Tempat yang sudah jadi tongkrongan anak muda dan orang tua tanggung selalu ramai di pagi dan sore hari. Mungkin karena kekurangan modal, ia terpaksa menjadi salah satu makanan empuk Kopling.
Suatu sore mukanya pernah kusut saat Kopling datang menagih. Gorengannya menurut saya laris manis. Ada apa gerangan? Tapi ya begitu, ia sudah punya tiga anak yang harus dibiayai.
Setelah transaksi kelar, saya tidak bertanya, ia sendiri yang berbagi. Katanya kapok berurusan dengan Kopling. Sepertinya ia meminjam banyak, setoran hariannya lumayan saya lihat.
Rupanya ia bukan tidak tau atau tidak punya agunan untuk mengajukan pinjaman KUR. Ia masih berurusan dengan pihak Bank, perihal pinjaman.
Dari ketiga cerita pelaku pemujaan terhadap Rentenir diatas saya rasa cukup menggambarkan alasan mereka-mereka yang masih bermain dengan transaksi yang menurut islam sangat haram itu, sekalipun di wilayah bersyariat islam. Bukan bermaksud setuju ini, sebatas mewajarkan saja. Agar diri tidak terlalu heran.
Setelah gempar cerita Rentenir tadi Pajak/Pasar Terpadu Blangkejeren, tentu yang berkepentingan atau merasa diri berkepentingan langsung mengambil tindakan. Kelompok yang menamakan diri Koperasi Pasar (Kopas) akan mengusir Kopling dari pasar terpadu.
Kopas dibawah binaan Dinas Koperasi dan UKM setempat akan menggantikan layanan Kopling (kenapa gak dari dulu). Maka dugaan sementara Kopling akan lenyap dari Pasar, tidak tau pasti nantinya.
Namun bagaimana drama pemuja rentenir di kampung-kampung? Waktu yang bisa menjawab. Semoga bisa teratasi dengan adanya aturan pemerintah, bahwa 30% gelontoran dana desa harus dianggarkan sebagai penyertaan modal ke Badan Usaha Milik Kampung (BUMKp).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H