Latar belakang Rio yang lemah, tidak adanya landasan Rio memiliki kemampuan membaca ukuran kaki, selera wanita, serta ilmu - ilmu lain yang memperlihatkan Rio adalah orang yang benar - benar kompeten pada bidang sepatu, atau jangan - jangan Rio adalah orang yang festish terhadap kaki wanita?Â
Bahkan Rio tidak dengan karakter yang misterius atau laki - laki yang penuh teka - teki untuk menyembunyikan kemampuan ia melihat kaki dan sepatu yang cocok, keterbukaan Rio pada rentetan film sangat jelas ia hanya laki - laki biasa yang suka memasak jantung pisang, dan kakeknya yang juga pengrajin sepatu.
Ketika Saski menyadari bahwa sepatu yang ia beli tertukar, ia meminta pada sopir taksi untuk kembali ke toko, pada scene ini pertanyaan dari saya secara pribadi kembali muncul, tidak ada dekupase yang menjelaskan lokasi ia naik taksi, sampai sopir taksi terlihat bingung ketika ia menyebut toko sepatu, lokasi dan waktu yang klise.Â
Ketika beranjak dari toko sepatu suasana masih siang, lalu ketika Saski kembali ke toko sepatu untuk komplen terhadap sepatu yang tertukar, suasana berubah menjadi malam. Apa jarak perjalanan sedemikian jauh? Tidak ada dekupase yang memberi penjelasan, hanya kepanikan dari Saski ketika berada di atas taksi, dan ugal - ugalan sopir taksi yang berlebihan. Penonton tidak diberikan penjelasan lokasi dan waktu yang baik, sangat disayangkan.
Refal Hady sedikit memaksa demi masuk dalam karakter Rio, ia tidak menjadi sesuatu yang istimewa, wibawa yang dibangun Rio secara keseluruhan kurang pas, dialog bijak tidak menyatu dengan perannya, ia tidak berhasil memerankan karakter yang bijak sesuai dengan kutipan atau kata - kata yang ia sampaikan dalam film.Â
Rio lebih terkesan lelaki nakal dengan pembawaan yang tenang, menerima ciuman di mobil secara diam - diam, mengetahui ukuran kaki wanita secara tepat, dapat menebak selera wanita terhadap sepatu, mengagumi bagian leher Saski secara terang - terangan, dan memberi kecupan pada calon istri orang.Â
Dialog - dialog manis dengan quotes bijak yang disampaikan Rio lebih terasa berlebihan, jadi terkesan pembual, usaha untuk membangun Rio sebagai karakter yang bijak malah terkesan cringe, dari sini, saya jadi ingat film Garin Nugroho "Ach, Aku Jatuh Cinta" film romantis dengan tema klasik tapi dialognya lebih bagus dan baik, serta berhasil membentuk Chicco Jeriko sebagai sesuatu yang spesial.
Adegan di cafe yang membingungkan, setelah seharian duduk di cafe, Rio berjalan hendak pulang, tetapi di pintu cafe, Saski datang lalu mengucapkan kata maaf, saya mencoba mengingat dan memutar adegan sebelum scene ini, rasanya tidak ada kejadian yang memperlihatkan kesalahan dari Saski, kenapa harus minta maaf? Apa salah Saski untuk dilukat dan mengurus kerjaannya? Apa Saski salah jika menolak ajakan Rio di hari sebelumnya? Rio juga tidak menjawab dengan kata yang lebih baik, hanya "dua piring dan 3 gelas kopi, maaf bersyaratlah" Rio yang mencoba asik tapi jadi tidak jelas tujuan kalimat tersebut, manis tapi jadi tidak ada tujuan.
Deni yang diperankan Giorgino Abraham bermain terlalu biasa, marah - marah yang berlebihan, tidak sesuai takaran. Deni tampil dengan akting ala - ala sinetron, eye contact, gestur, dan dialog, tidak memberikan sensasi kesal pada penonton, malah terkesan lucu, peran yang Deni mainkan seperti kehilangan arah.Â
Juga pada bagian kostum yang digunakan Deni tidak memberikan semiotika yang cukup untuk seorang antagonis, hanya cerminan bahwa ia adalah anak orang kaya, tidak lebih.Â
Dialog dan intonasi Deni yang sangat mengganggu menjadikan Deni adalah karakter paling buruk dalam film ini. Bahkan setelah film selesai, Deni tidak memberi kesan, sehingga mudah dilupakan, kecuali kesan ketika scene di atas tebing dengan Saski, ketika Deni ketahuan berselingkuh, scene emosional, tapi karna Deni, semua buyar.