Mohon tunggu...
Geckorin 69
Geckorin 69 Mohon Tunggu... -

Penikmat kopi dan angkringan. Menyalurkan pikiran lewat tulisan dan tidak memiliki genre khusus dalam menulis. Random~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

>> Hanya Sedang Dimabuk Cinta

20 Juli 2013   10:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:17 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku jatuh hati.

Jatuh hati pada lelaki paling merepotkan.

Ia bebas, tidak terikat. Baik individu maupun tempat. Hidup sesukanya, menempatkan apapun yang disukainya dalam jangkauan tangannya. Random, sukar ditebak. Spontanitasnya level dewa. Maniak fotografi, hanya berkawin dengan kamera dan mencumbu alam di seluruh pelosok dunia. Lantas, aku harus bagaimana ?

Kalau, ia penderita AIDS, hidupnya tak lama dan sudah ( berani-beraninya ) menolak cintaku.

Aku benci dia.

Dan, begitulah seharusnya. Tapi, aku terlalu keras kepala, mungkin juga besar kepala. Dimabuk perasaan-perasaan abstrak semacam, ia masih membutuhkanku atau ( lebih parahnya lagi ) setidaknya ia punya perasaan khusus padaku. Sekalipun bukan dalam format yang kuinginkan. Jadi, biarkan aku berkubang di lumpur derita ini seperti perempuan tolol lainnya.

Karena, aku cinta dia.

" Hey, menyerah sajalah ~ "

" Apanya ? "

" Hidupmu tak lama, apa ruginya pacaran denganku ? "

" Itu paksaan, tawaran atau ~ pernyataan cinta ? "

" Ketiganya, "

Yang terdengar berikutnya, cuma dengusan tawanya. Tapi, aku tak ambil peduli reaksinya barusan. Kedua tanganku kelewat sibuk mengganti perban dan plester luka-lukanya yang mulai mengering. Aku teringat. Minggu lalu, ia sempat-sempatnya meneleponku dan membatalkan janji ketemu. Selagi perawat baru yang bertugas merawat luka-lukanya di ruang UGD dibuat panik dengan pengakuannya sebagai penderita AIDS.

Bukan sesuatu yang heboh sih sebenarnya. Toh, luka-lukanya ringan dan yang dilakukannya cuma sebatas memberi informasi penting sebagai tindak pencegahan terhadap resiko penularan di luar kesadaran. Kebetulan saja, yang jadi lawan bicaranya itu perawat baru dan langsung panik saking gugupnya di hari pertama magang. Lagipula, meski bukan 'barang baru', tapi minimnya pengetahuan umum tentang HIV / AIDS dan metode pengobatan yang mungkin diterapkan untuk mengatasinya, menjadikan HIV / AIDS sebagai penyakit menular pembunuh no 1 yang mengisolir setiap penderitanya dari lingkup pergaulan sosial. Well yah, begitulah atmosfir dekade 90'an kala itu.

Itu sebabnya, aku sangat menghormati pilihannya untuk tetap bungkam soal penyakitnya pada siapapun, kecuali pada keluarganya, sahabat terbaiknya dan aku sendiri, tentunya. Baik aku maupun si vespa krem pucat adalah pengecualian terbaik yang bisa diberikannya. Mantan-mantan pacarnya bahkan kawan baiknya di komunitas backpack saja tidak ada yang tahu, dan, itulah kehebatannya soal 'konsistensi' terhadap suatu hal. Aku yang sudah belajar banyak tentang hal itu, seharusnya tahu, bahwa usahaku hanya akan berakhir percuma.

Tapi, sudahlah ... aku hanya sedang dimabuk cinta. Biarkan aku mencoba, sampai bosan.

" Hey, kenapa potong rambut sih ? "

" Oh, ini? Gerah sih. Lagian store manager-ku komplen. Kenapa ? "

" Oh well, kupikir ... "

" Pikirmu, ada alasan sentimentil lain di baliknya, gitu ? "

Lagi-lagi yang terdengar cuma dengusan tawanya. Saat kusindir soal penolakannya belum lama ini dan harus berakhir kecewa mendengar komentar pertamanya soal potongan rambut super cepak-ku. Setelah sekian lama aku bertahan memanjangkan rambutku hingga melewati bahu. Aku tak pernah betah berambut panjang, kecuali itu permintaan darinya.

Padahal, aku berharap adanya pujian sekalipun cuma basa-basi saja. Tapi yang dilakukannya sewaktu menyambutku di pintu masuk tadi, cuma mengusap-usap kepala plontosku dan memelukku erat sambil terkekeh geli. Well, menurutku itu bukan pujian.

Demi Tuhan, itu pelecehan !

Apa lagi sih yang kuharapkan darinya ?

" Yah, sedikit sih .. "

" Heh, siapa suruh menolak cewek sebaik aku, "

" Aku khawatir masa depanmu. Belakangan, kau makin jago merayu, "

" Hoh, makasih. Tapi aku lebih khawatir, kau cepat mati karena kecelakaan motor di jalan ketimbang karena penyakitmu. "

" Ha ha ha ... Hey, itu musibah. Aku ditabrak, bukannya sengaja kebut-kebutan. "

Aku berbalik memunggunginya, nyaris tak peduli pada ocehannya perihal kronologi kecelakaan yang dialaminya minggu lalu. Yang kuingat dengan jelas, saat itu aku meninju ulu hatinya dan meneriakinya 'BODOH' di depan banyak orang. Tidak tanggung-tanggung, suaraku 10x lebih tinggi dari biasanya.

Aku panik. Aku takut. Kupikir aku akan kehilangan dirinya. Aku lepas kendali.

Mengingatnya saja, membuat kedua telapak tangan dan kakiku membeku.

" Tanganmu dingin. Kau sakit ? "

" Ng, suhu tubuhku agak rendah, "

Kugerakkan jari-jariku yang mulai terasa kebas. Dan, ia mencoba membantuku dengan menempelkan kedua telapak tanganku ke lehernya. Terus menggenggamnya sampai berangsur-angsur menghangat dan menguapkan kegelisahanku.

" Kau yakin, baik-baik saja ? "

" Yeah, aku memang gampang kedinginan, "

" Makanya, carilah pacar yang bisa menghangatkanmu sewaktu-waktu. "

Spontan, kuinjak kakinya. Serius atau cuma bercanda, kata-katanya itu membuatku iritasi.

" Hey, maksudku bukan lelaki gendut, tapi juga jangan yang kurus kering sih. Setidaknya yang bisa menghangatkanmu seperti tadi. "

" Kalau gitu, kenapa bukan kau saja ? "

Baiklah, aku memang bebal. Mungkin tolol dan juga tidak pernah belajar dari pengalaman yang telah lalu. Tapi, sudahlah. Aku sudah cukup kesal melihat senyum gelinya sekarang.

" Tolong ya, jangan ucapkan kalimat menggoda dengan pakaian seperti itu ... "

Kupikir, aku pasti sudah salah dengar. Karena, aku tidak menemukan ada yang salah dengan pakaianku hari itu. Kaus kuning pucat yang ( agak ) girly dan denim biru pendek selutut. Entah apa maksudnya, kalau bukan cuma sekadar mengalihkan pembicaraan saja. Dan ya, aku sukses teralihkan.

" Hnngh, pink stripped bra-mu kelihatan menggoda ~ "

Okay, kalau itu maksudnya.

Aku baru sadar, siluet garis-garis pink bra-ku terbayang jelas di balik kaus kuning pucatku yang tipis. Aku nyengir.

" Well, aku menunggu kau tergoda dan melakukan kesalahan. Setidaknya, sekali saja dalam hidupmu, "

Hey, aku tahu. Kedengarannya murahan sekali 'kan ?

Tapi, asalkan itu dirinya dan bukan orang lain, mau AIDS ataupun tidak, aku tak keberatan. Toh, aku sudah bilang sejak awal. Aku hanya sedang dimabuk cinta.

Apa lagi masalahnya ?

Kurasa, aku memang tidak tertolong lagi, sayang.

:D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun