Seperti yang dilansir Podiumpos.com (03/03/2018), salah satu Pedagang Jengkol, Seniah, di Pajak/Pasar Terpadu Blangkejeren mengaku kesulitan keluar dari jeratan rentenir, yang menamakan diri Koperasi Keliling (Kopling), karena dagangannya kurang laku.
Ia meminjam 4 juta rupiah, yang mana setiap harinya harus dicicil 160 ribu rupiah. Berdasarkan perkiraan saya, proses setoran baru kelar selama sebulan. Dari situ kita tau, bahwa besaran bunga yang dipatok Kopling sebesar 20% per bulannya.
Kalau saja dibandingkan dengan (sebut saja) bagi hasil dari program dukungan ekonomi kerakyatan dari pemerintah, yang dinamakan Keredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan melalui beberapa Bank, jelas lebih seksi KUR daripada si sepuh Rentenir, sepuh: karena umurny sudah dari dulu. Apalagi kabar terbaru bunga KUR yang harus dimekarkan turun, dari 9% menjadi 7% saja per tahun---ya, pertahun bukan per bulan apalagi per hari.
Sudah begitu, kenapa masih dilakukan? Masih dari berita, Ibu Samsier yang juga pemuja Kopling mengaku hal itu terpaksa dilakukan, alasannya demi membeli beras, klasik kawan. Dan pula proses yang ditawarkan Kopling mudah.
Selain itu saya akan berbagi cerita pemuja Rentenir di Kampung yang pernah saya dengar dari orangnya langsung, tapi saya anggap cerita selevel warung kopi. Sama saja. Begini...
Pertama, petani/pekebun kacangan. Pertengahan Oktober tahun lalu saya pernah singgah di Kebun salah satu warga Kampung saya, kita temanan sebenarnya. Ditengah terik ia sedang memasang mulsa plastik. Kebunnya tidak terlalu luas, tapi lumayan, empat gulungan mulsa.
Ia pun langsung mengajak saya berteduh ke Gubuk kebunnya, dan seperti biasa sambil basa-basi acara ngopi pasti ada. Nikmatnya ngopi di kebun susah dilupakan kawan. Basa-basi tak terasa berlarut, lama.
Saya pun memuji kebunnya. Dia mengaku sudah terlambat menanam. Saya sudah bisa menebak, karena waktu itu harga Cabai sedang tinggi-tingginya. Katanya, sebelumnya ia tidak bisa beli mulsa, pupuk, bibit dlsb... intinya modal berkebun. Ditambah waktu itu istrinya sedang dalam perawatan.
Saya pun langsung kepo berlebih. Temanan jadi alasannya, sebenarnya. Saya bertanya berapa modal kebunnya sekarang dan dapat dari mana. Ia bertutur dengan raut kesedihan, yang berusaha disamarkan dengan senyuman. Meski teman saya itu berusaha sebiasa mungkin, Kopi suguhannya sudah sangat tidak nikmat di mulut saya.
Dari curhatannya ia menghabiskan dua juta rupiah untuk modal dasar kebunnya. Ia terpkasa meminjam dari Rentenir kampung, sebab uang simpanannya sudah ludes untuk pengobatan istrinya.
Bunga pinjamannya tetap tinggi, meski pemberi modal masih berbau saudara dengannya. Menjadi pembenar kalau uang tidak bersaudara. Dalam satu juta rupiah harus dibayarkan tambahannya dua ratus ribu rupiah per bulan. Mahal sekali, desis saya, biasanya juga lima puluh ribu sebulan---saya juga sudah pernah, tiga jutaan, dan sudah mengaku kapok, kalau tidak kepepet tapi. hehe