Mohon tunggu...
Getha Dianari
Getha Dianari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Tunggu sesaat lagi, saya akan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Di Balik Pesona Lembang

6 Januari 2019   08:55 Diperbarui: 18 Januari 2019   21:11 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Di sekolah ini ada empat golongan siswa. Golongan paling rendah ialah mereka anak-anak miskin dan pasrah menerima kemiskinannya, cenderung menghindar dari pergaulan. Di atas mereka, ialah anak-anak miskin namun berlagak kaya, petantang petenteng padahal kosong tak punya apa-apa hanya supaya bisa diakui dalam pergaulan. Ya walau tidak punya harta, setidaknya punya kawan. Golongan ketiga, ialah anak-anak orang berada dan menunjukkan keberadaannya, di lubuk hatinya pasti enggan sedikitpun kenal dengan golongan kasta rendah. Dan golongan keempat, anak-anak berada yang sama sekali tidak berlagak, tak masalah siapapun bisa dekat dengannya. Golongan keempat ini paling kugemari. Kau salah satu diantara golongan keempat itu, kawan!"

Sejujurnya saya berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, tapi memang tidak adil jika disebut miskin, namun tidak pantas pula dibilang kaya. Tapi betul apa yang dikatakan sang kawan, saya sudah pengalaman bergaul dengan siapa saja, dari golongan mana saja. Kali ini saya hanya mau bercerita tentang golongan anak-anak miskin. Jumlahnya satu atau dua? Sungguh sangat menyesal harus saya sampaikan, jumlah mereka banyak!

Menurut Ketua BPS Suhariyanto dalam Detik (2018), garis kemiskinan nasional adalah sebesar Rp 1,84 juta pendapatan kepala keluarga per bulan, dengan asumsi memiliki 2-3 anak. Saya tengok pula catatan Bappelitbangda dalam Pikiran Rakyat (2018), sebanyak 192 ribu warga atau 11% dari populasi Kabupaten Bandung Barat hidup dalam kemiskinan. Kalau begitu, mereka yang termasuk penduduk miskin paling banter mengonsumsi Rp 13 ribu per hari. Boro-boro mau meneruskan pendidikan ke SMA, SMK, atau kuliah, kalau untuk makan dan memenuhi kebutuhan sandang sehari-hari saja sudah megap-megap. Begitulah mindset mereka yang berada dalam lingkar kemiskinan. Terbukti, APM (Angkat Partisipasi Murni) SMA/SMK di kabupaten ini masih di bawah 50 persen (Pikiran Rakyat, 2015).

Sewaktu SMP kelas dua, ada seorang kawan putri yang mengunjungi saya meminta diberi pekerjaan untuk ayahanda yang baru di PHK dari buruh pabrik. Bisa apa saya? Kalau diingat-ingat, getir sekali karena begitu naik tingkat kabar kawanku sudah tak terdengar lagi, tak pernah sekalipun ia tampak di sekolah.

Di kelas tiga SMP, saya berteman baik dengan seorang anak penjaga sekolah. Sekali waktu saya tanya, "Apa cita-citamu kawan?". Hanya senyum yang ia tampakkan dari raut muka yang lugu.

Saat pesantren kilat maulid nabi di penghujung kelas tiga, seorang sahabat putri yang sejak awal duduk bersebelahan denganku tiba-tiba membuka topik tentang 'Jakarta dan bekerja'. Sontak saya katakan,

"Bukankah seharusnya kita lanjut sekolah? Kita masih terlalu dini untuk merantau bekerja sendiri, apalagi di Jakarta! Kata papa mama, Jakarta banyak preman dan tak aman untuk bocah-bocah perempuan macam kita."

Tapi sahabat saya itu hanya tersenyum. Tak lama setelah kelulusan, ada sms masuk, kurang lebih begini isi pesannya,

"Getha, apa kabar? Sekarang aku kerja di Jakarta."

Dia benar-benar nekat pikirku. Merantau ke Jakarta, tidak lanjut sekolah, kira-kira bisa kerja apa? Juga seingatku prestasi sekolahnya tidak menonjol, juga termasuk kategori keluarga miskin karena acap kali saya berkunjung ke rumahnya, mengenal keluarganya. Saya hanya berdoa lewat balasan sms,

"Semoga sukses dan selalu dilindungi Allah SWT. Aku lanjut di SMA 1."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun