Mohon tunggu...
Getha Dianari
Getha Dianari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Tunggu sesaat lagi, saya akan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Di Balik Pesona Lembang

6 Januari 2019   08:55 Diperbarui: 18 Januari 2019   21:11 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memiliki ayah seorang pegawai BUMN, salah satu konsekuensinya adalah cukup sering berpindah tempat tinggal. Hingga datang suatu momentum titik balik bagi keluarga kami, akhirnya ayah memutuskan sekeluarga pindah ke sebuah kecamatan di utara Bandung saat usia saya 13 tahun. Sebuah tempat ayah dahulu menghabiskan masa kecil penuh kenangan dan ingin kembali lagi menghabiskan masa tua indah nun damai bersama pasangan cinta sejatinya, tak lain tak bukan ialah ibundaku tercinta.

Tempat ini istimewa, Lembang namanya. Sering disebut kota, padahal desa. Terletak di kaki gunung perahu telungkup yang ditendang Sangkuriang dalam legenda. Karenanya, setiap hari kami hirup udara segar, mandi dan wudhu dari mata air pegunungan. Menggigil tiap pagi buta, dibasuh uap-uap embun dari dalam mulut yang gelisah, disengat angin bercampur terik matahari sampai-sampai keringat tampak sungkan, sedangkan malam hari tak ada jalan selain meringkuk kedinginan dalam selimut supaya bisa terlelap sedikit.

Kami hidup dalam kesederhanaan dan kesahajaan membaur dengan masyarakat sekitar. Tak ada mall untuk berbelanja, hiburan bioskop, atau kafe-kafe kekinian. KFC dan coffee bar baru tampak ada belakangan. Perlu pengorbanan menyusuri jalan menurun meliuk-meliuk kurang lebih lima belas kilometer jauhnya menuju pusat perbelanjaan terdekat di Bandung.

Salah seorang pemuka agama di kampung kami berkata, daerah pegunungan memang bukan tempatnya mencari hiburan atau bergumul dalam perihal duniawi. Rasulullah sejatinya adalah seorang pemimpin yang cerdas, open minded, shiddiq, ia menggenggam cakrawala. Karakter itu terbentuk semata-mata karena ia tumbuh dan berkembang bersama alam pegunungan, bakat alamiah yang ditularkan semesta. Derajat menjulang mendekap langit, disesaki rasa syukur belajar dari alam semesta yang membentang sejauh mata memandang.

Lembang dahulu dan sekarang

Sepertinya Lembang sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar warga Jakarta dan Jawa Barat. Sabtu Minggu, terlebih hari-hari libur besar, sepanjang jalan dipadati mobil-mobil berplat B dan D. Lembang adalah tujuan wisata strategis yang menawarkan keindahan alam dan kekayaan sumber daya sekitar. Sebut saja Situ Maribaya, De Lodge, Pine Forest, Taman Begonia, De' Ranch, Floating Market, Boscha, Farmhouse, Tangkuban Perahu, Grafika, Orchid Forest, Sari Ater, Tahu Tahuid, Tahu Susu Lembang, Serba Susu, Kampung Daun, Dusun Bambu, dan masih banyak lagi. Destinasi-destinasi itu menjadi daya tarik tiada habis-habisnya bagi para pelancong.

Perekonomian Lembang saat ini bertumpu pada sektor pariwisata. Sebagai penunjang, semakin banyak hotel-hotel dibangun di sepanjang jalan arteri, akses menuju Lembang dari Bandung maupun Subang. Jalan lokal pun lama-kelamaan dibuka menjadi jalur alternatif dan mulai ditumbuhi villa-villa penginapan. Warga-warga sekitar tak mau kalah ikut andil meramaikan jadi juru parkir, juru karcis, jual tahu, strawberry, sosis bakar, susu murni, reseller kue oleh-oleh, dan jika punya kompetensi lebih bisa menjadi pelayan atau kuncen kuda.

Namun di balik itu saya punya keyakinan, shareholder industri pariwisata Lembang saat ini sebagian besar dikuasai swasta yang berasal dari pendatang atau peranakan. Tapi tetap saja menguntungkan bagi pemda karena sektor ini membantu perekonomian masyarakat setempat dan berkontribusi besar terhadap pajak.

Berbeda cerita dengan Lembang jaman baheula.

Ayah sudah mengenal Lembang sejak usia delapan, sekitar tahun 1967. Singkat cerita, Lembang belum seramai sekarang. Semua serba jarang, ya penduduk ya rumah ya kendaraan. Karenanya udara berkali-kali lebih dingin dari dinginnya Lembang saat ini. Pagi-pagi tertutupi embun, tidak bisa lihat apa-apa jika ada objek lima meter saja di depan mata.

Namun semua berubah sejak selesainya pembangunan Tol Padaleunyi tahun 1991. Ditambah lagi peneluran Pakto 88 di jaman Alm Pak Harto, sebuah kebijakan yang mempermudah pendirian bank swasta nasional, sampai-sampai di tahun 1994 terdaftar 166 bank berdiri di Indonesia. Akses keuangan, terutama kredit, menjadi booming, termasuk kredit kendaraan mobil. Mobil-mobil (kreditan) itu lantas dengan mudah menuju Lembang dari berbagai penjuru melintasi tol.

Karena sejuk dan strategis, Lembang dalam ingatan sejarah ayah adalah tempat bertengger villa-villa orang Belanda. Mereka mendirikan kebun-kebun teh, pertanian sayur-mayur, dan peternakan sapi. Setelah Indonesia merdeka, mereka menaturalisasi diri menjadi orang Indonesia agar bisa menetap. Peninggalan villa, kebun, pertanian, serta peternakan itu sampai sekarang tidak ada yang berubah, yang ada semakin berkembang.

Petani-petani tergusur modernisasi

Suatu hari saya bersama teman-teman komunitas sewaktu kuliah menyusuri sepanjang Jalan Tangkuban Perahu hingga Ciater. Kiri kanan jalan adalah hutan pohon pinus, lalu perlahan pemandangan berganti menjadi kebun-kebun teh punyaan PTPN, berhektar-hektar luasnya. Kami pikir, kami bisa bertemu ibu-ibu pemetik yang biasanya mengenakan caping dan keranjang gendong pucuk daun teh. Tapi rupanya, kami tidak sempat. Sebab mereka hanya bekerja dari subuh hingga maksimal jam delapan pagi.

Kemudian tergerak hati kami untuk mengunjungi perkampungan di seberang kebun, Kampung Dawuan namanya. Sejauh mata memandang, yang ada hanya rumah-rumah kecil berbilik bambu, orang kota biasa menyebutnya gubuk. Meski begitu, saya terkesima karena rumah-rumah tersebut berjajar rapi menyisakan jalan-jalan kecil di setiap samping sisi-sisinya. 

Saat memasuki gerbang kampung, di sisi kanan tidak ada satupun rumah berdiri, hanya nampak kebun-kebun sayur seperti kembang kol, kubis, dan selada. Ukuran petaknya kecil-kecil, satu petak ke petak lain dihalangi pagar-pagar bambu. Melihat ukuran dan teknologi kelolanya saja sudah jelas, ini adalah kebun milik warga.

Kami mewawancarai tiga keluarga di sana, termasuk keluarga RW setempat. Saya jadi tidak heran mengapa rumah-rumah di kampung ini seperti punya konsep bangunan serupa dan penataan yang rapi, karena ternyata kampung ini sengaja dibuat PTPN sebagai tempat tinggal para pekerja atau petani pemetik daun teh. Namun sayang, hampir semua pekerja sudah mengalami PHK, jadi lebih tepat menyebut mereka sebagai mantan pekerja.

Saat ini PTPN sudah mendatangkan mesin-mesin pemetik teh sehingga tidak membutuhkan lagi tenaga manusia. Daun teh bisa dipetik lebih praktis dan cepat. Konon PTPN malah mendatangkan ahli-ahli mesin, jumlahnya satu dua orang saja, dan diberi fasilitas tempat tinggal bagus di atas bukit. Tidak sebanding dengan populasi Kampung Dawuan yang tak kurang dari tujuh puluh keluarga.

Dari kacamata bisnis PTPN, jelas modernisasi lebih efisien dan profitable. Tapi akhirnya ada banyak petani tereliminasi, menjadi korban modernisasi. Sebagian beralih profesi jadi petani kecil-kecilan di kebun sendiri yang kami lihat keberadaannya di sebelah kanan gerbang kampung tadi. Sebagian besar lagi, ya menganggur! Begitu kurang lebih terang Pak RW.

Anak-anak miskin tak berani bermimpi

Sudah sejak SMP saya tinggal di Lembang. Sampai tamat SMA, tak ada sepercik keinginan pun untuk bersekolah di Bandung. Meski saya tahu bergengsi sekali orang Lembang kalau bisa sekolah di Bandung. Saya senang menjadi murid sekolah negeri di Lembang. Bukan hanya diajarkan pandai Matematika atau Biologi, ilmu itu masih cetek ketimbang ilmu moral yang saya dapati dari pengalaman bergaul serta saya terapkan prinsip-prinsip itu hingga hari ini. Salah satunya soal tenggang rasa.

Seorang kawan di SMA kelas satu dahulu berkata,

"Di sekolah ini ada empat golongan siswa. Golongan paling rendah ialah mereka anak-anak miskin dan pasrah menerima kemiskinannya, cenderung menghindar dari pergaulan. Di atas mereka, ialah anak-anak miskin namun berlagak kaya, petantang petenteng padahal kosong tak punya apa-apa hanya supaya bisa diakui dalam pergaulan. Ya walau tidak punya harta, setidaknya punya kawan. Golongan ketiga, ialah anak-anak orang berada dan menunjukkan keberadaannya, di lubuk hatinya pasti enggan sedikitpun kenal dengan golongan kasta rendah. Dan golongan keempat, anak-anak berada yang sama sekali tidak berlagak, tak masalah siapapun bisa dekat dengannya. Golongan keempat ini paling kugemari. Kau salah satu diantara golongan keempat itu, kawan!"

Sejujurnya saya berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, tapi memang tidak adil jika disebut miskin, namun tidak pantas pula dibilang kaya. Tapi betul apa yang dikatakan sang kawan, saya sudah pengalaman bergaul dengan siapa saja, dari golongan mana saja. Kali ini saya hanya mau bercerita tentang golongan anak-anak miskin. Jumlahnya satu atau dua? Sungguh sangat menyesal harus saya sampaikan, jumlah mereka banyak!

Menurut Ketua BPS Suhariyanto dalam Detik (2018), garis kemiskinan nasional adalah sebesar Rp 1,84 juta pendapatan kepala keluarga per bulan, dengan asumsi memiliki 2-3 anak. Saya tengok pula catatan Bappelitbangda dalam Pikiran Rakyat (2018), sebanyak 192 ribu warga atau 11% dari populasi Kabupaten Bandung Barat hidup dalam kemiskinan. Kalau begitu, mereka yang termasuk penduduk miskin paling banter mengonsumsi Rp 13 ribu per hari. Boro-boro mau meneruskan pendidikan ke SMA, SMK, atau kuliah, kalau untuk makan dan memenuhi kebutuhan sandang sehari-hari saja sudah megap-megap. Begitulah mindset mereka yang berada dalam lingkar kemiskinan. Terbukti, APM (Angkat Partisipasi Murni) SMA/SMK di kabupaten ini masih di bawah 50 persen (Pikiran Rakyat, 2015).

Sewaktu SMP kelas dua, ada seorang kawan putri yang mengunjungi saya meminta diberi pekerjaan untuk ayahanda yang baru di PHK dari buruh pabrik. Bisa apa saya? Kalau diingat-ingat, getir sekali karena begitu naik tingkat kabar kawanku sudah tak terdengar lagi, tak pernah sekalipun ia tampak di sekolah.

Di kelas tiga SMP, saya berteman baik dengan seorang anak penjaga sekolah. Sekali waktu saya tanya, "Apa cita-citamu kawan?". Hanya senyum yang ia tampakkan dari raut muka yang lugu.

Saat pesantren kilat maulid nabi di penghujung kelas tiga, seorang sahabat putri yang sejak awal duduk bersebelahan denganku tiba-tiba membuka topik tentang 'Jakarta dan bekerja'. Sontak saya katakan,

"Bukankah seharusnya kita lanjut sekolah? Kita masih terlalu dini untuk merantau bekerja sendiri, apalagi di Jakarta! Kata papa mama, Jakarta banyak preman dan tak aman untuk bocah-bocah perempuan macam kita."

Tapi sahabat saya itu hanya tersenyum. Tak lama setelah kelulusan, ada sms masuk, kurang lebih begini isi pesannya,

"Getha, apa kabar? Sekarang aku kerja di Jakarta."

Dia benar-benar nekat pikirku. Merantau ke Jakarta, tidak lanjut sekolah, kira-kira bisa kerja apa? Juga seingatku prestasi sekolahnya tidak menonjol, juga termasuk kategori keluarga miskin karena acap kali saya berkunjung ke rumahnya, mengenal keluarganya. Saya hanya berdoa lewat balasan sms,

"Semoga sukses dan selalu dilindungi Allah SWT. Aku lanjut di SMA 1."

Tak selesai sampai di situ. Salah seorang kawan putri dan kawan putra yang amat baik saya kenal karena kami satu kelas saat tiga SMP dulu, saya temukan di SPBU. Mengenakan seragam putih hitam, menyambut setiap motor yang rela-rela antre untuk diisikan cairan bahan bakar. Mereka menjadi petugas junior di sana. Lagi-lagi saya menghela nafas panjang saat mendengar langsung pernyesalan mereka yang tak punya kemampuan untuk lanjut sekolah dan pekerjaan inilah yang terbaik yang bisa mereka lakukan untuk menyambung hidup. Sedangkan saya sendiri saat itu tengah menjalani kuliah tingkat tiga.

Persahabatan kami dahulu begitu indah. Ingat betul saya pernah membantu kawan putra menyatakan cintanya kepada seorang jelita di kelas sebelah. Juga saat untuk pertama kali saya tahu bila Legok (nama sebuah daerah) didaki terus-menerus, kita akan menemui sebuah pemandangan menakjubkan dari atas bukit. Sang kawan putri, seorang petugas junior SPBU, ia lah sahabat yang meraih tanganku agar bisa naik sampai ke atas bukit waktu itu.

Pun setelah lulus SMA, banyak kawan-kawan perempuan yang memutuskan untuk menikah. Bagi murid perempuan, melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau menjadi wanita karir bukanlah hal wajib. Dibenarkan dalam budaya patriarki dan agama, pencari nafkah dalam keluarga adalah perannya laki-laki. Untuk sebagian kisah yang saya tahu, menikahkan anak-anak perempuan di usia dini merupakan salah satu jalan keluar dari jeratan kemiskinan. Asal jelas dipinang oleh pria mapan, pegawai negeri, atau anak-anak juragan sayur.

Sedangkan bagi murid laki-laki, banyak dari mereka setelah lulus sekolah tak lanjut kuliah. Alasannya beragam. Keterbatasan ekonomi, desakan untuk segera menerima estafet tulang punggung keluarga, sampai yang paling miris karena memang tidak punya keinginan.

Saya pikir, jika seseorang punya mimpi setinggi langit, jangan gantungkan mimpi itu di atas langit-langit kamar yang hanya jadi khayalan sebelum tidur. Tidak akan ada yang berubah. Mimpi itu harus diraih! Keterbatasan ekonomi hanya alasan klasik. Sudah banyak sekali beasiswa yang ditawarkan untuk program sarjana. Sudah banyak sekali kisah si miskin yang bisa kuliah dan jadi orang sukses. Apapun kisahnya, intinya sama, modal mereka adalah keinginan kuat dan kemauan berusaha.

Seorang kawan laki-laki di sekolah dulu pernah berkata, banyak murid laki-laki tidak bisa berharap untuk lanjut pendidikan tinggi karena setelah berdiskusi dengan ayahnya yang dipikir superior, jawaban yang mereka dapat hanyalah pemikiran-pemikiran pendek. "Tidak perlu kuliah, jaga kios di pasar saja!", begitulah terang para ayah. Para ayah yang tidak pernah sekali-kali pun merasakan bangku kuliah, apalagi menantang diri dalam dunia profesional atau jaringan yang lebih luas. Profesi turun-temurun keluarga adalah jadi pedagang kios di pasar, tidak berusaha keluar dari zona nyaman.

Saya pikir fakta-fakta yang tersingkap di atas adalah masalah mengakar. Bagaimana dan kapan akan berakhir? Yang jelas, sejak awal Lembang berkembang karena pendatang. Peran anak-anak pribumi tidak pernah signifikan dalam perkembangan itu karena berkutat pada pola usaha dan pemikiran yang itu-itu saja. Sayang, mimpi-mimpi cemerlang anak pribumi menjadi terikat, tak ada bedanya dengan kemiskinan yang melingkari mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun