Mudahnya ia bisa membayarkan modal plus bunga sekaligus setelah panen. Sembari menunggu panen, ia yang sudah beranak satu harus rela menjadi kuli harian demi memenuhi belanja harian. Untungnya ia sanggup, karena badannya model petarung, kekar.
Saya bertanya kenapa tidak pinjam modal dari Bank. Saya tau ia punya rumah, dan beberapa petak kebun, yang menurut saya bisa diajukan sebagai agunan kalau meminjam modal usaha dari Bank.
Ada tiga alasannya, pertama, katanya ia tau dari orang-orang kalau urusannya ribet. Kalau boleh kasar, saya menganggap hanya orang-orang yang tidak sekolah atau tidak biasa saja yang menganggap ribet, bagi yang belum dapat sangsi dari Bank. Seperti Pak Cik saya yang ngomel melulu, ketika saya temani waktu mengajukan pinjaman KUR. Baginya berurusan dengan kertas, Photocopy, tanda tangan ini dan itu sangat tidak baik untuk kesehatannya. Giliran dapat uangnya baru senyum-senyum.
Kedua, tidak sanggup menyicil bulanannya (padahal ini bisa diakali dengan membayar diawal, dari modal yang dipinjam untuk setoran beberapa bulan ke depan, seperti pak cik saya tadi).
Ketiga, tidak tau kalau bunganya sekecil itu, karena keterlambatan taunya, sepertinya ia menyesal.
Baru-baru ini saya tau, teman saya itu bisa melunasi hutangnya dari hasil kebunya, dan katanya ada sedikit modal untuk berkebun lagi. Alhamdulillah.
Ada juga pemuja Rentenir, kedua,Penjual Bensin Eceran. Salah satu penjual Bensin Eceren di kampung saya juga jadi pemuja Kopling. Tidak terlalu banyak, satu juta rupiah saja. Darinya saya sering beli, karena untuk kebutuhan satu liter bensin rasanya terlalu jauh ke SPBU, PP bisa habis seliter bensin.
Ia harus menyetor empat puluh ribu rupiah per harinya pada petugas Kopling yang setelah zuhur selalu keliling, mereka tak peduli hujan atau mendung. Karena pelaku usaha serupa bukan dia saja dan faktor lainnya, terkadang jualannya tidak laku.
Tidak jarang ia malah harus bergeriliya ke tetangga untuk urusan uang empat puluh ribu. Padahal di terasnya Kopling sudah menunggu, tidak akan bergegas sebelum rupiah di tangan.
Lain dengan petani kacangan di atas, ia sudah tau KUR begitu menggoda tapi tidak ada yang bisa digadaikan untuk menikmatinya. Tidak ada selembar kertas pun yang dipunya, bisa sebagai agunan. Karenanya hingga kini ia masih bermain dengan Kopling.
Selain dari Petani Kacangan dan Penjual Bensin Eceran diatas, adalagi, ketiga,Tukang gorengan kampung. Tak jarang di suatu pagi saya ke warung gorengannya, saya sudah bisa menyebutnya langganan. Walaupun bukan dia saja tukang gorengan di kampung, warungnya di depan rumah jadi musababnya.