Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secangkir Teh

6 Oktober 2017   22:01 Diperbarui: 6 Oktober 2017   22:10 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hah? Seketika aku benar-benar merindukan Almarhumah Ibu yang selalu memihak padaku. Bahu Ibu adalah sandaran yang hangat menghadapi masalah seperti ini.

Dari sini kau tentu belum tau, bahkan aku merasa tidak akan kuat menceritakannya: kalau hari itu, walau cahaya senja telah tumpah, lembayungnya mampu menyihir bumi jadi indah, tapi hatiku serba salah ditabuh gundah. Sebab menenggang Almarhum aku menahanmu, tepatnya melalui Kakak sulung yang sudah menjadi waliku.

Kau bahkan sama sekali tidak masuk catatanku. Kendati begitu, walau pun Bapak telah tiada, sebagai penghormatan aku tidak akan menolak, sebab tidak membuat kesepatan itu sebelumnya. Tapi, kalau aku tidak suka dengan pilihan Almarhum, seperti yang sudah kurencanakan, orang itu akan kubunuh dengan syarat-syarat hingga ia tidak sanggup hidup dengan ku---membuat perkiraan kalau memaksa menikahiku akan benar-benar membunuhnya lebih awal.

Sial! Kau malah menyanggupi segudang pengajuan dan menjawab sejuta pertanyaanku, meski kalau orang waras akan lari dengan pertanyaan tidak jelas itu. Kau gila?

Kau juga tidak malu menyebut sudah melamar puluhan perempuan, entah gadis atau tidak, yang kesemua itu ditolak. Jelas menanggapimu aku sempat berhalusinasi, kalau kau benar-benar gila karena tidak laku. Apa aku harus menerima? Ah! Tidak. Kau harus segara pergi.

"Bapak telah menghabiskan banyak uang untuk pendidikan," aku membuka. "dua ratus juta rupiah. Saya hanya ingin kelak uang itu dikembalikan suamiku," terangku.

Seketika pergerakan tubuh kakak  seolah menudingku berlebihan, tapi ia tidak protes. Aku tidak tau pasti, bagaimana perasaanmu mendengar itu. Yang jelas, penglihatanku kau seperti mati darah. Oleh itu, aku menikmati dengan rasa penuh kemenangan. Padahal jika aku titikkan sampai disitu kau sudah terkapar, dari keteranganmu: jelas kau tidak punya, hanya pekerja serabutan, dan orang tuamu---mertuaku---pula orang miskin tujuh keturunan. Niat jahatku timbul lagi lebih jahil, ingin memberi pelajaran agar kau lebih tau diri.

"Dan ..." lanjutku memecah keheningan, "uangnya harus dari kebun belakang rumah," tambahku lebih membunuh.

"Maksudnya?" tanya kakak sulung. Kau mengangkat kepala, dengan wajah lebih sumringah, seolah ada secercah harap. Jelas bukan itu yang kuharapkan.

"Itu sudah saya niatkan. Kalau kelak suamiku harus menanam seribu pohon pisang di kebun belakang. Setelahnya, sebelum suamiku boleh membawaku pergi, dari buahnya harus dikembalikan dulu uang Bapak dua ratus juta itu," jelasku lebih lanjut.

Kulihat kakak menggeleng. Kakak memang hapal betul, sejak ditanam, pohon pisang baru bisa dipanen delapan bulan lamanya dan di daerah kami satu tandannya hanya dihargai dua ribu rupiah---untuk yang paling bagus, dan yang kurang berisi bisa lebih murah. Kalau ingin setiap tandannya dibayar standar, satu perdu pohon pisang harus dipelihara dua hingga tiga pohon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun