Tersebutlah sebuah kerajaan besar nan makmur bernama deSafe. Cara menulis namanya harus persis seperti itu. Karena jargon kasus sensitif sangat dijunjung tinggi di negeri itu. Bingung? Jangan! Karena kasus sensitif yang saya maksudkan itu bahasa aslinya "case-sensitive". Orang yang sering menggunakan komputer untuk mengetik pastinya paham. Iya, maksudnya, perbedaan antara huruf kapital dan non-kapital tetap akan diperkarakan sampai pengadilan.
Kerajaan itu dipimpin oleh seorang lelaki berjuluk Horen yang sangat menjunjung tinggi martabat perempuan. Sedikit saja terjadi pelecehan pada perempuan, maka laki-laki pelakunya akan kena hukuman yang kadang terasa berlebihan. Misalnya, laki-laki ngintip perempuan dan ketahuan, hukumannya adalah satu matanya dibutakan.
Belum lama ini Horen mengangkat seorang permaisuri, putri tercantik di seantero negeri, pemenang kontestasi kecantikan, kecerdasan, dan kerumahtanggaan. Kontes kesalehan tak ada di negeri itu karena kesalehan dianggap urusan langsung dengan Tuhan.
Horen sangat mengagumi permaisurinya itu. Karena selain cantik dan cerdas, suaranya pun merdu merayu bak buluh perindu mendayu-dayu. Horen pun bisa dikatakan mabuk cinta mabuk rindu. Dan kekaguman itu segera saja menjadi kebanggaan yang ingin ia pamerkan ke semua orang. Sayangnya, adat di kerajaan itu melarang seorang istri dipamerkan di hadapan banyak orang, terutama laki-laki. Maka Horen memutar otak merangkai pikiran, menyiasati segala peradatan. Akhirnya ketemulah sebuah ide terobosan. Horen akan mengadakan kontes melukis khusus bagi para seniman berhadiah rumah idaman masa depan. Banyak seniman mendaftarkan diri mengadu peruntungan.
Pada hari yang ditentukan berkumpullah para pelukis dari seluruh negeri di aula kerajaan deSafe. Lucunya, semuanya laki-laki. Bukan karena perempuan tak boleh jadi seniman pelukis, tetapi karena para perempuan deSafe gengsinya teramat sangat tinggi sekali, enggan melukis perempuan, apalagi yang lebih cantik daripada dirinya; meski hadiahnya besar.
Ada sekira limaratusan seniman mengadu peruntungan. Memang peruntungan, karena nantinya penentu pemenang adalah si objek lukisan, permaisuri tuan Horen, gadis muda yang minim pengalaman kesenirupaan.
Saat waktunya mulai diumumkan, menyebarlah para pelukis mencari angle yang paling menjanjikan. Sang permaisuri duduk santai di atas tilam sutra di tengah aula dengan pakaian menerawang, para pelukis menyebar di sekelilingnya. Tidak ada ketentuan apapun, maka tak sedikit yang memilih melukis dari arah belakang, terutama pelukis yang umurnya sudah di atas enampuluhan, entah alasannya apa.
Tiba-tiba ada sedikit kehebohan. Tampak salah satu pelukis di arah depan permaisuri mengambil meja lalu lalu berdiri di atasnya. Ia mengeluarkan semacam teleskop bajak laut untuk meneropong objek lukisan lalu turun dan kembali tekun dengan kanvasnya. Tak hanya sekali, berulang kali ia melakukannya. Terlihat paling sibuk di antara semua peserta. Para penonton di kejauhan mengenalnya sebagai "si pelukis karbitan". Memang ia terkenal "berisik" di mana-mana.
"Huh, ganggu fokus saja," gerutu salah satu pelukis tua. Meski sudah sekian lama, ia belum juga menambah coretan di kanvasnya. Memang sengaja. Mumpung dapat kesempatan langka. Ia hanya fokus menjelajahi inci demi inci pemandangan di depannya..dengan nafas memburu dan jantung berdetak kencang. Tingkah si pelukis karbitan tadi menghancurkan imaji penyatuan diri dengan objek lukisan dalam lamunannya. Agak cabul memang, tapi ini bungkusnya seni, jadi bukan pornografi.
Sekian lama lomba berlangsung, objek lukisan tak terlihat lelah sama sekali. Mungkin karena menikmati sekali dikagumi oleh para seniman laki-laki dari pelosok negeri.
"Waktu HABESS‼" akhirnya panitia lomba bertampang mirip Hulk Hogan berteriak keras menggelegar.
"Silakan meninggalkan ruangan, lukisan akan segera dinilai dewan juri!" ia menambahkan.
Si pelukis karbitan terlihat paling dulu meninggalkan ruangan. Bahkan sebelum panitia menutup mulutnya di akhir pengumuman lisan. Tapi banyak pelukis lain yang terlihat kaget dan kebingungan saat mendengar pengumuman. Akhirnya, sebagian besar di antaranya membawa serta karya mereka keluar ruangan… karena belum selesai .. atau bahkan belum ada sedikitpun coretan. Sebagian membawa serta alat lukis yang harganya setara kiloan emas di pasaran meski sejatinya bukan milik mereka.
Panitia pun heran. Perasaan sih, waktunya lebih dari cukup untuk menyelesaikan sebuah lukisan, bahkan oleh pelukis pemula sekali pun. Terus ngapain saja mereka barusan? Kalau soal alat lukis yang dibawa pulang, panitia pun tak mempermasalahkan. Karena masih banyak alat lukis yang ditinggalkan dan itu bakal jadi jatah panitia.
***
Sekarang waktunya penjurian. Dewan juri yang hanya beranggotakan dua orang pria kakak beradik, berkeliling memeriksa lukisan. Cukup lama mereka memeriksa, kadang terlihat mengelus-elus kanvas di hadapannya sambil menarik nafas panjang tapi tertahan-tahan.
Panitia yang tak sabar menunggu terlalu lama segera mengingatkan," Tuan dewan, mohon segera diputuskan lukisan mana yang paling elegan!"
Yang diingatkan kaget bukan kepalang. Entah kenapa wajah mereka berdua tersipu-sipu kemalu-maluan. Segera keduanya terlihat serius berdiskusi. Akhirnya terpilihlah sebuah lukisan. Dewan juri memutuskan lukisan itulah yang paling elegan dan pelukisnya berhak atas hadiah kemenangan.
Panitia lega. Lukisan itu memang indah sekali, sangat mirip objek aslinya, sang permaisuri yang seksi jelita. Pantas saja dewan juri tergoda lama-lama mengelus-elusnya tadi.
Oleh ketua panitia, keputusan dewan juri diberitahukan pada Tuan Horen dan Permaisuri. Lukisan yang dinobatkan paling elegan dibawa serta. Tuan Horen tersenyum senang sekaligus cemburu. Ia tak suka gambar lukisan itu dipelototi orang lain, meski itu panitia dan dewan jurinya. Karena di mana-mana laki-laki sejati itu sama; sama-sama tertarik pada keindahan wanita.
Namun, Tuan Horen menyembunyikan rasa cemburunya. Ia ingin terlihat sempurna di mata rakyatnya. Lukisan yang menurut dewan juri paling elegan itu pun disetujuinya. Sang permaisuri pun tersenyum gembira, tak menyangka jika dirinya ternyata sangat cantiknya. Ia pun jatuh cinta pada lukisannya sendiri. Diamatinya lukisan itu sambil tersenyum-senyum sendiri. Tapi ….
"Oh, tidakk‼‼" sang permaisuri tiba-tiba menjerit sambil meraba pipinya sendiri. Tuan Horen terkejut.
"Ada apa, Dindaku?" tanyanya.
"Kanda, apakah ada kotoran di pipiku?"
"Tidak. Pipimu halus mulus, Dinda."
"Tapi kenapa di lukisan itu ada nodanya?"
Tuan Horen kembali terkejut. Diamatinya lagi lukisan itu lebih teliti lagi. Memang ada setitik hitam kecil di bagian pipi lukisan permaisuri. Tuan Horen menoleh ke arah si panitia dengan gusar. Yang ditoleh segera menunduk, komat-kamit berdoa agar tidak dihukum.
"Kamu tahu tentang lukisan?" tanya tuan Horen.
