Bagi saya yang anak Kampung, bisa disebut juga kampungan, bisa menelusuri setiap lekuk Kota Jakarta adalah ekspektasi yang sangat dielu-elukan. Jakarta adalah sebuah kota yang menggambarkan segela pemuasan hasrat untuk menikmati mahakarya dari orang-orang intelek. Seperti gedung pencakar langit dan sebangsanya.
Juga rumah dari para penghibur yang biasa ditonton di layar kaca. Sebagai pemuja pesohor, tentu saja bisa menatap secara langsung atau meminta tanda tangan adalah menjadi sasaran hasrat, yang nantinya akan dianggap sebagai simbol kelengkapan dari ritual pemujaan. Maka, siapa yang tidak ingin ke Jakarta?
Saya yang tahun 2009 menetap di Bandung, yang terhitung dekat dengan Jakarta, hingga dalam benak saya sudah ditulis: jika ada waktu luang, Jakarta pasti saya rambah.
Tiba juga waktunya memenuhi hasrat itu, pada pertengahan 2010, saat baru pulang dari kampung halaman. Ketika itu saya tiba di Bandung seminggu sebelum masuk jadwal rutinitas.
Setelah menghubungi seorang teman di Jakarta, tinggal di wilayah Mampang Prapatan, saya pun berangkat. Bersama saya turut ikut juga seorang teman yang tak kalah kampungannya dengan saya, asal Padang Sibusuk, Sumatra barat. Taura namanya. Tega lo gak ngajak saya, katanya.
Kami yang kegirangan akan perjalanan itu berangkat dari Terminal Lewi Panjang, dengan tujuan Terminal Lebak Bulus. Dengan membayar lima puluh ribuan untuk satu tiket, Bus pun akhirnya sudi mengantar kami.
Sebenarnya saya sudah pernah melewati Kota Jakarta, empat kali. Melalui jalan tol saat pulang pergi dari Kampung halaman ke Bandung. Secara kebetulan saat melintas, tiga kali di malam hari, rasa ngiler semakin menjadi-jadi, hanya dengan memandang gemerlapan lampu-lampu dari gedung-gedung Kota Jakarta. Saya menghibur diri dengan kata "suatu hari nanti", ya, saya yakin karena ada banyak kenalan dari daerah di sana, juga sudah turut mengundang.
Kami pun sampai di Terminal Lebak Bulus mendekati Zuhur. Tentu saja kami kebingungan dengan keramaian Jakarta yang asing. Apalagi banyak yang mau menawarkan jasa. Anehnya hanya pada kami, orang-orang lain lalu-lalang begitu saja, tak ada yang menyapa. Ramah sekali orang itu pada kami. Mungkin alasannya melihat kami yang kaku dan dekil. Hingga dipikirannya pantas diberi pertolongan. Kami pun menolak, karena sudah ada yang jemput.
Saya pun langsung menelpon yang akan kami jadikan tour guide (Muhardi) selama di Jakarta. Katanya tunggu sebentar, ia sudah naik Bus. Sebab itu kami memilih menunaikan Ibadah Zuhur dulu di sebuah Masjid kecil di Sudut Terminal.
Selesai Salat hampir jam satu. Kami langsung menunggu di tempat yang dijanjikan, dekat halte Transjakarta. Sambil memandang lalu lintas yang lebih padat dari Jl. A. Yani, Bandung di sore hari. Bakal lama ini, keluh Taura. Karena itu saya menghubungi Muhardi lagi, sudah sekitar Pukul 14:00.
"Masih lama kamu?"
"Ini masih di jalan, tunggu aja."
Sekitar pukul 15:00. Orang yang sama terus merayu kami, hendak menawarkan jasa tadi. Lagi-lagi kami menolak. Dia terus merayu lebih panjang.
"Sudah di mana?"
"Bentar lagi nyampek."
Sekitar Pukul 16:00. Lagi-lagi orang yang sama datang lagi. Mungkin kasihan dengan kami yang semakin layu. Kali ini rayuannya lebih dalam. Sampai menunjukkan tanda pengenal agar kami percaya. Ramah dan baik sekali. Orang yang kami tunggu akhirnya datang. Dia yang merayu dengan muka kuyu tanpa pamitan berlalu. Lo, kok tiba-tiba tidak ramah?
"Maaf, macet," terangnya.
"Mana angkutan kita?" tanya saya yang sudah capek menunggu.
"Kita naik di sana," tunjuknya.
Kami pun berjalan. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, anak-anak berseragam putih-abu-abu kelihatan sedang lomba lari, oh bukan, barangkali sedang belajar perang, sebab ada yang membawa Samurai, Rantai bekas, pisau, dll. Cepat sekali. Melihat kerumunan itu mendekat, Taura langsung lari ke belakang. Muhardi langsung mencengah, "jangan lari, nanti dikira kamu yang dikejer".
Karena ada yang menghalangi kejar-kejaran itu, "geng" terminal atau entah, anak-anak yang dikejar langsung masuk ke jalan. Melompati kendaraan yang merangkak. Sebab itu lalu lintas terhenti. Pengendara membunyikan klakson yang menambah keramaian. Saya keheranan, karena ada pula anak cewek yang ikutan atraksi nekad itu. Luar biasa apa yang disuguhkan Jakarta dihari pertama saya.
Sambil menghirup debu jalanan dan asap knalpot, lumayan jauh kami berjalan. Menurut saya hingga kiloan meter, barangkali karena sudah capek. Sementara laju kendaraan di samping kami, di jalan, lebih lambat dari pada langkah kami.
Akhirnya kami naik angkutan yang bukan Bus Transjakarta, taroklah namanya KJ. Luar biasa perjalanan yang diakui Muhardi tidak jauh itu, saya mengira lebih banyak memakan waktu daripada perjalanan kami Bandung-Jakarta.
Sejak itu pula saya sudah mengakui, bahwa ternyata jl. A.Yani (dari Alun-alun-Terminal Cecaheum dan jl. Jakarta, Bandung, yang sering saya lalui serta jalan Setia Budi dan Dago yang jarang-jarang saya lewati kalah telak keramaiannya, atau lebih longgar.
Saya bingung sama Muhardi, kenapa tidak naik Transjakarta. Melainkan memilih Bus KJ yang sudah butut. Katanya sih Transjakarta juga jam segitu sulit dapat tempat duduk. Kemegahan Kota Jakarta dalam angan mulai sirna begitu saja, sebab selain badan yang lelah, jiwa pun sudah mulai jengah.
Kalau dihitung jarak meterannya, kami tidak sah menunda Salat. Tapi kalau hitungannya waktu barangkali lain. Saya sih gak memikirkan itu. Tapi Muhardi yang kuliah ambil jurusan agama terlihat risih, sebab Asar dan Magrib sudah lewat.
Saya pun mulai kesal pada pak Sopir yang sudah beruban itu. "Tabrak aja itu Mobil kecil-kecil yang mengkilat di depan pak," kesal saya dalam hati. Perut juga sudah mulai perih, sebab belum makan semenjak sarapan. Rupanya Taura juga sudah lapar.
"Aissh lama," pekiknya lumayan keras, "Lapar lagi."
"Lo aja yang gak mau makan di terminal tadi."
"Biasanya mah di terminal mahal."
"Katamu, takut dia (muhardi) datang."
"Bentar lagi nyampe," Muhardi menenangkan persis perawat rumah sakit.
Seperti yang saya bilang tadi, Bus KJ yang kami tumpangi sudah butut. Masih lumayan jauh ke tempat tujuan, Bus malang itu mogok di tengah jalan. Tentu pengemudi kendaraan yang di belakang kalap. Ya tepat sekali, pelampiasan ketidakpuasan itu lumayan bising. Kami pun memilih turun.
Lampu-lampu sudah menyala. Lama kami menunggu angkutan. Setiap yang melintas tidak ada kursi yang kosong, penuh sesak. Kami memilih menanti yang lain.
"Naik Taksi aja," usul saya setelah melihat Taksi yang berwarna Silver, juga berjalan merangkak.
"Mahal itu," kata Muhardi.
Mungkin karena argonya jalan terus walaupun macet alasannya, pikir saya.
"Ngak apa," Taura menyanggupi.
