Mohon tunggu...
Ghazza Ardiyanto
Ghazza Ardiyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi

22 Mei 2024   19:21 Diperbarui: 22 Mei 2024   19:29 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Informasi Skripsi

Judul  : Hak Ayah Terhadap Hadanah Anak di Bawah Umur

Oleh : Ahmad Rizaldi Firdaus

Instansi : Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Tahun : 2022

PENDAHULUAN

Allah Swt menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal dan berpasang pasangan agar mereka cenderung satu sama lain, saling menyayangi dan saling mencintai, Bagi umat Islam terdapat aturan untuk hidup bersama yaitu seperti yang dijelaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 menyebutkan "Pernikahan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah Swt dan melaksanakannya merupakan ibadah". Pernikahan merupakan salah satu pelaksanaan perintah Allah Swt, dan sunnah Rasulullah. Pernikahan juga media untuk memperbanyak amal kebaikan. Bila seorang suami menyuapkan sesendok nasi ke mulut istrinya, itu akan menjadi sedekah baginya. Jika ia menggauli istrinya, itu pun menjadi sedekah untuknya. Kalau Allah Swt menganugerahinya keturunan yang saleh, setiap ibadah yang dilakukannya akan memperberat timbangan kebaikannya dan kebaikan istrinya. Pendek kata, ia akan memetik banyak manfaat dan keberuntungan di dunia dan akhirat melalui anak-anaknya.

Dalam keluarga terdiri dari seorang kepala keluarga dan beberapa angota keluarga. Dalam hal ini seorang kepala keluarga atau ayah memiliki tanggung jawab guna memberi rasa aman dan melindungi setiap anggota keluarganya. Tidak hanya itu, ayah juga wajib mengayomi setiap anggota keluarganya dan ayah juga harus bisa menjadi pengambil keputusan ketika terdapat suatu konflik yang ada di dalam keluarga. Selain itu, sebagai seorang kepala keluarga.

Berbagai permasalahan timbul akibat terjadinya perceraian, baik permasalahan harta bersama sampai permasalahan siapa yang lebih berhak mengasuh anaknya (hadanah) termasuk mengenai nafkah yang akan diberikan kepada anak tersebut.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut KHI, anak adalah orang yang belum genap 21 tahun dan belum pernah menikah dan karenanya belum mampu untu berdiri sendiri. Adapun menurut pendapat ulama yang ahli di bidangnya, hadanah itu berkaitan dengan tiga hak secara bersamaan. yaitu hak orang yang memelihara, hak orang yang dipelihara, dan hak ayah atau orang bertindak selaku wakilnya. Jika ketiganya mampu digabungkan maka wajib dilakukan. Namun apabila bertentangan maka yang didahulukan adalah hak orang yang dipelihara.

Pemeliharaan anak (hadanah) jika kedua orang tuanya bercerai, baik ibu maupun bapak tetapi berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi kepentingan anaknya. Jika terjadi perselisihan suami istri mengenai hadanah maka dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah keluarga ataupun dengan putusan pengadilan. Dalam Islam, hak mengasuh anak (hadanah) adalah menjadi tanggung jawab yang besar yang harus dijalankan oleh pihak yang terkait yaitu ayah ataupun ibu, karena anak adalah titipan dari Allah SWT yang harus kita rawat.

Dalam hal pendidikan, orang tua sangat bertanggung jawab dalam hal ini, karena undang-undang mengamanahkan terhadap orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap anak. Sebagaimana terdapat pada Pasal 26 ayat (1) huruf (a) UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak: "Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak".

Tanggung jawab pemeliharaan secara wujud ada dua yaitu tanggung jawab bersifat materil dan tanggung jawab bersifat pengasuhan. Letak perbedaan tanggung jawab tersebut bahwa tanggung jawab yang bersifat materil itu kaitannya dengan seorang ayah yang harus memenuhi pembiayaan untuk penghidupan anak, termasuk biaya pendidikannya dan apabila ayah tidak bisa memenuhi kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut. Hal tersebut termaktub dalam Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 41 ayat (2), sedangkan tanggung jawab yang bersifat pengasuhan bahwa ibu lah yang memegang hak asuh, selama anak itu belum mumayyiz.

Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua diatur dalam pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 26 yang berbunyi:

Pasal 26:

1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak.

b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.

c. Dan mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak.

2) Dalam hal orang tua tidak ada atau karena suatu kewajiban dan tanggung jawabnya maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

ALASAN MENGAPA MEMILIH JUDUL SKRIPSI

Alasan saya mereview skripsi dengan judul "Hak Ayah Terhadap Hadanah Anak di Bawah Umur" adalah karena saya merasa bahwasannya penting untuk mengevaluasi kesenjangan antara hukum dan praktik dalam pemberian hak ini, memahami dampak peran ayah terhadap kesejahteraan anak, dan mendorong kesetaraan dalam hak-hak orang tua. Hal ini juga dapat memberikan wawasan baru dan rekomendasi kebijakan yang lebih adil. Bagi saya sebagai mahasiswa hukum keluarga Islam, menarik untuk mengulas penelitian ini karena topik ini sangat relevan dengan jurusan saya dalam studi yang berfokus pada prinsip-prinsip hukum Islam dalam hubungan dengan keluarga.

PEMBAHASAN

1. Pengertian Hadanah

Secara bahasa hadanah berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan. Hadanah juga berarti "di samping" atau berada "di bawah ketiak" Sedangkan secara terminologis, hadanah adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.

Dalam Islam pemeliharaan anak disebut hadanah. Secara etimologis, hadanah jamaknya ahdhan atau hudhun diambil dari kata hidhn yaitu anggota badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-kayh (bagian badan sekitar pinggul antara pusat hingga pinggang). Burung dikatakan hadanat-tha'ir baydhahu, manakala burung tidak mengerami telurnya karena dia mengumpulkan (mengempit) telurnya itu ke dalam dirinya di bawah (himpitan) sayapnya. Demikian pula sebutan hadanah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala mengemban anaknya di bawah ketiak, dada, serta pinggulnya.

Dalam meniti kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja mengabaikan lantaran hak-hak anak tersebut termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan dalam Islam, yakni memelihara anak sebagai amanah Allah Swt yang harus dilaksanakan dengan baik.

Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Abdul Rozak, anak memiliki hak-hak sebagai berikut:

a) Hak anak sebelum dan sesudah melahirkan

b) Hak anak dalam kesucian keturunannya

c) Hak anak dalam pemberian nama yang baik

d) Hak anak dalam menerima susuan

e) Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan, dan pemeliharaan

f) Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi kelangsungan hidupnya

g) Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran

Undang-undang perkawinan saat ini belum mengatur secara khusus tentang pengawasan anak sehingga pada waktu sebelum tahun 1989, para hakim masih menggunakan kitab-kitab fiqh. Barulah setelah diberlakukannya UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Impres No.1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan KHI, masalah hadanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikannya.

Syarat-Syarat Hadanah

Adapun syarat-syarat hadanah sebagai berikut:

A. Baligh dan berakal, hak hadanah anak diberikan kepada orang yang berakal sehat dan tidak terganggu ingatannya, sebab hadanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh karena itu. seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadanah. Imam Ahmad bin Hanbal menambahkan agar yang melakukan hadanah tidak mengidap penyakit menular.

B. Dewasa, anak kecil, meskipun tergolong mumayyiz, tetap bergantung pada orang lain yang mengurus dan mengasuhnya. Sehingga tidak layak mengasuh orang lain.

C. Mampu mendidik.

D. Amanah dan berakhlak, sebab orang yang curang, tidak dapat dipercaya untuk menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan dikhawatirkan bila nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.

E. Islam, anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim (non muslim), sebab hadanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah Swt tidak membolehkan seorang mukmin di bawah perwalian orang kafir.

F. Ibunya belum menikah lagi, jika ibunya telah menikah lagi dengan laki-laki lain, maka hak hadanah menjadi hilang.

G. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan tuannya, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.

Menurut Imamiyah, pengasuh harus terhindar dari penyakit-penyakit menular. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, pengasuh harus terbebas dari penyakit lepra, belang, dan yang terpenting dia tidak membahayakan kesehatan si anak.