"Tidak, Yang Mulia,"jawabnya. Bohong sebenarnya. Ia tamatan Akademi Seni Rupa Internetan. Banyak tahu soal lukisan. Ia hanya ingin lepas dari jeratan kesalahan saja. Supaya tidak dimintai pertanggungjawaban.
"Panggil dewan juri, cepat!" tuan Horen memerintahkan.
Si panitia menoleh ke belakang, memberi kode asistennya untuk melaksanakan. Karena suara tuan Horen sangat lantang, asisten panitia yang agak jauh di belakang pasti ikut mendengar.
**
Tergopoh-gopoh kedua dewan juri masuk menghadap.
"Kalian, periksa lagi lukisan ini. Lihat dengan teliti apakah titik hitam di pipi lukisan permaisuriku ini sengaja dilukis atau hanya kotoran yang menempel!" titah Tuan Horen.
Kedua anggota dewan juri pun segera menghadap lukisan. Bergantian keduanya meraba lukisan.
"PIPINYA KATAKU‼!" Tuan Horen murka. Karena yang diraba dewan juri terlalu ke bawah dan bukan lagi bagian wajah di lukisan.
Yang dibentak nyaris terlompat. Gemetar saking takutnya. Tadi tak terasa hanyut terbawa gairah alaminya.
"In.. in... ini sengaja dilukis, Yang Mulia. Karena menyatu dengan warna lukisan, partikelnya juga sejenis dengan cat yang digunakan…."
"PANITIA‼ Tanyakan pelukisnya, apa maksudnya menggambar noda di pipi permaisuriku?! TANYAKAN!" Saking marahnya, Tuan Horen tak lagi memikirkan prosedur hukum kenegaraan sehingga si panitia hanya diperintah untuk menanyakan. Tapi si panitia sudah langsung melaksanakan meski secara lintang-pukang.
***
Ternyata para peserta lomba belum pulang ke rumah masing-masing, masih berada di asrama mewah full fasilitas yang disediakan panitia secara gratisan. Jatahnya memang sampai pengumuman pemenang sehingga sayang kalau cepat-cepat ditinggalkan. Saat itu mereka sedang berada di lobi asrama, berpesta makanan dan minuman bergizi. Tak ada minuman keras yang memabukkan di situ, yang paling keras hanya es batu.
Sebagian besar tenggelam dalam pesta pora sehingga kehadiran panitia di tengah mereka tidak begitu kentara, hingga terdengar teriakan,
"Mohon tenang. Ada panitia mau memberikan pengumuman!"
Sontak hening. Semua fokus pada ketua panitia yang berdiri di atas mimbar yang entah kapan disiapkan. Panitia itu hanya terlihat mengangkat tangan kanan, lalu berkata," Siapa yang membawa tanda seperti ini?"
Ternyata tangan kanannya memegang kepingan berbentuk lingkaran bertuliskan angka 114. Itu tanda peserta lomba, masing-masing memperoleh sepasang, satu disematkan di lukisan, satunya lagi dibawa. Yang diacungkan panitia itu tentu yang tersemat pada lukisan.
Hingga beberapa saat tak ada jawaban. Mungkin khawatir melihat roman gusar panitia barusan sehingga tak ada yang berani mengakui. Tiba-tiba terlihat pintu kamar di ujung asrama terbuka, lalu terlihat seseorang mencangklong tas besar bergegas menuju pintu keluar asrama. Ternyata si pelukis karbitan.
"Woi.. mau ke mana?" Panitia berteriak makin gusar melihat ada peserta yang akan pergi begitu saja.
Yang diteriaki menoleh, lalu mendekat. "Saya mau pulang, Pak. Sudah terlalu lama kami menunggu pengumuman, saya sudah ditunggu banyak orang untuk menyelesaikan pekerjaan."
Sambil melotot-lotot panitia bertanya, "Sampeyan peserta nomor berapa?"
"Wah, saya lupa, Pak. Ini nomornya ada di bagian bawah tas saya, susah mengambilnya."
"BUKA‼ Ayo buka!"
Si Pelukis karbitan bengong, lalu menjawab, " Bapak nggak bisa paksa saya seenaknya ….."
