Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertanyaan Benda-benda Mati

8 Januari 2018   20:22 Diperbarui: 8 Januari 2018   20:27 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa hari belakangan ia sungguh tertekan. Sejak dulu tak pernah ia mendengar cerita, kalau benda-benda mati bisa bicara, berbisik-bisik. Kecuali mungkin sebuah legenda atau dongeng belaka. Itu mungkin saja. Sebab kakek-neneknya tak pernah habis kata-kata untuk bercerita. Itu di masa lampau. Sebelum keduanya mendapat gelar mendiang.

Benda-benda di sekelilingnya kini bercakap-cakap. Apalagi terkadang pertanyaan-pertanyaan itu sama sekali tidak bisa ia jawab. Maka wajar kalau ia merasa telah menjadi gila.

"Mengapa kau semangat kerja?" buka meja kerjanya di suatu pagi.

Ia tertegun.

"Hanya untuk menimbun rupiah?" tanya bundelan kertas di depannya.

"Hah?" ia heran.

"Kalau begitu, kau telah menjadi tuan yang rakus," tambah monitor bernada merendahkan.

"Lantas, buat apa?" Kini giliran Mouse angkat bicara. Seolah memang tau kalau ia memang tak terima dituduh rakus.

"Gaji sebulanmu kan cukup untuk makan berbulan-bulan...."

Ia langsung bergegas. Pergi.

"Hey! Kemana, Bung?" tanya sejawatnya.

Tak perduli dengan kata-kata temannya. Langsung mengangkangi motornya. Dan meluncur ke jalan raya. Ia mulai bosan, dan benar-benar ingin bolos kerja untuk pertama kalinya.

"Tuan tau kenapa aku diciptakan memanjang?"

Kembali ia heran. Sebab, tidak salah lagi. Yang bertanya bukanlah manusia. Melainkan benda mati, tepatnya jok motornya sendiri.

"Sudah sering kutanya. Aku tau. Hanya mengingatkan agar tidak lupa. Kalau jawabanny..."

"'Agar sesekali ada yang duduk di belakangku', begitukan?" kesalnya sambil menekan pedal rem tanpa perhitungan.

Motornya terhenti. Decit ban Motor yang kesakitan mengalihkan perhatian orang-orang. Ia menoleh ke belakang, matanya lekat pada jok yang menjengkelkan. Orang-orang terus memandangnya. Napasnya memburu.

"TITTTTTTTT!" sebuah sedan berkecapatan tinggi menekan klakson panjang sambil menyalipnya. Ia sadar dari lamunannya.

"Woy! Kalau mau mati cari tebing saja. Aman!" teriak seorang dari pinggir jalan.

"Atau perlu kupanggil Rumah Sakit jiwa. Hahaha..." ledek yang lainnya.

Kemudian ia melaju, pelan dengan hati yang keliru. Di sebuah warung nasi yang sederhana ia menepi. Orang-orang di seputaran warung tersenyum padanya. Bukan karena ada yang ganjil. Tapi ia memang tidak asing.

"Sudah lama?" sapa pelimik warung ramah.

"Biasa, pak. Sibuk. Hehe.."

"Sibuk?"

"Yep. Saya juga bingung..."

"Bingung?"

"Saya sendiri tidak tau, entah sibuk untuk apa."

"Nak," sambil menelan ludah, "Pohon Jambu di depan itu telah puluhan kali berbuah. Kamu tau, semua yang pernah menyicipi mengaku rasanya manis..."

"Bentar, pak. Saya belum tanya tentang Mira lo."

"Oh, ya. Hehe.. Terus ada apa gerangan?"

"Oh, ramah sekali sekarang bapak ini... Bungkus saja nasi nya dua."

"Hehe... Biasa?"

Ia mengangguk.

Walaupun telah lama, agaknya ia tidak terlalu peduli dengan kelihaian penjaga warung membungkus nasi, melayani pembeli. Mungkin sebab itu, mudah sekali menebak maksud kedatangannya---menagih janji masa lalu.

Ia tersenyum saat menoleh ke samping kanannya. Tepat di mana seseorang berkata, "Suatu saat kita akan bertemu di sini. Jangan lupa itu." Ia terus mengingat. Sedang pemilik warung memandang iba. Tak lama. Sebab tak rela.

"Dua bungkus kan?"

"Oh, Iya pak."

"Dua puluh ribu saja."

"Terima kasih pak." Setelah memberi selembar uang.

"Iya, sama-sama. Silakan pergi. Nanti yang lain terganggu."

"Wah! Sadis sekali."

"Kok sadis?"

"Pelanggan bapak gak ada kok."

"Terus, apa lagi?"

"Mmm... mungkin bapak lupa..."

"Lupa apa?"

"Mungkin dua kali atau... barangkali sekali... Mira pernah kemari?"

"Huhhhh.... Sudah berapa kali kamu tanya itu? Saya lupa."

"Coba bapak ingat. Mungkin lupa kalau...."

"Pohon Jambu di depan itu telah puluhan kali berbuah...."

"Cukup pak. Tak perlu terlalu banyak menghabiskan napas."

"Iya, itu jawabannya. Meski beruban saya belum pikun lo."

"Iya ya... Baiklah pak."

"Terima kasih sudah membeli."

"Hah... hehe," sambil menyambar nasi bungkusnya, "Kasih kembali pak." Ia pun pergi.

Sesampai di rumah ia menyiapkan piring. Karena belum sarapan ia cukup tertarik dengan isi kantong keresek hitam yang dipegang. Selain makan nasi, ia juga akan makan kenanganan. Ia berharap semoga kenyang.

Benar saja meski tergolang lebih murah dari jajanannya sekarang, ia sangat menikmati. Sendok demi sendok berjalan mulus. Satu bungkus ludes sudah.

"Kenyang ya? Terus aku buat siapa kau beli?" tanya nasi bungkus yang masih utuh.

"Hah?"

"Seharusnya kau beli satu. Karena kau memang sendiri. Agar tidak di bilang rakus."

"Oh, ya. Kapan-kapan akan kubeli satu." Tiba-tiba ia melayani.

"Tidak. Seharusnya kau memang beli dua. Satu untukmu satu untuk pasanga..."

"Kurang ajar!" teriaknya sambil membanting nasi bungkus malang itu.

Kemudian ia lari ke dalam kamar, hendak membenamkan kegundahannya ke dalam tidur.

"Seharusnya kau tidak sendirian di sini. Terlalu buram tanpa hiasan," seloroh kamar lusuhnya.

"Hah? Lagi..." pekiknya keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun