Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secangkir Teh

6 Oktober 2017   22:01 Diperbarui: 6 Oktober 2017   22:10 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Rumah tua ini, meski pada mulanya aku risih akan kehadiranmu, lamat-lamat bahagia menyuguhkan cinta. Kita sudah bertahun-tahun mengarung samudra. Membuat tubuh ringkihmu hancur dilumat waktu dengan perlahan penyesalan membara di dadaku. Iya, awalnya aku sengaja...

Sebelum Bapak meninggal, Beliau memaksaku menikah. Karena belum punya pilihan bercampur belum ingin. Dengan mengutamakan penghormatan, aku menyerahkan semuanya pada Bapak---mencari suami. Karena yakin tidak akan menjatuhkanku ke lubang gelap.

Kamu tau? Kendati begitu, aku punya kriteria tertentu dan kalau tidak masuk akan kuutarakan syarat yang mustahil.

"Kalau begitu, tunggu dua bulan lagi," terang Bapak.

Aku mengangguk. Sebab, bagiku lebih lama akan semakin baik. Beliau menghela napas, berat. Seolah, menunggu enam puluh hari sama halnya dengan menunggu masa enam puluh tahun. Berlebihan!

"Siapa sih, Pak?" tanyaku penasaran, setelah menghitung beban yang ditanggung.

"Saya tidak tau pasti. Hanya mengundangnya minum teh. Katanya akan datang."

Apa? Tentu, mendengar keterangan singkat itu aku teperangah, tapi membalutnya dalam diam. Dan setelah hari itu, aku mengancang-ancang segudang penolakan nanti. Seberat bisa serumit mungkin. Aku pasti menang, sebab yakin tak ada manusia sesakti Pageran Bandung Bondowoso---yang dalam semalam mampu membangun seribu Candi. Tau kan? Kalau pun mampu, Putri Rara Jonggrang telah mengajar cara penolakan.

Menjelang petang, aku mendapatimu di ambang pintu.

"Ini rumah, Pak Ahmad?" tanyamu ragu sambil melirik secarik kertas di tangan kananmu yang tertera sebuah alamat. Aku mengangguk, dingin menanggapimu yang asing.

Kau sudah tau, bukan bermaksud tak ramah. Sebab, sulit menyembunyikan suasana hati saat berkomunikasi. Apalagi dalam tekanan berkabung. Barangkali ketika itu kau murka. Maaf yang sudah berkali-kali kuucapkan sedianya mampu membuat pemahaman---itu pengakuanmu. Tentu, setelah kautau penjelasanku, kalau hatiku masih mendung sejak ditinggal Bapak, yang baru sebulan saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun