Setelah kematian suaminya beberapa bulan lalu, Dhera sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini. Hidup bertiga dengan kedua anaknya. Tanpa ada sosok suami yang biasa menemaninya, menjadi ibu sekaligus pemimpin dalam keluarga.
Putranya, Darren yang menginjak usia sembilan tahun. Sedangkan putrinya, Lintang yang besok pagi sudah mulai bersekolah di taman kanak-kanak. Dia arus bertahan demi mereka yang menjadi alasannya bertahan hidup hingga sekarang.
Dhera menatap kedua anaknya itu dari balik pintu. Keduanya sedang menyiapkan barang-barang untuk sekolah Lintang. Ya, besok adalah hari pertama putrinya itu bersekolah.
"Lihat, deh, Kak. Tas balu Lintang bagus, 'kan," kata Lintang seraya memamerkan tas barunya kepada sang Kakak.
"Bagusan tas aku, wlee ...," balas Darren tidak terima.
"Kakak, kok, bawa buku banyak. Aku, kok, cuma satu?" tanya Lintang saat melihat Kakaknya memasukkan beberapa buku ke dalam tas. Sedangkan ia hanya diberikan satu buku saja.
"Kamu, 'kan, baru TK, kalo Kakak, 'kan, sudah SD. Jadi Kakak boleh bawa buku banyak," jelas Darren.
"Jadi, kalo udah sekolahnya kayak Kakak bawa bukunya banyak?" tanya Lintang lagi.
"Iya, dong."
Tanpa terasa mata Dhera mulai mengembun. Digenggamnya dengan kuat baju yang dikenakan, setetes air mata jatuh membasahi pipi. Mereka masih bisa tersenyum, mengapa dirinya tidak?
"Bunda, kenapa Bunda nangis?" tanya Darren yang berjalan menuju ambang pintu untuk menghampiri Dhera. Darren meraih tangan Wanita yang berstatus sebagai ibunya itu, lalu menariknya turut masuk ke dalam.