"Wahai, batu karang!" teriak Bhanu tidak begitu keras, "wahai ombak lautan, kenapa langit tak kau biarkan sunyi. Biar kudengar suara jiwa. Agar gelisah tak meronta. Wahai langit hitam, lihatlah aku, lelaki sial ini, lelaki hina tak bermahkota. Lelaki nestapa yang bersembunyi di ruang hitam bernama kekalahan. Demikianlah bidadariku memandangku, mengiranya cinta sepenuh jiwaku ini, hanyalah tentang berahi. Kutuklah aku, wahai temaram malam, jangan diam saja!"
Amaranggana terkesiap, wajahnya menunduk, dari bibirnya lirih terdengar, "Bhanu, maafkan aku, maafkan Amarangganamu ini. Sesungguhnya aku mencintaimu pula."
Tapi Bhanu tidak mendengar suara lirih Amaranggana yang terucap bersamaan dengan debur ombak yang menghantam batu karang.
Pada langit di mana bulan menutup dirinya dalam selimut legam, malam menjadi begitu hening, tak ada lengusan napas daun nyiur, bahkan suara cengkerik pun seakan memahami suasana hati dua anak manusia itu. Mereka terdiam, seolah tak ingin dipersalahkan atas perpisahan Bhanu dan Amaranggana.
"Amaranggana yang bagiku kekasihku, telah kulepaskan semua," ucap Bhanu akhirnya sambil melangkah mendekati Amaranggana. Dada Amaranggana berdebar, wajahnya masih menunduk. Ada gelisah dan malu yang menenyeruak masuk ke perasaan Amaranggana.
"Itu bukan sajak untukmu Amaranggana, itu amarahku, baru saja kulepaskan ke laut lepas. Agar cinta untukmu di dalam jiwaku tak terkelupas, apalagi sampai harus kandas. Dapatkah kau pahami kegelisahanku Amaranggana?"
Amaranggana mengangguk, "maafkan aku Bhanu."
Bhanu menarik napas, kemudian tersenyum, ditatapnya mata Amaranggana lembut, "lihatlah aku Amaranggana, lihat lelaki ini. Lelaki yang mencintaimu sejak sajak pertama yang ditulisnya kau baca keras-keras. di tengah hujan senja yang deras. Di hidup lelaki ini tak pernah ada air mata, ia dilahirkan dengan takdir mengusap air mata Amaranggana. Bidadari mata indahku, esok sebelum matahari terbit, aku pamit pergi. Setelah itu, pintaku padamu, jangan ada air mata lagi di siang dan malam-mu."
"Kemana hendakmu sesungguhnya, Bhanu?" tanya Amaranggana masih terisak.
"Amaranggana, seperti yang pernah aku katakan, tempat itu kuberi nama kesunyian, ia bisa berada di mana saja. Atau bahkan, bisa jadi ia hanyalah sekadar kehampaan yang kuciptakan dari ilalang dan sajak-sajak."
"Bhanu, bisakah kau tak harus meninggalkan aku?" Amaranggana meraih lagi kedua tangan Bhanu, "sesungguhnya setiap aliran darahku, dan dengan udara yang kuhirup, memintamu untuk tetap di sini, Bhanu. Dalam hidupnya, Amaranggana tak pernah membayangkan tiap detiknya tanpa wangi tubuh Bhanu."