Hadanah Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Ketentuan hukum tentang hak asuh anak dalam hukum keluarga di Indonesia bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa kedua orang tua sama-sama memiliki kewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban kedua perkawinan antara orang tuanya berakhir. Anak wajib dipelihara, dilindungi, dan diberikan perlindungan dari hal-hal yang membahayakan bagi dirinya sampai dewasa. Orang yang berhak memelihara anak pasca perceraian adalah ibunya.

Hadanah Menurut Kompilasi Hukum Islam

Ketentuan hukum yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Jika terjadi perceraian, maka pengasuhan anak tetap menjadi tanggungjawab kedua orang tua dan Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan uraian yang tegas jika terjadi perebutan hak asuh anak maka hak asuh anak diberikan kepada bapak atau ibu,

Dalam Kompilasi Hukum Islam, masa pemeliharaan anak adalah sampai anak itu dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri. Batas usianya adalah ketika anak sudah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun sebagaimana bunyi dari pasal 156 poin (d). Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya, sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Adapun Kompilasi Hukum Islam memberikan uraian yang lebih detail hal itu.

Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, mengenai hadanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi kewenangan untuk menyelesaikannya. Hadanah merupakan sebagai salah satu akibat putusnya perkawinan diatur secara panjang lebar oleh Kompilasi Hukum Islam dan materinya hampir keseluruhannya mengambil dari fikih menurut para jumhur ulama, khususnya Syafi'iyah. Kompilasi Hukum Islam kaitanya dengan masalah ini membagi dua periode bagi anak yang perlu dikemukakan yaitu sebagai berikut:

a) Periode Sebelum Mumayyiz

Apabila terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu dan pada masa tersebut seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, maka anak tersebut dikatakan belum mumayyiz. Kompilasi Hukum Islam menyebutkan pada bab 14 masalah pemeliharaan anak pasal 98 menjelaskan bahwa" batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan". Pada pasal 105 ayat (a) bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 Tahun adalah hak ibunya. Kemudian Kompilasi Hukum Islam memperjelas dalam pasal 156.

b) Periode Mumayyiz

Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ikut ibunya atau ikut ayahnya. Dengan demikian ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Hal ini telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 ayat (b) bahwa "Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuhnya". Dan juga terdapat dalam pasal 156 ayat (b) yang menyebutkan bahwa anak diberi pilihan untuk ikut dalam asuhan ibu atau ayahnya.

Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya kepada siapa dan akan ikut siapa. Batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 (dua puluh satu) tahun selama belum melakukan pernikahan (Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam). Kalau anak tersebut memilih ibunya maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, maka sebaliknya kalau anak itu memilih ikut ayah maka hak mengasuh pindah pada ayah.

Pengertian Maslahah

Secara bahasa, Maslahah yaitu kata "al-Maslahah" mempunyai kesamaan arti maupun wazannya dengan kata "al-manfaat". Kata Maslahah dapat diartikan dengan kebaikan, kemanfaatan, keselarasan, kepatutan, dan kepantasan. Secara terminologi, para ulama fiqh mempunyai pendapat masing-masing untuk kata al-Maslahah. Menurut Al-Ghazali, al-Maslahah mempunyai makna asli yaitu menarik atau mewujudkan kemanfaatan dan menyingkirkan atau menghindari kemudharatan. Sedangkan Taufiq Yusul Al-Wa'i berpendapat bahwa segala sesuatu yang diperoleh dengan cara mencari faedah-faedah atau kenikmatan atau dengan cara menghindari atau menarik diri dari kerusakan, maka semua itu dapat dikategorikan sebagai Maslahah.

Beberapa ulama fiqh memberikan definisi berbeda terkait maslahah, yaitu:

  • Menurut Al-Ghazali, Maslahah berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat
  • Prof Muhammad Abu Zahrah beliau menyebutkan definisi Maslahah dalam bukunya yang berjudul ushul fiqh ialah Maslahah yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan Syariat Islam, dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat meligitimasi atau membatalkan Maslahah tersebut.
  • Al Syatibi mendefinisikan Maslahah itu dari dua sudut pandang, yaitu dari segi terjadinya Maslahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan syara kepada Maslahah.
  • Menurut Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam karya beliau yang berjudul Pengantar Hukum Islam, beliau mendefinisikan Maslahah adalah memelihara maksud syara' dengan jalan menolak segala yang merusak makhluk.

Macam-Macam Maslahah

Adapun para ahli ushul fiqh membagi maslahah menjadi beberapa macam, contohnya:

  • Maslahah Al-Mu'tabarah

Maslahah Al-Mu'tabarah adalah kemaslahatan yang didukung oleh syara, maksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Maslahah ini dapat dijadikan hujjah hukum, tidak diragukan lagi keabsahannya, serta tidak ada perselisihan dalam mengamalkan.

  • Maslahah Al-Mulghah

Maslahah Al-Mulghah adalah sesuatu yang dianggap Maslahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan ketentuan syari'at. Misalnya, ada anggapan bahwa menyamakan pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan adalah Maslahah. Akan tetapi, kesimpulan seperti itu bertentangan dengan ketentuan syari'at, yaitu dalam Q.S. An-Nisa ayat 11, yang menegaskan bahwa pembagian anak perempuan. Adanya pertentangan itu menunjukan bahwa apa yang dianggap maslahat di mata manusia itu bukan maslahat di mata Allah SWT.

  • Maslahah Al-Mursalah

Maslahah Al-Mursalah disebut juga dengan Maslahah yang mutlak, karena tidak ada dalil yang mengakui keabsahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara Maslahah Al- Mursalah semata-mata untuk mewujudkan ke-maslahat-an manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak ke mudharatan dan kerusakan bagi manusia. Kemaslahatan ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Al-Maslahah al-Gharibah

lalah Maslahah yang sama sekali tidak terdapat kesaksian syara' terhadapnya, baik yang mengakuinya maupun menolaknya. Dalam kenyataannya, Maslahah ini hanya ada dalam teori, tetapi tidak ditemukan contohnya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Al-Maslahah al-Mula'imah

lalah Maslahah yang meskipun tidak terdapat nash tertentu yang mengakuinya, tetapi sesuai dengan tujuan syara dalam lingkup yang umum, (al-ushul al-khamsah). Tujuan syara ini dipahami dari makna umum yang terkandung dalam Al-Qur'an, Hadist, dan al-ijma. Maslahah inilah yang biasa disebut istilah al-Maslahah al-mursalah

  • Maslahah al-Ammah

Adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya para ulama membolehkan membunuh penyebar bid'ah yang dapat merusak aqidah umat manusia, karena menyangkut kepentingan orang banyak.

  • Maslahah al-Khashshah

Adalah kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud).

  • Maslahah ats-Tsabitah

Adalah kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya kewajiban sholat, puasa, zakat, dan haji.

  • Maslahah al-Mutagayyirah

lalah kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan ini berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perlunya pembagian ini, menurut Mushthafa al-Syalabi, dimaksudkan untuk memberikan batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak.

APA RENCANA SKRIPSI YANG AKAN DITULIS DAN ARGUMENTASINYA

Setelah membaca skripsi yang di review diatas, saya menemukan ide untuk rencana skripsi yang akan ditulis yaitu bagaimana peran ayah dalam pengasuhan dapat mempengaruhi kesejahteraan anak di bawah umur. Penelitian ini akan menganalisis dampak keterlibatan ayah terhadap aspek-aspek penting dalam perkembangan anak, seperti kesehatan mental, prestasi akademik, dan keterampilan sosial. Dengan latar belakang perubahan dinamika keluarga modern yang melihat peran ayah semakin aktif, pemikiran ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris tentang manfaat keterlibatan ayah. Selain itu, penelitian ini akan menilai apakah kebijakan saat ini mendukung kesetaraan hak pengasuhan antara ayah dan ibu, serta menawarkan rekomendasi untuk memperbaiki kebijakan tersebut guna menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil bagi semua pihak yang terlibat.

Ditulis Oleh:

Muhammad Ghazza Ardiyanto

222121042

HKI 4B

UIN Raden Mas Said

#hukumperdataislamdiindonesia

#uinsurakarta2024

#prodiHKI

#muhammadjulijanto

#fasyauinsaidsurakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun