Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang George Floyd, Merindukan Ron Stallworth

23 Juni 2020   17:49 Diperbarui: 23 Juni 2020   17:46 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 25 Mei 2020, malam hari, waktu Amerika Serikat bagian Minneapolis. George Floyd meminggirkan mobilnya, Ia bergegas menuju Cup Foods -- sebuah toko kelontong -- untuk membeli sebungkus rokok.

Semua terlihat laiknya transaksi jual beli biasa pada umumnya, tak ada kejanggalan. Sebelum kemudian seorang karyawan Cup Foods meyakini jika uang kertas $20 yang Ia terima dari Floyd merupakan uang kertas palsu.

Pelayan toko tersebut meminta supaya rokok yang didapat Floyd dikembalikan, akan tetapi kedua belah pihak tidak menemui kesepakatan. Sampai akhirnya pada pukul 20.01 waktu setempat, pelayan toko itu berinisiatif melakukan panggilan ke 119.

Pelayan toko yang masih berusia remaja itu berkilah hanya mengikuti protokol saat melaporkan Floyd terkait indikasi transaksi mencurigakan.

Dalam transkrip yang dirilis oleh pihak berwenang, sang pelayan mengatakan bahwa Floyd tampak mabuk dan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, demikian seperti dinukil BBC.

Beberapa saat setelah panggilan itu, sekitar pukul 20.08, dua personil polisi wilayah Minneapolis tiba di lokasi kejadian. Thomas Lane dengan cukup agresif mengintervensi Floyd agar keluar dari mobilnya.

Meski terjadi penolakan, namun tangan Floyd berhasil diikat dengan borgol. Setelah diborgol, Floyd menjadi patuh. Sementara polisi memberikan penjelasan bahwa Floyd ditangkap karena tuduhan "menggunakan uang palsu".

Akan tetapi, ketika Floyd hendak digiring menuju mobil patroli, terjadi pertentangan yang cukup serius. Pada pukul 20.14, Floyd tersungkur, jatuh ke jalanan aspal, seraya mengatakan bahwa Ia sesak nafas.

Petugas polisi lainnya, Derek Chauvin tiba di lokasi. Chauvin langsung bergabung dengan petugas lainnya yang terlibat dalam upaya memasukkan Floyd ke dalam mobil patroli.

Dalam upaya tersebut, sekitar pukul 20.19, Chauvin menahan Floyd dengan cara yang tak manusiawi. Selama 8 menit lebih 46 detik leher Floyd ditekan oleh lutut kiri Chauvin sampai pria yang lahir pada 1973 di North Carolina dan tumbuh besar di Houston itu terus mengulang kalimat "Aku tidak bisa bernafas" dan memohon pertolongan sebelum kemudian menghembuskan nafas terakhirnya.

Rekaman CCTV, video para saksi, dan dokumen resmi lainnya menjadi barang bukti resmi bagaimana kronologis tindakan penangkapan berbau rasisme ini mengundang banyak simpati masyarakat dunia.

Seperti dilansir The New York Times dalam video rekontruksinya yang diunggah di platform You Tube menyimpulkan bahwa tindakan tersebut menarasikan pelanggaran kebijakan Departemen Kepolisian Minneapolis.

Karena video tersebut viral di media sosial, kasus kematian Floyd jadi mengundang banyak suara dari ribuan masyarakat. 

Aljazeera melansir, aksi protes ribuan orang berlangsung di 140 kota di Amerika Serikat, beberapa diwarnai aksi bentrok antara warga dan polisi.

Tak hanya didalam negeri Donald Trump saja, masa aksi yang memprotes rasialisme dan kematian Floyd ini meluas ke Kanada, Jerman, Inggris, Italia, Spanyol, Belanda serta Belgia. 

Bahkan unjuk rasa tersebut sampai meluas ke luar benua Eropa, seperti Brasil, Afrika Selatan, Australia, Jepang, Korea Selatan, Hongkong dan sejumlah negara lain.

Di media sosial, kampanye gerakan protes lewat tagar #BlackLivesMatters juga tak pernah sepi hingga kini. Sinisme polisi AS dengan warga kulit hitam memang lumrah terjadi.

Tak sedikit pula warga kulit gelap mendapatkan diskriminasi dalam kehidupan komunal bangsa AS. Termasuk saat pandemi seperti sekarang ini.

Seperti mengutip data Tirto dari Riset dari The Economic Policy Institute (EPI), sebuah lembaga swadaya yang fokus melakukan kajian kebijakan pemerintah di bidang ekonomi AS, menyatakan rata-rata bertambahnya pengangguran di AS selama pandemi dominan menimpa warga kulit gelap sebanyak 16,8 persen, sementara warga kulit terang memiliki presentase yang lebih baik 14,2 persen.

Mengutip data yang sama, dalam kurun waktu Februari hingga April, satu dari enam pekerja kulit hitam di AS kehilangan pekerjaannya.

Lebih dari separuh populasi kulit gelap di AS tidak bekerja dan semakin menegaskan kesenjangan sosial di kehidupan masyarakat AS.

Belum lagi, jauh kebelakang sebelum pandemi bikin warga kulit hitam makin sulit, selama ini telah terjadi kesenjangan upah antara pekerja kulit putih dan pekerja kulit hitam AS, data di tahun 2018 mencatat, rata-rata tingkat kemiskinan warga kulit hitam di AS mencapai 20,7 persen sedangkan kulit putih hanya 8,1 persen.

Petunjuk lainnya yang kian memperjelas realitas kesenjangan rasial didapat dari data yang dilansir dari Central for Disease Control (CDC), yang mempresentasikan rataan kematian warga kulit hitam di AS yang disebabkan oleh covid-19 sebesar 22 persen. 

Sementara kulit putih jauh lebih sedikit, 12 persen. Hal tersebut terjadi karena banyak warga kulit gelap yang memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, hipertensi, asma, dll.

Kematian Floyd yang diakibatkan oleh arogansi kepolisian bagian Minneapolis ini tak ubahnya bom waktu yang meledakkan bahan-bahan yang mudah terbakar lainnya terkait isu rasial di AS yang selama ini terjadi dan tak begitu banyak diributkan dunia.

Merindukan Ron, Polisi Kulit Hitam Pertama di Colorado Springs

Cerita Ron Stallworth memang beredar lewat film garapan Spike Lee yang berjudul BlacKklansman yang resmi rilis pada 10 Agustus 2018 silam di Amerika Serikat. Namun, film tersebut diangkat dari kisah nyata Ron Stallworth, seorang perwira polisi pertama yang ditugaskan di Colorado Springs.

Ron yang diperankan oleh John David Washington, mengalami aksi rasial ketika pertama kali datang ke kantor kepolisian sektor Colorado Springs, AS.

Saat interview perekrutan petugas, Ron dicecar beberapa pertanyaan yang menegaskan bahwa kulit putih dan kulit hitam itu berbeda.

Ia diterima di bagian berkas/arsip, tupoksinya hanya mencari dokumen yang diminta oleh petugas lainnya. Meski telah mendapatkan pekerjaan, Ron tak lepas dari komentar-komentar rasis dari para rekannya. Acapkali diminta mencari berkas, selalu saja ada nada rasisme yang dialamatkan kepada dirinya.

Pria keturunan Afrika-Amerika itu tak lantas diam saja, Ia mengajukan permohonan pindah tugas ke bagian intelegen. Meski sempat ditolak oleh atasannya, Ron akhirnya dicoba di divisi intel atas berbagai pertimbangan.

Petualangan dimulai saat Ron membaca sebuah surat kabar, Ron mendapatkan informasi rekrutmen anggota Klu Klux Klan -- sebuah kelompok penyebar kebencian antar-ras yang ingin menjadi kekuatan pemerintahan yang sah -- Ron menelepon kontak yang tertera.

Ia tersambung dalam panggilan dengan ketua klan wilayah Colorado, Walter Breachway (Ryan Eggold), dan menyamar sebagai Amerika-Eropa untuk bisa bergabung bersama klan tersebut. Ron tidak sendirian menjalankan misinya, Ia berkolaborasi dengan rekan Yahudi bernama Flip Zimmerman (Adam Driver).

Flip bertugas pada pertemuan-pertemuan klan mewakili Ron yang memiliki kulit hitam dan tentu saja tidak akan bisa diterima di klan tersebut. Sementara Ron terus memantau lewat sambungan telepon.

Dengan beberapa strategi yang sudah dirancang oleh Ron, akhirnya mereka berhasil mendapatkan pelbagai informasi klan. Salah satunya mengorek percakapannya bersama Paul Ivanhoe (Paul Walter Hauster), terkait rencana penyerangan secara diam-diam.

Menurut informasi yang didapat, beberapa anggota klan merupakan tentara aktif di markas North American Aerospace Defense Command (NORAD). Ron terus menghimpun bukti-bukti yang lebih kuat.

Pada satu waktu, salah satu istri dari anggota klan, Connie (Ashlie Atkinson) ditugaskan untuk meledakkan bom di rumah Patrice Dumas (Laura Harrier) seorang mahasiswa kulit hitam di Colorado College, yang juga teman dekat Ron.

Rencana tersebut diketahui sepenuhnya oleh sang intelegen berkulit hitam dan tentu saja Ia berhasil menghentikan aksi teror tersebut sekaligus meringkus beberapa anggota klan. Namun demikian, Ia memiliki tugas besar lainnya yakni menangkap para petinggi klan.

Kasus Klan tersebut terjadi pada medio 1970-an. Dalam sebuah wawancara dengan Time, Ron berpandangan bahwa Ia harus hidup berdampingan dengan rasisme di AS.

Tak ada momen buat melawan atau menentang hal itu, karena kulit gelap hanyalah minoritas disana. "Itu adalah fakta hidup menjadi hitam di Amerika," pekik Ron.

Jangan Ada Floyd Lainnya, Mencari Ron, Kita dan Papua

Seperti yang pernah penulis tulis di artikel berjudul Kisah "Green Book", Sebuah Panduan untuk Mengikis Rasisme di Sepak Bola. Penting sekali kita membangun ikatan pertemanan/relasi yang lebih serius dengan mereka yang berbeda warna kulit, ras dan agama demi menghapus tradisi buruk rasisme selama ini.

Tanpa ikatan pertemanan, kita akan selalu enteng menerangkan sekat-sekat perbedaan. Sebab tak ada ikatan yang dijaga satu sama lain. Lain cerita ketika kita punya teman yang dihina/mendapatkan perundungan bullying, apakah kita akan diam saja tak peduli?

Tentu tidak. Itu kenapa penting sekali kita membangun relasi pertemanan dengan mereka yang selama ini kerap tersingkir dalam kehidupan kompetitif sehari-hari, minimal untuk diri kita sendiri agar jadi pengingat untuk tak menyakiti orang-orang yang berbeda dengan kita. Maka itu, tradisi rasial tidaklah egaliter, semua dapat diubah oleh diri kita masing-masing.

Jangan ada Floyd-floyd lain setelah ini. Bila persoalan yang menimpa Floyd di AS menarasikan citra buruk soal ikatan kepolisian dengan warga kulit hitam, mengapa tidak otoritas kepolisian setempat merekrut lebih banyak lagi Ron Stallworth untuk membangun relasi dan kesadaran kolektif akan bahaya rasisme!

Pun dengan negeri kita sendiri, sebetulnya kita juga rasis. Mari berkontemplasi, ada berapa banyak teman dari timur nun jauh disana yang dilibatkan dengan kehidupan komunal bangsa Indonesia sehari-hari? 

Kita ambil contoh yang lebih spesifik, di Jakarta misalnya. Adakah penulis tenar dari Papua? Sejauh ini saya tak menemukan itu.

Lantas, berapa banyak karyawan di kantor kita yang berasal dari Papua? Selama ini penulis baru mendapatkan satu kawan dari Jayapura dan itu pun mesti ditemui di pos security untuk bisa bersosialisasi karena dia bertugas sebagai tenaga keamanan. Artinya masih ada jarak/kesenjangan.

Bahkan dari sisi prestasi, kesebelasan Persipura Jayapura yang mempresentasikan lewat sepak bola bahwa Papua ada dan masih jadi bagian NKRI saja tak cukup.

Boaz Sollosa, Todd Rivaldo Ferre, juga tak cukup untuk membungkam kita bahwa Papua hadir dan berkontribusi bagi Tim Nasional Indonesia. Toh mereka punya lebih banyak bakat, kekayaan alam, dan kreativitas yang patut kita rangkul dan libatkan untuk membangun Indonesia bersama-sama!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun