Tak selesai sampai di situ. Salah seorang kawan putri dan kawan putra yang amat baik saya kenal karena kami satu kelas saat tiga SMP dulu, saya temukan di SPBU. Mengenakan seragam putih hitam, menyambut setiap motor yang rela-rela antre untuk diisikan cairan bahan bakar. Mereka menjadi petugas junior di sana. Lagi-lagi saya menghela nafas panjang saat mendengar langsung pernyesalan mereka yang tak punya kemampuan untuk lanjut sekolah dan pekerjaan inilah yang terbaik yang bisa mereka lakukan untuk menyambung hidup. Sedangkan saya sendiri saat itu tengah menjalani kuliah tingkat tiga.
Persahabatan kami dahulu begitu indah. Ingat betul saya pernah membantu kawan putra menyatakan cintanya kepada seorang jelita di kelas sebelah. Juga saat untuk pertama kali saya tahu bila Legok (nama sebuah daerah) didaki terus-menerus, kita akan menemui sebuah pemandangan menakjubkan dari atas bukit. Sang kawan putri, seorang petugas junior SPBU, ia lah sahabat yang meraih tanganku agar bisa naik sampai ke atas bukit waktu itu.
Pun setelah lulus SMA, banyak kawan-kawan perempuan yang memutuskan untuk menikah. Bagi murid perempuan, melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau menjadi wanita karir bukanlah hal wajib. Dibenarkan dalam budaya patriarki dan agama, pencari nafkah dalam keluarga adalah perannya laki-laki. Untuk sebagian kisah yang saya tahu, menikahkan anak-anak perempuan di usia dini merupakan salah satu jalan keluar dari jeratan kemiskinan. Asal jelas dipinang oleh pria mapan, pegawai negeri, atau anak-anak juragan sayur.
Sedangkan bagi murid laki-laki, banyak dari mereka setelah lulus sekolah tak lanjut kuliah. Alasannya beragam. Keterbatasan ekonomi, desakan untuk segera menerima estafet tulang punggung keluarga, sampai yang paling miris karena memang tidak punya keinginan.
Saya pikir, jika seseorang punya mimpi setinggi langit, jangan gantungkan mimpi itu di atas langit-langit kamar yang hanya jadi khayalan sebelum tidur. Tidak akan ada yang berubah. Mimpi itu harus diraih! Keterbatasan ekonomi hanya alasan klasik. Sudah banyak sekali beasiswa yang ditawarkan untuk program sarjana. Sudah banyak sekali kisah si miskin yang bisa kuliah dan jadi orang sukses. Apapun kisahnya, intinya sama, modal mereka adalah keinginan kuat dan kemauan berusaha.
Seorang kawan laki-laki di sekolah dulu pernah berkata, banyak murid laki-laki tidak bisa berharap untuk lanjut pendidikan tinggi karena setelah berdiskusi dengan ayahnya yang dipikir superior, jawaban yang mereka dapat hanyalah pemikiran-pemikiran pendek. "Tidak perlu kuliah, jaga kios di pasar saja!", begitulah terang para ayah. Para ayah yang tidak pernah sekali-kali pun merasakan bangku kuliah, apalagi menantang diri dalam dunia profesional atau jaringan yang lebih luas. Profesi turun-temurun keluarga adalah jadi pedagang kios di pasar, tidak berusaha keluar dari zona nyaman.
Saya pikir fakta-fakta yang tersingkap di atas adalah masalah mengakar. Bagaimana dan kapan akan berakhir? Yang jelas, sejak awal Lembang berkembang karena pendatang. Peran anak-anak pribumi tidak pernah signifikan dalam perkembangan itu karena berkutat pada pola usaha dan pemikiran yang itu-itu saja. Sayang, mimpi-mimpi cemerlang anak pribumi menjadi terikat, tak ada bedanya dengan kemiskinan yang melingkari mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H