan terlalu ringan, dalam dialog selalu disampaikan bahwa Saski tidak memiliki pilihan, dan harus menikah dengan Deni, itu hanya terdengar dari dialog, tetapi kita tidak melihat Saski yang terasa terpaksa atas perjodohan dalam setiap adegan, semua berjalan biasa saja, salah satu hal yang membuat film ini gagal sampai pada puncak klimaks, cerita dan latar belakang yang lemah.

  • Siapa yang menjadi Antagonis?

Secara pribadi saya melihat peran antagonis bisa bercabang tiga. Jika secara umum Antagonis yang kita maksud adalah tokoh jahat dalam sebuah cerita atau film, maka itu terlalu dasar. Antagonis bisa kita artikan sebagai tokoh yang membawa konflik dan menentang konflik utama. Tokoh ini memiliki watak yang keras dan cenderung berusaha untuk menggagalkan tokoh utama, kehadiran antagonis atau tokoh jahat ini tentu akan membawa jalan cerita lebih menarik.

Banyak yang mengira Deni adalah tokoh antagonis dalam film ini, dengan watak yang keras, emosi, dan Bahasa yang kasar, jika kita kembali pada tokoh jahat di atas, bisa jadi Deni adalah tokoh jahat tersebut, dengan berbagai sikap dan karakter yang semena - mena, emosi yang meledak - ledak, dan manja, tentu antagonis bukan hanya soal marah dan emosi, lebih dari itu. Bisa saja Deni menjadi antagonis, jika, Saski menjadi protagonist dan berperan untuk membalas jasa dari keluarga Deni, dengan cara menikah dengan Deni dan tidak memiliki pilihan.

Tetapi, lain sisi, Saski bisa saja menjadi antagonis, jika, Deni menjadi protagonist, dengan alasan yang cukup menarik, karna Saski yang membawa masalah masuk dalam kehidupan mereka, ia lebih dahulu berselingkuh dengan Rio, hal tersebut dibuktikan dengan jalan bersama, ciuman dan memberi peluang Rio untuk masuk lebih dalam pada kehidupan Saski, segala permasalahan justru dibawa oleh Saski, tetapi Saski merasa paling dikhianati ketika mengetahui Deni berselingkuh atau bermain wanita di hotel, tanpa disadari, Saski lah yang memulai semuanya.

Rio yang selalu hadir dalam kehidupan Saski dengan outer kimono yang hanya berbeda warna dari hari ke hari, justru, juga bisa menjadai antagonis. Jika antagonis adalah orang yang membawa masalah, Rio adalah karakter tersebut, memasuki kehidupan Saski dengan memaksa, ia selalu berusaha mengajak Saski dengan paksaan, selalu menentukan jam bertemu dan berpergian tanpa menunggu Saski memberi persetujuan, ya atau tidak. Rio yang membawa masalah hadir diantara Saski dan Deni, tetapi tidak dengan marah - marah dan emosi, kuat kemungkinan kehadiran Rio menjadi dalang perpecahan. Atau karna kekuatan ramalan? Magic dari sisi ritual, tidak magic dari sisi realis.

Dengan 3 tokoh di atas, secara pribadi saya tidak menemukan peran antagonis yang kuat, justru terkesan lemah, cerita yang hanya berusaha menghadirkan benturan demi benturan antara karakter, benturan Saski, Deni, Rio, Tiara, Galih. Benturan tersebut yang dijadikan konflik dalam film, maka jika saya Tarik kesimpulan, film ini adalah romantisme perselingkuhan antara antagonis ke antagonis, dan Deni menjadi yang paling dirugikan.

Hadirnya nama - nama besar yang tampil dalam film ini, sebut saja Cristine Hakim, Yayu Unru, Jajang C Noer, dan banyak lagi, cukup melepaskan rasa rindu terhadap kualitas akting yang luar biasa, kehadiran mereka memberikan perbedaan dalam film, cukup menutupi celah dari akting Deni dengan ala sinetronnya, tetapi, kehadiran nama - nama besar tidak memberi dampak pada cerita film yang mudah ditebak dan berjalan dengan gaya FTV.

  • Visual, Budaya, dan Continuity

Secara visual film "A Perfect Fit" disajikan dengan mengesankan, keindahan Bali yang eksotis dan kekuatan budaya Bali yang menjadi edukasi serta pengetahuan baru bagi penonton. Selain itu, ada budaya lain yang berusaha ditampilkan dalam film, yaitu budaya Makassar, yang cukup untuk memecah kebosanan cerita, serta memberi ruang pada feminisme untuk tampil lebih banyak.

Beberapa point penting dari budaya Bali yang menjadi sorotan, seperti, pembaca lontar, melihat tanggal lahir cocok atau tidak 2 insan untuk menikah, persyaratan budaya yang mutlak, serta aksi gulat lumpur, yang secara keseluruhan bukan lah hal yang umum. 

Tapi, yang menjadi pertanyaan adalah scene gulat lumpur, ketika Rio dan Tiara, sedang berada ditempat Pak Ketut, lalu Deni dan Saski juga hadir di sana, seketika upacara gulat lumpur hadir diantara mereka, Pak Ketut mengajak mereka untuk melihat, dan pertanyaannya adalah, apa semua orang pendatang boleh ikut dalam gulat lumpur dan melampiaskan emosi pada orang yang dituju? Karna kehadiran Rio dan Deni dalam arena tersebut sangat membingungkan, tidak ada dialog, gestur, dan hal - hal lain yang memberi informasi mereka untuk berada dalam arena lumpur tersebut, magic? Bahkan magic pun punya alasan dan latar belakang yang kuat.

Film "A Perfect Fit" memiliki hasil visual yang luar biasa, detail dan warna yang menawan, sudah bisa dipastikan, produksi film ini tidak main - main, sangat luar biasa. Tetapi, kembali pada kalimat awal, tidak ada hal yang sempurna, ada saja kekurangannya, beberapa adegan dalam film justru tidak continuity, adegan Deni dan Saski di atas tebing adalah puncaknya, perpindahan shot demi shot tidak didukung dengan adegan yang baik, celah kecil yang umum, tapi fatal, adegan tersebut menjadi semakin hambar.

  • Menyimpulkan

Karya yang baik adalah karya yang membawa kita untuk mencari referensi lain dan mengenal lebih dalam. Hal tersebut terjadi pada "A Perfect Fit" Saya secara pribadi mencari dan mempelajari budaya Bali setelah menonton film ini. 

Kita mengenal bali sebagai destinasi wisata, tapi kita lupa, betapa kokohnya budaya Bali yang setiap waktu ada jutaan orang dengan budaya dan cara hidup berbeda datang ke Bali, baik itu sebagai wisatawan, atau memilih menetap dan sebagainya, tapi Budaya Bali tetap kokoh dan berjalan baik secara turun temurun.

Selain itu, film ini juga menyuguhkan wardrobe yang memanjakan mata, beberapa pakaian perpaduan budaya dan modernisasi mampu memberikan sesuatu yang berbeda. Motif batik, kain tenun Sumba, dan beberapa wardrobe yang menarik disajikan cukup unik pada film ini, cukup memberi referensi bagi kita dalam dunia fashion.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun