Lampu-lampu sudah menyala. Lama kami menunggu angkutan. Setiap yang melintas tidak ada kursi yang kosong, penuh sesak. Kami memilih menanti yang lain.
"Naik Taksi aja," usul saya setelah melihat Taksi yang berwarna Silver, juga berjalan merangkak.
"Mahal itu," kata Muhardi.
Mungkin karena argonya jalan terus walaupun macet alasannya, pikir saya.
"Ngak apa," Taura menyanggupi.
"Gak usahlah. Jalan aja kita."
Tentu saja saya lebih setuju dengan itu. Sebab berjalan mampu mengimbangi laju kendaraan, kecuali motor. Setelah mendengar keterangan jarak yang akan kami tempuh tidak jauh dari Muhardi, Taura juga setuju. Kami pun membeli roti di Mini Market untuk menambah energi.
Sambil plangak-plongok melihat keindahan Kota, kami terus berjalan. Sesekali menyelinginya dengan cerita.
Kami pun akhirnya nyapek di Kos-kosan Muhardi mendekati jam sembilan malam, sebab ternyata sangat jauh kami berjalan kaki. Tapi rasanya lebih nikmat dari pada diatas Bus KJ butut tadi.
Esok harinya kami jalan-jalan ke Monas. Kali ini kami naik Transjakarta. Lumayan lancar. Setelah berkeliling, dan meneropong di puncak Monumen, hari sudah zuhur. Kemudian menyebrang ke Masjid Istiqlal. Selain menunaikan Salat, sekaligus kami "berwisata" di Masjid yang mewah itu.
Setelah itu rencana kami akan ke sebuah Mall. Penumpang bus Tranjakarta sudah banyak ngantri di Halte. Sampai tiga Bus yang lewat kami belum naik. Sebab menunggu yang kosong, agar dapat tempat duduk, itu usul Taura. Lama kelamaan tidak dapat juga.