Doni yang merasa takut, terus berlari melewati pohon-pohon sawit di belakang rumah mereka. Ia takut jika ayahnya benar-benar ingin mencelakainya dengan parang panjang itu.Â
Ketika ayahnya marah, ia tidak lagi mengunakan akal pikirannya. Namun baru kali ini ia di hendak dicelakai menggunakan senjata tajam. Biasanya ayahnya menggunakan otot untuk memukulnya.
Doni benar-benar terpojok. Ia tidak memegang benda apapun ditangannya untuk membela diri. Belum lagi sebuah duri sawit menusuk kakinya. Doni berusaha menahan rasa sakit itu dan terus berlari.Â
Doni pun berhenti berlari. Sebuah pagar berkawat duri berada dihadapannya. Ia tak mungkin dapat mewati pagar itu. Itu adalah perbatasan kebun mereka dengan kebun tetangga yang memang sengaja dipasang pagar berkawat duri. Sekarang ia pada posisi terpojok.
"Kenapa kau takut ?" Kata ayahnya.
"Aku ngak takut, aku hanya tak ingin mati dengan cara seperti ini," balas Doni.
Doni tampak berusaha tetap tenang, lalu berkata kepada ayahnya.
"Mau sampai kapan kau memperlakukan kami seperti ini, bagian mana dari tubuhku yang belum kau pukul ?"
"Sekarang apa?"
"Kau mau membunuhku ?"
"Apakah kau benar ayahku ?"