" Ketiganya, "
Yang terdengar berikutnya, cuma dengusan tawanya. Tapi, aku tak ambil peduli reaksinya barusan. Kedua tanganku kelewat sibuk mengganti perban dan plester luka-lukanya yang mulai mengering. Aku teringat. Minggu lalu, ia sempat-sempatnya meneleponku dan membatalkan janji ketemu. Selagi perawat baru yang bertugas merawat luka-lukanya di ruang UGD dibuat panik dengan pengakuannya sebagai penderita AIDS.
Bukan sesuatu yang heboh sih sebenarnya. Toh, luka-lukanya ringan dan yang dilakukannya cuma sebatas memberi informasi penting sebagai tindak pencegahan terhadap resiko penularan di luar kesadaran. Kebetulan saja, yang jadi lawan bicaranya itu perawat baru dan langsung panik saking gugupnya di hari pertama magang. Lagipula, meski bukan 'barang baru', tapi minimnya pengetahuan umum tentang HIV / AIDS dan metode pengobatan yang mungkin diterapkan untuk mengatasinya, menjadikan HIV / AIDS sebagai penyakit menular pembunuh no 1 yang mengisolir setiap penderitanya dari lingkup pergaulan sosial. Well yah, begitulah atmosfir dekade 90'an kala itu.
Itu sebabnya, aku sangat menghormati pilihannya untuk tetap bungkam soal penyakitnya pada siapapun, kecuali pada keluarganya, sahabat terbaiknya dan aku sendiri, tentunya. Baik aku maupun si vespa krem pucat adalah pengecualian terbaik yang bisa diberikannya. Mantan-mantan pacarnya bahkan kawan baiknya di komunitas backpack saja tidak ada yang tahu, dan, itulah kehebatannya soal 'konsistensi' terhadap suatu hal. Aku yang sudah belajar banyak tentang hal itu, seharusnya tahu, bahwa usahaku hanya akan berakhir percuma.
Tapi, sudahlah ... aku hanya sedang dimabuk cinta. Biarkan aku mencoba, sampai bosan.
" Hey, kenapa potong rambut sih ? "
" Oh, ini? Gerah sih. Lagian store manager-ku komplen. Kenapa ? "
" Oh well, kupikir ... "
" Pikirmu, ada alasan sentimentil lain di baliknya, gitu ? "
Lagi-lagi yang terdengar cuma dengusan tawanya. Saat kusindir soal penolakannya belum lama ini dan harus berakhir kecewa mendengar komentar pertamanya soal potongan rambut super cepak-ku. Setelah sekian lama aku bertahan memanjangkan rambutku hingga melewati bahu. Aku tak pernah betah berambut panjang, kecuali itu permintaan darinya.
Padahal, aku berharap adanya pujian sekalipun cuma basa-basi saja. Tapi yang dilakukannya sewaktu menyambutku di pintu masuk tadi, cuma mengusap-usap kepala plontosku dan memelukku erat sambil terkekeh geli. Well, menurutku itu bukan pujian.