Lagi-lagi karena lapar berulah, saya langsung loncat ketika pintu otomatis Bus terbuka. Muhardi dan Taura tidak bergegas.
"Ayo," ajak saya.
"Masih padat," kata mereka.
"Lapar." Saya bilang pada Muhardi dengan bahasa daerah. Mereka belum beranjak.
Melihat pintu yang mau tertutup saya loncat lagi ke Halte, dan loncatan itu bukan yang terbaik dari saya, hingga saya terpeleset tapi selamat. Kejadian itu saya kira sukses menghibur orang-orang yang padat, dengan jiwa yang pasrah di Halte itu. Entah apanya yang lucu, hampir semua orang tersenyum. Yang paling terpingkal-pingkal adalah Taura dan Muhardi.
Kami memilih tidak jadi ke Mall yang dijanjikan. Sebab waktu sudah banyak tersita. Kalau pulang terlalu malam, kami sudah kapok dengan bayangan kondisi jalan kemarennya.
Besoknya lagi kami jalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan. Karena pengalaman kemaren-kemarennya, saya memilih membawa makanan, dimasukkan ke dalam tas. Muhardi tersenyum melihat kelakuanku.
Muter-muter di Ragunan, menonton mahkluk yang bernasib malang, karena telah dipindahkan dari habitatnya, memang membuat hati saya tenang. Di hari itu nyaris semua binatang kami tonton. Wilayah yang luas itu kami lalui dengan berjalan, yang membuat pegal persendian.
Pula setelah Salat Asar kami beralih pulang. Entah sebab apa, Muhardi lagi-lagi memilih bukan angkutan Transjakarta. Dan lagi-lagi pula kami tiba di Kosannya sudah Magrib. Langsung melepas letih, ingin tidur secepatnya.
Ternyata dengan waktu dua hari tiga malam saya di Jakarta, secuil ekspektasi pun tidak terpenuhi, barangkali harus jadi orang Jakarta dulu untuk melumatnya. Di waktu yang bisa disebut 60 Jam itu kebanyakan habis di jalanan dengan capek yang menyergap, jiwa yang melemah dan rasa yang mudah tersinggung. Hanya berswafoto di Monas, memelototi mahkluk-mahkluk frustasi di Ragunan dan sekali sujud di Masjid Istiqlal, ya itu saja yang saya kira berarti, padahal banyak yang ingin dikunjungi waktu itu.
Bahkan, menemui gebetan yang sudah diicar jauh-jauh hari lewat Facebook saja tidak bernafsu. Sebab perempuan yang berasal dari Aceh Singkil itu menerangkan harus dua kali naik angkot untuk dolanan, di Jakarta Pusat dekat Kampus STMI. Wadoooh.