Ternyata tangan kanannya memegang kepingan berbentuk lingkaran bertuliskan angka 114. Itu tanda peserta lomba, masing-masing memperoleh sepasang, satu disematkan di lukisan, satunya lagi dibawa. Yang diacungkan panitia itu tentu yang tersemat pada lukisan.
Hingga beberapa saat tak ada jawaban. Mungkin khawatir melihat roman gusar panitia barusan sehingga tak ada yang berani mengakui. Tiba-tiba terlihat pintu kamar di ujung asrama terbuka, lalu terlihat seseorang mencangklong tas besar bergegas menuju pintu keluar asrama. Ternyata si pelukis karbitan.
"Woi.. mau ke mana?" Panitia berteriak makin gusar melihat ada peserta yang akan pergi begitu saja.
Yang diteriaki menoleh, lalu mendekat. "Saya mau pulang, Pak. Sudah terlalu lama kami menunggu pengumuman, saya sudah ditunggu banyak orang untuk menyelesaikan pekerjaan."
Sambil melotot-lotot panitia bertanya, "Sampeyan peserta nomor berapa?"
"Wah, saya lupa, Pak. Ini nomornya ada di bagian bawah tas saya, susah mengambilnya."
"BUKA‼ Ayo buka!"
Si Pelukis karbitan bengong, lalu menjawab, " Bapak nggak bisa paksa saya seenaknya ….."
Panitia marah lalu melambai ke arah petugas sekuriti. Petugas pun merebut tas cangklong si pelukis lalu menggeledah isinya. Ketemulah kepingan tanda peserta, cocok nomornya, 114.
"Nah, ini! Ini orang yang telah menghina permaisuri dari pemimpin kita!" Semua yang hadir di situ pun tertarik menyimak kejadian tersebut. Sebagian merekam dengan alat seadanya, meski sketsa kasar di lembaran kertas PosIt belaka.
"Eh, tunggu sebentar, Pak. Saya menghina bagaimana?" Si pelukis kebingungan.