Panitia marah lalu melambai ke arah petugas sekuriti. Petugas pun merebut tas cangklong si pelukis lalu menggeledah isinya. Ketemulah kepingan tanda peserta, cocok nomornya, 114.
"Nah, ini! Ini orang yang telah menghina permaisuri dari pemimpin kita!" Semua yang hadir di situ pun tertarik menyimak kejadian tersebut. Sebagian merekam dengan alat seadanya, meski sketsa kasar di lembaran kertas PosIt belaka.
"Eh, tunggu sebentar, Pak. Saya menghina bagaimana?" Si pelukis kebingungan.
"Kamu tidak merasa? Kurang ajar kamu ya?" Kamu sengaja melukis noda di pipi permaisuri, kan? Itu penghinaan, tahu‼
"Loh, memang faktanya ada, kok. Kalau nggak ada mana mungkin saya lukis? Saya mengamatinya pake teropong, loh!"
"Dasar gila. Itu kunci kesalahanmu! Kalau pake teropong, pori-pori halus pun akan terlihat sebagai noda. Kamu sengaja, kan? Jangan ngeles!"
"Wah, bapak ini nggak bisa membedakan teropong dan mikroskop rupanya. Teropong cuma mendekatkan bayangan, Pak. Kan saya jauh tuh posisinya, kalah duluan milih posisi ama yang tua-tua, makanya pake teropong supaya seperti melihat dari jarak setengah meteran saja. Kalau mikroskop mah lain lagi ceritanya…"
"Halah, tidak usah banyak cingcong, akui saja kamu sengaja. Iya, kan?"
"Lho, karena memang ada ya saya sengaja melukisnya. Bagaimana sih bapak ini?"
"Sudah, sekarang kamu harus menghapus noda hitam tadi. Ayo ikut aku ke istana!"
"Saya nggak mau, Pak. Itu nggak jujur namanya. Wong tadi saya lihat memang ada bopengnya, kok!"
"APA? Kamu bilang permaisuri ada bopengnya?"
"Kan memang iya. Klo tadinya tertutup riasan mungkin tidak kelihatan, tapi yang saya amati pake teropong tadi memang terlihat bintik hitam. Mungkin riasannya luntur karena keringat.."
"Makin kurang ajar kamu, ya? Kamu menuduh alat rias istana tidak berkualitas dan gampang luntur karena keringat?"
"Kok jadi gitu sih, Pak? Salah saya di mana? Kalau saya dianggap salah, ya saya minta maaf, Pak!" si pelukis karbitan yang sudah capek dimaki-maki akhirnya menyerah untuk minta maaf.
"Enak saja. Minta maaf tidak cukup. Kamu harus dihukum karena menghina permaisuri!"
"Wuaduh.. terserah Bapak, deh. Kalau secara hukum saya memang bersalah, silakan dihukum saja, saya rela. Sekarang saya mau pulang. Makasih."
Si pelukis karbitan pun pulang tanpa menunggu pengumuman kemenangan. Ia tak sadar jika ada pewarta istana yang ikut si panitia tadi. Si pewarta memberitakan kalau si pelukis karbitan nyata-nyata menghina permaisuri, mengatainya bopeng dan tidak cantik.
Maka hampir seluruh penduduk negeri beramai-ramai meminta agar si pelukis karbitan dihukum seberat-beratnya. Minimal diusir dari negeri deSafe. Menghina permaisuri bukan kesalahan ringan. Karena mutlaknya kecantikan permaisuri telah jadi keyakinan penduduk kerajaan.
Namun, ada sebagian penduduk yang yakin kalau si pelukis karbitan tidak bersalah. Kejujurannya sudah berkali-kali teruji. Hanya saja memang mulutnya agak bermasalah. Bicaranya kasar dan meledak-ledak. Karena dari sifat itulah julukan pelukis karbitan disematkan. Bukan karbitan dalam arti dipaksa matang, tetapi karena omongannya seperti ledakan meriam bambu berbahan bakar karbit yang dulunya bermunculan di bulan puasa.
Lalu bagaimana akhirnya? Yang "tahu pasti" hanya Tuhan. [16-Nov-2016]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H