Mohon tunggu...
Riva Renoza
Riva Renoza Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Cuma sekadar ingin menulis - melepas kata-kata, karena hidup tidak selalu baik-baik saja, pun berbagi pemikiran yang mungkin tidak penting.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Pada Temaram Malam

5 September 2022   07:09 Diperbarui: 17 September 2022   00:40 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelas sudah bulir bening itu tampak di sudut mata Amaranggana. Demikianlah Bhanu yang Amaranggana kenal sebelum hari ini, tak pernah ada kata aku kau, aku kamu. Ia selalu menyebut Amaranggana, tak pernah hanya Amara atau Ana seperti kebanyakan orang yang mengenalnya. Jadi, jika baru saja Bhanu mengucapkan kalimat itu, kalimat tanpa aku kau, tanpa aku kamu, itu artinya Bhanu sedang ingin memberi tahu, bahwa ia tetap Bhanu-nya Amaranggana.

"Bhanu, maafkan aku," kata Amaranggana pelan, ada sedikit isak.

"Hey, Amaranggana, jika kata maaf kau ucapkan, itu artinya kau salah. Tidak Amaranggana, tidak, kau tidak salah. Dunia sedang tidak ingin berpihak padaku, padamu, pada kita. Cinta di setiap darah dan tulang belulangku sedang diuji, aku tengah diingatkan oleh bumi yang sedang kupijak, bahwa apa yang kuinginkan, tidak selalu harus menjadi ada, tak harus selalu menjadi kepunyaanku.

Tolong jangan menangis Amaranggana, kau adalah seluruh cinta bagiku. Meskipun kau kini berdiri di hadapanku sebagai cinta yang tak bisa kuraih, tak dapat kudekap. Tapi bagiku kau tetaplah jiwa, yang di setiap langkahmu kusematkan doa. Tak hendak kuhapus itu. Aku hanya tak akan sanggup melihatmu bersenda gurau bukan denganku. Itu saja. Maka ijinkan aku pergi."

Amaranggana hanya diam, matanya menerawang seperti menelusuri setiap kata yang terucap dari bibir Bhanu, sosok yang begitu sangat mengasihinya. Amaranggana menyadari dengan sangat, betapa Bhanu menyimpan cinta yang tak terbilang kepadanya. Sesungguhnya, ia ingin sekali menggenggam ketulusan cinta lelaki yang berdiri di hadapannya itu. Lelaki berwajah tenang yang tak pernah memberinya luka.

Namun Amaranggana tak sanggup, sebab ia sudah tak mungkin, telah tak dapat. Amaranggana sudah akan melangsungkan pernikahan, dalam pekan ini. Faras Hirawan, dokter muda asal Surabaya itu sudah meminangnya. Orang tua Amaranggana dengan gembira telah menerimanya, dan Amaranggana tak berani menolak.

"Apakah nanti setelah kau di sana, dalam kesunyian itu, masih akan ada sajak yang kau tulis dan kau kirimkan untukku, Bhanu?"

Bhanu menatap lembut Amaranggana, berusaha membalas pertanyaan Amaranggana dengan senyum. Biasanya senyum Bhanu itu menular. Selama ini Amaranggana pasti ikut tersenyum setiap Bhanu memberinya senyum. Kali ini tidak, Amaranggana menahan tangis.

"Bhanu..." Amaranggana meminta jawaban.

"Amaranggana, sajak-sajak yang pernah kau baca itu, yang kukirimkan tiap malam purnama dengan mengetuk jendela kamarmu itu, selalu kutulis dengan rasa, ia tercipta setelah kepingan kisah kau dan aku, ia ada karena kau ada. Bagaimana bisa aku menulis sajak, jika tak ada Amaranggana? Jika tak ada binar mata indahmu? Amaranggana, sajak-sajak itu adalah kau."

Amaranggana kembali tertunduk dalam diam. Sebenarnya ia tak ingin menitikan air mata, demi menghargai cinta Bhanu yang tak pernah pupus digilas waktu, namun ia tak sanggup, ia membiarkan air mata itu mengalir, air mata itu untuk Bhanu yang pernah menawarkan kasih selembut tutur katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun