Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Impian Masuk Persib di Tengah "Pressure" dan Intervensi Khas Bobotoh

24 Januari 2018   10:55 Diperbarui: 24 Januari 2018   12:11 2468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap pemain bola yang terlahir di tanah pasundan memiliki impian yang sama, yakni membela klub Persib Bandung. Hampir semua anak SSB (Sekolah Sepak Bola) ketika ditanya cita-cita maupun pemain idola jawaban mereka tak jauh dari klub kebanggaan warga Jawa Barat ini.

Tak hanya pemain yang berdomisili di Provinsi Jawa Barat saja yang berbondong-bondong ingin masuk Persib. Daerah lain pun sama, Persib bak Real Madrid yang menjadi destinasi favorit pemain-pemain bintang.

Ya, sejak Persib tak lagi didanai oleh APBD, PT. Persib Bandung Bermartabat (PT. PBB) berhasil membawa Persib ke jenjang profesional terutama urusan keuangan klub. Terlepas dari keberadaan H. Umuh Muchtar sebagai manajer yang royal. Orang-orang di PT. PBB selalu ingin yang terbaik bagi Persib dalam hal apapun.

Sebetulnya, PT. PBB tak perlu bekerja ekstra keras untuk menghidupi Persib. Jika dikalkulasikan, tiket dari bobotoh saja menjadi lahan basah tersendiri. Selama dua pertandingan piala Presiden 2018 misalnya, panpel Persib selalu mengeruk keuntungan disetiap laganya lebih dari 1 M. Itu berarti keberadaan Bobotoh sedikit banyak membantu finansial klub. Kita belum sampai membicarakan penjualan mercandise, sponsorship, dan lain-lain.

Pun ketika berbicara hadiah dari sebuah turnamen yang tidak lebih besar dari hal demikian (pendapatan pertandingan). Mungkin, hanya gengsi saja yang dikejar manajemen. Rating televisi, sponsorship, dan hal lain yang membantu finansial Persib sejatinya memandang bobotoh yang selalu fanatik.

Logikanya, setiap tim yang terpuruk dimusim sebelumnya akan berpengaruh terhadap ikatan kerjasama sponsorship. Namun, yang terjadi di Persib tidak demikian adanya. Klub dalam kondisi terpuruk pun, proposal pengajuan kerjasama dari sponsor tetap menumpuk di meja manajemen.

Apa yang membuat pihak sponsor sebegitu mendambakan produknya terpampang di jersey Persib? Alasan itu bernama Bobotoh. Ya, semua karena fanatisme pendukung fanatik Persib. Sampai kapanpun, selama bobotoh mendukung tim ini, Persib akan tetap menjadi terget pasar sponsorship.

Perputaran uang di Persib yang tak pernah nyendat membuat setiap pemain sepak bola memimpikan kontrak kerja dengan tim besar ini. Pesepakbola merupakan sebuah profesi yang ujung-ujungnya berbicara hak dan kewajiban bernama gaji.

Mereka ingin sejahtera dan mereka pikir berkostum Persib itu bisa menjamin karir mereka. Selama itu pula pemain berlabel kelas satu nasional memiliki ambisi yang sama seperti anak-anak SSB yang berada di tanah pasundan.

Perbedaannya hanya soal karir yang melejit dan kedaerahan. Jika putra daerah memiliki keinginan bermain untuk Persib sebagai bentuk rasa hormat membela klub daerahnya. Pemain kelas satu nasional sebaliknya. Apapun itu. Bermain untuk Persib adalah sebuah puncak karir tertinggi seorang pesepakbola di Indonesia.

Pressure Bobotoh

Bermain untuk Persib mungkin masih jadi mimpi indah setiap pemain sepak bola. Namun, mereka lupa jika tekanan di klub berjuluk Maung Bandung ini berlipat-lipat ganda dari klub lain. Memang karir dan kehidupan si pemain setelah berhasil teken kontrak di Persib akan berubah ke arah lebih baik.

Akan tetapi, jika pemain tidak bisa mengatur tekanan yang sedemikian rupa semua kemampuan yang dimiliki tak akan bisa ditampilkan sepenuhnya.

Dukungan bobotoh di stadion akan berubah menjadi teror kepada pemain ketika tim tidak mampu menampilkan performa terbaik. Kita sudah tahu sama tahu mengenai hal ini. Tekanan yang menjelma teror tidak berhenti di stadion saja, media sosial menjadi wadah bagi bobotoh untuk meluapkan kekecewaan.

Ribuan bobotoh yang sebelum pertandingan menyemangati pemain itu akan berubah menjadi akun-akun haters ketika pemain yang bersangkutan bermain buruk.

This is Persib, begitulah tampilan koreo 3D yang menjadi atensi seisi Stadion tatkala Persib kedatangan lawan bebuyutan mereka PSMS Medan di Match ke-2 Piala Presiden 2018.

Sebuah motivasi sekaligus tekanan tersendiri bagi pemain. Karena berbagai ungkapan seperti "Tidak ada pesta bagi tim lawan setelah pertandingan usai". Jika dijabarkan, ungkapan tersebut menarasikan sebuah tuntutan agar Persib selalu menang setiap pertandingan. Draw sama dengan kalah!

Pressure tinggi bobotoh ini bagus untuk tim agar setiap pemain selalu berusaha menampilkan kontribusi positif. Namun, berbicara positif pasti ada hal negatif, pressure bobotoh kadang berdampak positif ketika pemain sudah menampilkan yang terbaik namun masih gagal meraih kemenangan, Bobotoh kerap mengkritisi secara berlebihan.

Selalu beredar kesimpulan prematur, bahwa pemain-pemain bersangkutan tidak layak mengenakan kostum Persib. Bahkan mereka dalam kondisi dan pikiran yang keruh akibat tak rela klub yang dicintainya kalah selalu mengajukan pertanyaan: Mana loyalitas dan totalitas kalian (baca: pemain) buat Persib?

Padahal mereka berlatih sehari dua kali, pagi dan sore, untuk membuktikan kemampuan mereka layak di Persib. Namun atas faktor gugup atau ketidakberuntungan bisa saja mereka kalah di pertandingan. Sebuah ironi tersendiri dari topik bernama pressure bobotoh.

Mantan Persib yang Bermain Bagus di Klub Lain

Pada akhirnya, para pemain Persib yang hengkang ke klub lain dan berrhasil memamerkan kemampuan terbaiknya menjadi bukti shahih bahwa di Persib ada tekanan yang begitu tinggi.

Tekanan memang bisa membuat setiap orang mengeluarkan kemampuan terbaik. Namun, jika kadarnya berlebihan, itu kurang baik. Coba tanyakan kepada Achmad Jufriyanto, Supardi Nasir, Airlangga Sucipto, dan Eka Ramdani para pemain senior yang keluar masuk Persib.

Mereka mengamini jika tekanan di Persib membuat setiap pemain selalu ingin menampilkan yang terbaik. Namun, adakalanya mereka menyikapi tekanan dengan energi negatif. Artinya, pemain bisa jenuh ditekan secara berlebihan oleh bobotoh.

Tuntutan untuk menang menjadi menu wajib. Namun, ketika kalah, pemain yang butuh motivasi malah diserbu komentar negatif. The power of bobotoh kadang tidak hanya menyerang pemain, staf pelatih, hingga manajemen. Media/pers pun kerap menjadi bulan-bulanan.

H. Umuh Muchtar (manajer Persib), Dejan Antonic (eks pelatih Persib), Djadjang Nurdjaman (eks pelatih Persib), Herrrie Setiawan (Assisten pelatih Persib), hingga VivaBola (media), pernah merasakan The Power Of Bobotoh. Umuh Muchtar kerap disinggun terkait intervensi kepada staff pelatih, puncaknya saat laga melawan Persija Jakarta di Liga 1 2017.

Saat itu, Persib merasa dicurangi oleh wasit dan Umuh meminta para pemainnya meninggalkan lapangan. Pengadil lapangan pun menjatuhkan pidana Walk Out kepada Persib. Selain manajer staff pelatih pun kebagian jatah dikritisi bobotoh. Dejan Antonic, Djadjang Nurdjaman, dan Herrie Setiawan tanpa ampun dihakimi secara sepihak oleh Bobotoh.

Untuk kasus Dejan dan Djadjang seperti diketahui bersama berujung pada pemecatan. Namun, terbaru kasus Herrie Setiawan masih belum terlalu di soroti media. Bagaimana Bobotoh menanyakan kinerja assisten Persib tersebut.

Terutama soal rekomendasi perekrutan pemain lokal. Kedatangan Airlangga dan Eka Ramdani menjadi pemicunya, kinerja Jose sapaan akrab Herrie Setiawan di dapur kepelatihan Persib pun dipertanyakan oleh sebagian Bobotoh.

Seharusnya Jose merekomendasikan pemain lokal berkualitas, bukan yang telah melewati masa emasnya dalam karir. Eka dan Airlangga dianggap sudah habis!

Kembali lagi kepada persoalan mantan Persib yang selalu yampil ciamik di klub lain. Beberapa nama seperti Agung Pribadi dan Samsul Arif (Persela Lamongan), Purwaka Yudhi (Arema Malang), Rafael Maitimo (Madura United), Jajang Sukmara (PSMS Medan), serta Muhamad Taufiq dan Diaz Angga Putra (Bali United) tampil moncer di klub barunya.

Hal tersebut masih berkaitan dengan tekanan, seperti yang dibicarakan Djanur di Presskon setelah laga PSMS vs Persib usai. Jajang Sukmara bermain tanpa beban! Artinya, Jajang bermain lepas dan mengeluarkan kemampuan terbaiknya ketika Ia tidak diberikan tekanan secara berlebihan.

Pun dengan mantan yang lain. Maitimo, Diaz Angga, M.Taufiq, Purwaka, dan Agung. Mereka berhasil keluar dari situasi sulit ketika diberi kebebasan bermain. Agung Pribadi yang dulunya hanya pemain cadangan di Persib kini Ia telah menjelma jadi pemain penting di tim Persela Lamongan besutan Aji Santoso.

Maitimo kini berseragam Madura United, Timo masuk kedalam rencana penting arsitek tim Gomez de Oliviera. Dalam dua laga Piala Presiden, perannya cukup vital dalam menopanh barisan depan tim Sape Perah ini.

Adapun Purawaka Yudhi, Diaz Angga, M. Taufiq, dan Samsul Arif. Mereka yang selalu memulai semuanya dari bangku cadangan memiliki peran penting di klub barunya. Padahal, ketika membela Persib kemampuan terbaiknya seolah terpendam.

Sebaliknya, Pemain Bintang Redup di Persib

Bukan saja pembuktian para mantan, pemain hebat di tim sebelumnya kadang menjadi tak berguna di Persib. Teringat satu ungkapan dari pelatih futsal bernama Doni Zola; "Percuma hebat kalau tidak berguna untuk tim".

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada kinerja para pemain yang akan penulis sebutkan satu persatu. Saya rasa hal ini perlu dijabarkan sebagai bahan analisa seorang penulis, diantaranya Tantan Dzalika, Hermawan, Juan Carlos Belencoso, Carlton Cole, Robertino Pugliara, dan lainnya cukup untuk mewakili penjelasan pemain bintang yang redup di Persib.

Kualitas Tantan Dzalika di Persitara Jakarta Utara dan Sriwijaya FC tak usah diragukan lagi. Pemain yang mengandalkan kelincahan dan kecepatan ini selalu menjadi senjata jitu bagi timnya untuk membobol gawang lawan.

Namun saat di Persib performanya menurun. Terlepas dari alasan cedera dan usia yang tak lagi muda terdapat jurang yang sangat dalam atas perbedaan performa di klib sebelumnya dan klib saat ini (Persib). Tak jarang Tantan harus berkontribusi sebagai pemain cadangan saja di Persib.

Juan Belencoso pun sama. Striker berpaspor Spanyol ini merupakan pemain yang didambakan pelatih Djadjang Nurdjaman atas kinerjanya di Liga Champions Asia bersama klub asal Hongkong. Ia tipe predator yang kelak dapat menjadi solusi masalah lini depan Persib yang tumpul. Namun, Belencoso seperti kehilangan ketajamannya di depan gawang begitu saja.

Terlepas dari alasan sulitnya beradaptasi bahasa, makanan, dan bla bla bla. Belencoso masuk dalam kategori pemain hebat yang direkrut pelatih tetapi tak berguna bagi tim.

Pemain lain datang dengan label internasional. Siapa yang tak mengenal Carlton Cole? Pemain yang pernah membela Timnas Inggris, Chelsea, dan West Ham United. Secara pengalaman, Ia kenyang betul bagaimana cara membobol gawang lawan.

Bobotoh pun punya harapan lebih terhadap pemain yang satu ini. Alih-alih menjadi predator didepan gawang lawan, Ia kerap keluar masuk ruang perawatan, terkendala masalah fisik, dan adaptasi lingkungan. Ia harus rela labelnya sebagai pemain hebat diganti dengan kata "percuma", karena Cole tak berguna untuk tim. Satu gol pun tidak Ia ciptakan. Di Inggris Ia curhat soal Intervensi dan tekanan dari manajemen Persib.

Pun dengan Robertino Pugliara, pemain asal Argentina ini bergabung ke Persib setelah malang melintang di klub besar tanah air. Tak diragukan lagi kualitasnya diterima staff pelatih tanpa melakukan seleksi yang panjang. Namun, performa brilian yang ditampilkan bersama Persipura Jayapura dan Persija Jakarta seolah sirna begitu saja dihadapan bobotoh.

Terlepas dari bayang-bayang Konate Makan. Saat itu, imajinasi bobotoh masih soal playmaker sekelas Konate. Siapapun yang datang, mereka akan dibandingkan dengan jasa Konate yang menjadi aktor utama Persib saat menggondol juara Liga 2014.

Kenapa Masih Banyak Pemain yang Bermimpi Main untuk Persib?

Pertanyaan tersebut pantas kita lontarkan kepada para pemain yang ngotot ingin bermain untuk Persib. Padahal di Persib tekanan dan intervensi dari Bobotoh serta manajemen dianggap terlalu tinggi.

Apakah bermain di Persib merupakan jalan menuju Tim Nasional Indonesia? Tidak juga, sekarang ungkapan bahwa Persib merupakan salah satu penyumbang pemain Timnas terbanyak malah terbalik. Pemain yang ingin membela Persib justru harus membuktikan kualitasnya terlebih dahulu di Timnas Indonesia.

Persib memang masih menjadi miniatur Timnas, namun hal tersebut hasil daripada perekrutan pemain yang moncer di Timnas. Ambil contoh saat Tony Sucipto, Muhamad Nasuha, Firman Utina, Muhamad Ridwan, dan Zulkifli Syukur tampil apik di Piala AFF 2012.

Mereka justru membuka jalan untuk membela Persib melalui Tim Nasional. Pemain kepercayaan Alfred Riedl tersebut menjadi fondasi tim era keemasan Persib di era 2014. Kecuali Zulkifli Syukur dan Muhamad Nasuha yang memang tidak membela Persib lagi saat itu.

Masih dengan pertanyaan dan kebingungan yang sama, kenapa Persib menjadi impian setiap pemain? Adakah hal lain yang menjadi daya tarik tersendiri. Fanatisme bobotoh kah, atau Persib merupakan indikator kesuksesan seorang pemain?

Bagi setiap pemain, membela Persib bisa jadi merupakan kebanggaan tersendiri walaupun mereka bukan putra daerah. Mungkin ada kebanggaan tersendiri saat pensiun di CP pemain yang bersangkutan tertera pernah membela Persib Bandung.

Mereka bukan saja bisa dikenal dalam waktu tertentu namun juga dikenal selamanya oleh Bobotoh. Terlepas dari kegagalan atau kesuksesan pemain tersebut. Setelah pensiun, apalagi mereka yang berhasil mengakhiri masa dedikasinya di Persib sebagai pemain sepak bola kerap di cap legenda di hati bobotoh.

Mereka (bobotoh) pada saatnya hanya akan mengingat mantan Persib dari kenangan terindahnya saja. Contoh Miljan Radovic, Lorenzo Cabanas, Reduane Barkawi, Patricio Jimenez, Nyeck Nyobe, Suchao Nuchnum, Kosin Shintaweecai, Suwitha Patha, Zaenal Arief, Cecep Supriatna, Yaris Riyadi, dan eks Persib lainnya.

Apa yang sudah mereka berikan untuk Persib selama mengabdikan diri sebagai pemain? Hampir tidak ada prestasi yang mereka berikan. Namun, bobotoh tetap mengingat masa indah pemain. Bobotoh mengingat tendangan mematikan Miljan Radovic, tendangan melengkung Lorenzo Cabanas dan Suchao Nuchnum.

Atau talapungan (baca: tendangan keras tanpa kompromi) seorang Nyeck-Nyobe dan Patricio Jimenez. Dedikasi Shintaweecai dan Suwitha Patha serta Yaris Riyadi sampai Cecep Supriatna juga selalu bobotoh ingat.

Persib tak ubahnya gulali yang menjadi rebutan pemain muda maupun senior. Dan seolah mereka lupa bahwa ada tekanan dan intervensi berlebihan di klub ini yang bisa saja meredupkan bahkan mematikan karir mereka.

Setiap

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun