Apa pun itu, yang jelas musuh telah datang lagi setelah vakum sekian lama. Aku belum bisa memprediksi jenis hewan yang mengibarkan perang itu. Yang jelas, hewan ini kurang ajar sekali karena berani buang kotoran tepat di depan pintu rumahku. Kotoran hitam kehijauan sepanjang tiga senti-an dengan diameter seukuran penampang pensil itu terlihat amat sangat menjijikkan.
Awas kau! Pokoknya perangkap akan selalu kupasang setiap malam, tak peduli aku kalau dibilang kejam.
Untuk sementara, perangkap dengan umpan yang berserakan itu kudiamkan. Biar nanti malam saja sambil memasang perangkap sekalian kubersihkan. Tapi rencanaku sepertinya harus segera direvisi.
Waktu belum juga memasuki maghrib, sudah sore tetapi belum terlalu gelap untuk menyalakan lampu, kami kedatangan tamu. Seekor curut besar datang mengendus-endus menuju umpan yang berserakan di dekat perangkap. Aku kaget. Lho, kok curut sudah berani beroperasi lagi? Bahkan kini makin berani karena belum gelap sudah menampakkan diri.
Aku memprediksi, ini curut ini kemungkinan besar yang menyebabkan perangkap menutup kemarin tanpa mengenainya. Si curut masih ingat kalau ada banyak makanan yang belum sempat dicicipinya karena keburu kaget dan otomatis lari pulang tanpa sempat makan sehingga kelaparan. Kali ini ia ingin napak tilas memakan umpan itu. Enak saja!
Untuk melawan hama, aku harus jadi raja tega. Perangkap kuambil, kupasang umpan ikan asin, kukokang, lalu kuletakkan di tempat semula. Si curut yang entah budeg atau buta itu nyosor saja tanpa menghiraukan aku yang berdiri hanya beberapa meter darinya.
Endus sana-endus sini si curut sampai ke umpan di perangkap yang kupasang. Entah apa yang terjadi, nyatanya perangkap tak juga menghentak meski si curut sudah berkali-kali menggigiti umpan. Aku geregetan. Terhina sekali aku dibuatnya.Â
Maka, dengan sedikit mengendap aku menghentak kaki didekatnya. Sial, ia cuma bergeser mundur sedikit, lalu maju kembali menggigiti umpan. Tapi kali ini takdir tak mungkin dilawan. Hanya beberapa detik kemudian terdengar suara,
 JEBRET
Si curut pun terdiam untuk selamanya.
Aku tak mau berlama-lama membiarkannya, bisa jatuh kasihan aku dibuatnya. Bisa tanpa sadar menyanyikan hymne untuknya. Pret, ah.. no way. Dengan mengeraskan hati, kulepas si curut dari perangkap, kuambil daun untuk memegang ekornya lalu kulempar ke luar pagar, tepat di atas parit yang pastinya masih tergenang.