"Gak usahlah. Jalan aja kita."
Tentu saja saya lebih setuju dengan itu. Sebab berjalan mampu mengimbangi laju kendaraan, kecuali motor. Setelah mendengar keterangan jarak yang akan kami tempuh tidak jauh dari Muhardi, Taura juga setuju. Kami pun membeli roti di Mini Market untuk menambah energi.
Sambil plangak-plongok melihat keindahan Kota, kami terus berjalan. Sesekali menyelinginya dengan cerita.
Kami pun akhirnya nyapek di Kos-kosan Muhardi mendekati jam sembilan malam, sebab ternyata sangat jauh kami berjalan kaki. Tapi rasanya lebih nikmat dari pada diatas Bus KJ butut tadi.
Esok harinya kami jalan-jalan ke Monas. Kali ini kami naik Transjakarta. Lumayan lancar. Setelah berkeliling, dan meneropong di puncak Monumen, hari sudah zuhur. Kemudian menyebrang ke Masjid Istiqlal. Selain menunaikan Salat, sekaligus kami "berwisata" di Masjid yang mewah itu.
Setelah itu rencana kami akan ke sebuah Mall. Penumpang bus Tranjakarta sudah banyak ngantri di Halte. Sampai tiga Bus yang lewat kami belum naik. Sebab menunggu yang kosong, agar dapat tempat duduk, itu usul Taura. Lama kelamaan tidak dapat juga.
Lagi-lagi karena lapar berulah, saya langsung loncat ketika pintu otomatis Bus terbuka. Muhardi dan Taura tidak bergegas.
"Ayo," ajak saya.
"Masih padat," kata mereka.
"Lapar." Saya bilang pada Muhardi dengan bahasa daerah. Mereka belum beranjak.
Melihat pintu yang mau tertutup saya loncat lagi ke Halte, dan loncatan itu bukan yang terbaik dari saya, hingga saya terpeleset tapi selamat. Kejadian itu saya kira sukses menghibur orang-orang yang padat, dengan jiwa yang pasrah di Halte itu. Entah apanya yang lucu, hampir semua orang tersenyum. Yang paling terpingkal-pingkal adalah Taura dan Muhardi.
Kami memilih tidak jadi ke Mall yang dijanjikan. Sebab waktu sudah banyak tersita. Kalau pulang terlalu malam, kami sudah kapok dengan bayangan kondisi jalan kemarennya.
Besoknya lagi kami jalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan. Karena pengalaman kemaren-kemarennya, saya memilih membawa makanan, dimasukkan ke dalam tas. Muhardi tersenyum melihat kelakuanku.
Muter-muter di Ragunan, menonton mahkluk yang bernasib malang, karena telah dipindahkan dari habitatnya, memang membuat hati saya tenang. Di hari itu nyaris semua binatang kami tonton. Wilayah yang luas itu kami lalui dengan berjalan, yang membuat pegal persendian.
Pula setelah Salat Asar kami beralih pulang. Entah sebab apa, Muhardi lagi-lagi memilih bukan angkutan Transjakarta. Dan lagi-lagi pula kami tiba di Kosannya sudah Magrib. Langsung melepas letih, ingin tidur secepatnya.
Ternyata dengan waktu dua hari tiga malam saya di Jakarta, secuil ekspektasi pun tidak terpenuhi, barangkali harus jadi orang Jakarta dulu untuk melumatnya. Di waktu yang bisa disebut 60 Jam itu kebanyakan habis di jalanan dengan capek yang menyergap, jiwa yang melemah dan rasa yang mudah tersinggung. Hanya berswafoto di Monas, memelototi mahkluk-mahkluk frustasi di Ragunan dan sekali sujud di Masjid Istiqlal, ya itu saja yang saya kira berarti, padahal banyak yang ingin dikunjungi waktu itu.
Bahkan, menemui gebetan yang sudah diicar jauh-jauh hari lewat Facebook saja tidak bernafsu. Sebab perempuan yang berasal dari Aceh Singkil itu menerangkan harus dua kali naik angkot untuk dolanan, di Jakarta Pusat dekat Kampus STMI. Wadoooh.
Itu saja cerita pertama dan terakhir saya di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H