Mohon tunggu...
Arghea Hapsari
Arghea Hapsari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Tantangan Besar di Dua Tahun ke Depan Bagi Pasar Pinjaman P2P

28 Maret 2017   09:41 Diperbarui: 30 Juli 2017   06:23 4405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Thierry Sanders, CEO PT Sampoerna Wirausaha (Mekar.id)

Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun! Pasar pinjaman peer-to-peer (P2P) di Indonesia kini menginjak usia satu tahun. Ya, pasar pinjaman peer-to-peer lahir pada tahun 2016 dan perusahaan-perusahaan P2P yang masih balita ini telah membantu masyarakat mendapatkan Rp 275 miliar dalam bentuk pinjaman yang dikucurkan oleh para pemberi pinjaman secara online.

Ini adalah sebuah pencapaian besar, seperti balita yang baru merangkak lalu berjalan. Tapi, saat anak bayi mulai melangkah untuk pertama kalinya, besar kemungkinan dia akan terjatuh. Inilah yang ingin saya soroti dalam tulisan ini.

Pinjaman peer-to-peer (bayangkan seseorang memberi pinjaman ke seorang lainnya melalui perantara sebuah website) bukanlah hal yang baru di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris. Platform-platform pinjaman P2P tertua di kedua negara tersebut saat ini telah berumur 12 tahun. Dikenal dengan sebutan P2P lending atau crowdfunding (urun dana), platform-platform online ini pada dasarnya adalah sebuah website di mana peminjam bisa mendapatkan pendanaan atau pinjaman secara langsung dari pemberi pinjaman.

Di tahun 2016, lahir enam platform pinjaman P2P di Indonesia. Dimulai dari yang terbesar, mereka adalah: Modalku, Investree, Amartha, Mekar, Koinworks dan Crowdo. Kesemuanya menawarkan pendanaan untuk usaha kecil. Ini sesuatu yang unik, karena di banyak negara lain, pemain di industri ini biasanya menawarkan pinjaman pribadi dan bukannya pinjaman modal usaha. Di Indonesia, Uangteman.com adalah pemain terbesar yang menawarkan pinjaman pribadi, tetapi mereka merogoh kocek sendiri untuk mendanai pinjamannya dan tidak menjalankan sistem P2P.

Orang tua biasanya mulai khawatir saat bayinya berusia satu tahun dan mulai melangkah untuk pertama kalinya. Indonesia juga begitu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya berpikir sudah saatnya mengatur sektor ini. Di akhir tahun 2016, OJK menelurkan regulasi FinTech yang mengatur pemberi pinjaman P2P. Layaknya orang tua yang baru memiliki anak, OJK juga terkesan masih menjajaki cara meregulasi yang tepat. Biasanya orang tua lebih keras pada anak pertama dibanding anak kedua, karena mereka tidak tahu hal-hal apa saja yang harus mereka awasi dari anaknya.

Namun sebenarnya Indonesia bisa belajar dari pasar pinjaman P2P yang lebih besar, seperti di Cina, atau yang lebih tua, seperti di Amerika Serikat, sehingga kita bisa mengetahui hal-hal apa saja yang perlu kita perhatikan di sektor ini.

Bulan lalu, regulator di Cina, dipimpin oleh Beijing Bureau for Financial Work, menerbitkan laporan yang mengejutkan. Cina saat ini memiliki 4.856 perusahaan pinjaman P2P yang secara keseluruhan telah mengucurkan pinjaman sebesar US$ 116 miliar. Namun, laporan tersebut memperkirakan bahwa pada akhir tahun ini, sembilan dari sepuluh platform P2P di negara itu akan mengalami kegagalan ataupun dipaksa untuk gulung tikar oleh para pembuat kebijakan. Itu berarti sekitar 4.400 perusahaan akan tutup atau dijual ke perusahaan lain. Di akhir 2015, Ezubao, yang tadinya adalah salah satu perusahaan pinjaman P2P terbesar di Cina, menipu 1 juta nasabahnya dan menggelapkan dana sekitar US$ 14,5 miliar.

Dengan jatuhnya Ezubao, bisa dipastikan bahwa tiga platform pinjaman P2P terbesar di Cina, Lufax, CreditEase dan Diangrong akan berusaha memperluas pasar, tapi tidak hanya di Cina. Mereka akan harus melakukan diversifikasi sampai ke luar Cina agar dapat bertahan di tengah turunnya tingkat kepercayaan domestik. Mereka mungkin akan datang ke Indonesia pada tahun 2018 mendatang. Ini bisa berarti tantangan atau kesempatan tidak hanya bagi perusahaan-perusahaan pinjaman P2P di Indonesia, tapi juga bagi bank-bank yang tidak siap bersaing di ranah digital.

Tidak bisa dipungkiri, kontrol dan regulasi memang diperlukan untuk sektor ini di Indonesia, dan OJK mengeluarkan peraturannya di saat yang tepat.

Jadi apa saja pelajaran yang bisa kita petik dari pengalaman di Cina dan Amerika Serikat? Berikut saya jabarkan beberapa tantangan yang dihadapi pasar pinjaman P2P di Indonesia supaya kita bisa melindungi nasabah dan investor kita agar tak kehilangan uang mereka.

Tantangan #1 Rekening dan Penyalahgunaan Dana

Masalah utama platform-platform pinjaman P2P di Cina adalah mereka memegang dan menahan dana dari para investor sebelum disalurkan ke peminjam. Hal yang sama dilakukan terhadap dana pinjaman yang dibayarkan kembali oleh peminjam, pengembalian ke investor ditunda untuk beberapa saat dan dananya ditahan oleh perusahaan. Saat dana ini menjadi sangat besar dan perusahaan ambruk, hilanglah dana tersebut.

Peraturan OJK menyebutkan bahwa sebuah perusahaan pinjaman P2P harus memiliki dan mengelola sebuah rekening escrow untuk menampung dana dari pemberi pinjaman. Rekening escrow adalah rekening yang dipegang oleh pihak ketiga dan penarikan dana dari rekening ini diatur dengan peraturan-peraturan yang ketat dan hanya untuk peruntukan tertentu.

Namun, apabila peraturan yang ada kurang jelas dan rekening escrow-nya masih dimiliki oleh perusahaan, dana pinjaman masih tetap akan dikontrol oleh perusahaan tersebut.  Ini berarti si perusahaan bisa menggunakan dana itu untuk kepentingan lain, atau bahkan membawa kabur seluruh uang nasabahnya.

Karena itu, rekening escrow harus sepenuhnya dipegang oleh pihak ketiga, atau perusahaan P2P harus bekerja sama dengan bank untuk membuatkan rekening P2P khusus bagi para pemberi pinjaman, dimiliki langsung oleh pemberi pinjaman dan bukan oleh perusahaan. Ini adalah cara yang digunakan di Inggris dan Uni Eropa. Dengan begini, dana pinjaman akan benar-benar aman.

Tantangan #2 Pinjaman Dijual Dua Kali

Masalah lainnya di Cina adalah, secara teori, sebuah platform pinjaman P2P bisa saja menjual satu pinjaman dua kali, secara sengaja maupun tidak. Kalau ini terjadi, dana yang diperoleh dari menjual pinjaman kedua kalinya mungkin akan disalahgunakan. Lalu platform tersebut hanya bisa berharap saja bahwa mereka akan bisa membayar kembali pinjaman secara tepat waktu. Ini jelas penipuan, dan ini sudah pernah terjadi, terutama di Cina. Ini masalah besar, tapi solusinya mudah.

Untuk menghindarinya, semua dana dari investor harus ditransfer secara langsung ke peminjam, dan tidak melalui operator platform. Selain itu, perusahaan pinjaman P2P juga harus membuat penghitungan jumlah pinjaman dengan cara dinomori berurut seperti nomor faktur. Ini membuat audit OJK jauh lebih mudah.

Tantangan #3 Sembunyikan atau Jual Bangkainya

Salah satu film kesukaan saya tentang krisis finansial adalah The Big Short. Film ini bercerita tentang bagaimana tidak seorang pun –kecuali beberapa yang sangat paranoid, mendatangi rumah-rumah yang hipoteknya dijual oleh Lehman Brothers dan Bear Stearns dalam paket-paket CDO (kewajiban utang kolateral) berperingkat ‘Triple-A’.

Kita semua tahu akhir ceritanya. Paket-paket kredit itu semuanya busuk seperti bangkai kucing dan lembaga-lembaga pemeringkat kredit seperti S&P dan Moody’s tidak memeriksa resiko kredit hipotek-hipotek subprima yang dijual.

Di bulan Mei 2016, CEO dari Lending Club terpaksa mundur setelah menjual kredit-kredit “near prime” dengan jumlah hampir US$ 20 juta pada lembaga investor yang tidak mengetahui kondisi yang sebenarnya dari pinjaman-pinjaman tersebut.

Di Cina, hal ini bahkan lebih sering lagi terjadi. Di Belanda, salah satu platform P2P terbesar juga menghadapi masalah karena mereka menyembunyikan fakta bahwa beberapa pinjaman yang mereka jual bermasalah, agar investor tidak tahu.

Karena inilah, menjadi sangat penting bagi semua platform untuk mempublikasikan rasio Non Performing Loans (NPL) mereka. Dan nilai NPL ini harus diaudit dengan teliti oleh OJK atau auditor lainnya yang independen.

Yang telah saya jabarkan adalah tiga masalah utama yang dihadapi perusahaan pinjaman P2P di Cina dan Amerika Serikat. Namun, ada tiga lagi yang juga merupakan tantangan besar yang harus dihadapi oleh keseluruhan sektor keuangan di Indonesia. Dan ini membutuhkan perhatian khusus.

Tantangan #4 Nakhoda yang Tak Tahu Arah

Sebagian besar orang Indonesia yang pernah meminjam uang terdaftar di sistem yang disebut SID database. Sistem ini mendata histori kredit para peminjam di Indonesia. Untuk alasan yang kurang jelas, OJK dan BI mempersulit lembaga keuangan non-bank (seperti perusahaan pinjaman P2P dan juga koperasi-koperasi simpan pinjam dan perusahaan-perusahaan multiFinance) untuk mengakses informasi ini. Ini berarti banyak pinjaman yang diberikan pada orang-orang yang kemungkinan besar tidak akan membayar kembali. Para nakhoda dari lembaga-lembaga keuangan non-bank saat ini berlayar tanpa tahu arah.

Menutup akses kepada sistem rating kredit SID sama saja dengan menolak memberikan informasi penting dan ini pada gilirannya akan berakibat buruk pada lembaga-lembaga keuangan non-bank di Indonesia. Pemerintah harus sepenuhnya mendukung dibentuknya lembaga komersial pemberi rating kredit ‘Pefindo’ demi menghindari kerugian nasabah.

Di Inggris, sebuah komite yang mengawasi pasar pinjaman P2P baru-baru ini meminta tersedianya akses pada informasi pemerintah agar tidak terjadi pinjaman-pinjaman bermasalah. Tidak hanya itu, mereka juga meminta dibuatnya database terpusat yang mencakup seluruh data peminjam dan pinjaman, mirip dengan SID di Indonesia – tapi bisa diakses oleh seluruh lembaga peminjaman yang terregulasi.

Tantangan #5 Transfer Dana

Sistem pembayaran antar bank di Indonesia sudah sangat kuno, juga tidak transparan dan sangat mahal. Bank-bank di Indonesia suka sekali mengenakan biaya setiap kali seseorang melakukan transfer; ini bahkan menjadi core business dari beberapa bank besar di negara ini. Saat ada uang yang masuk, seringkali tidak jelas siapa pengirimnya dan dari rekening bank mana. Hal ini menyulitkan platform-platform P2P untuk memproses dana yang masuk dengan cepat dan menyebabkan mereka harus menahan dana tersebut selama beberapa saat selama prosesnya.

Cara kami mengatasi masalah ini di Mekar yaitu dengan menggunakan jasa perusahaan FinTech rintisan bernama Xendit.co, yang proses kerjanya sangat transparan dan memastikan kami tidak pernah menyentuh uang para investor serta uang yang masuk segera ditransfer ke peminjam. Tapi jasa mereka tidak murah. Seluruh pengguna jasa bank di Indonesia akan diuntungkan apabila pembuat kebijakan memaksa semua bank untuk bersama-sama membuat sistem atau gateway kliring pembayaran antar bank yang transparan dan lebih murah.

Tantangan #6 Basel 3, Bank, Anak-anak dan Pinjaman P2P

Saya memiliki dua orang anak. Setiap kali saya membuat peraturan untuk mereka, mereka akan dengan cerdik menemukan cara untuk lolos dari peraturan itu. Menerapkan lebih banyak aturan tidak selalu menyelesaikan masalah. Ini berlaku juga untuk bank.

Belajar dari krisis finansial di tahun 2008, kini sedang digodok peraturan-peraturan terkait resiko yang akan diberlakukan bagi bank. Para banker menyebutnya “Basel 3”. Salah satu bunyi peraturan ini adalah bank harus menyediakan cadangan umum yang lebih besar daripada rasio yang ditetapkan saat ini guna menutup resiko kerugian dari balance sheet lending (memberikan pinjaman menggunakan uang sendiri) yang mereka lakukan.

Kemudian bank berpikir, kalau begitu kita lakukan off balance sheet lending saja, sehingga kita tidak perlu menyediakan buffer cadangan umum yang disyaratkan. Untuk tujuan itu, saat ini beberapa bank telah mulai melirik peluncuran ataupun akuisisi platform-platform pinjaman P2P. Di Indonesia, beberapa bank juga sudah melakukan hal serupa. OJK perlu menetapkan peraturan yang tegas dan menciptakan playing field yang seimbang baik bagi platform-platform P2P rintisan maupun bagi bank. Ini dibutuhkan untuk mencegah terjadinya masalah-masalah yang telah saya sebutkan di atas.

Saya mendukung OJK melakukan pengawasan yang lebih ketat dan tidak menambah peraturan, melainkan melakukan audit karena hal ini sangat diperlukan. Kekhawatiran saya sebagai seorang direktur di Mekar, sebuah platform P2P, adalah jika ada salah satu platform yang ambruk, dan membuat yang lainnya kesulitan dalam menawarkan jasa kami yang sesungguhnya sangat bermanfaat.

Mungkin ada dampak positifnya bila perusahaan pinjaman P2P dari Cina seperti Dianrong dan Lufax yang kuat dan berpengalaman masuk ke Indonesia, yaitu standar pelayanan untuk konsumen di negara ini bisa jadi akan lebih baik. Karena bagaimanapun, sektor P2P itu bertujuan untuk melayani peminjam dan pemberi pinjaman, bukan melayani para perusahaan pinjaman P2P atau bank.

Jadi mari kita pisahkan aliran dana pinjaman dari rekening perusahaan; hindari penyalahgunaan uang orang lain, hindari menjual pinjaman dua kali dan mulai menerapkan transparansi bila menjual kredit-kredit bermasalah. Indonesia bukanlah Cina. Sedia payung sebelum hujan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun