Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata Hati

16 September 2017   17:44 Diperbarui: 17 September 2017   17:50 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: berbinarbinar.com

Tentu saja bukan tak ingin Amir menyapa lelaki kurus legam yang mengantar beberapa bungkus keripik pisang dan singkong ke warung ia menyeruput kopi. Karena suatu hal lampau membuatnya menunduk---agar tidak dikenali.

Setelah sebentar melakukan transaksi dengan pemilik warung, lelaki itu pamit. Seketika perasaannya lega. Sejurus dengan kepergiannya Amir mengangkat kepala, memerhatikannya penuh rindu hingga sampai ke mobil pick up yang dimodifikasi untuk berjualan.

Tapi, sungguh tak diduga. Lelaki itu malah balik lagi menuju pemilik warung. Kesialan pun semakin menjadi, sebab belum sempat memalingkan muka lelaki itu keburu melirik. Dalam hatinya, semoga ia tidak dikenali.

"Ada gak konci mobil tinggal, buk?"

Lelaki itu bertanya, tapi matanya tetap melirik pada Amir yang hatinya masih saja gundah. Setelah memeriksa sekelilingnya, Ibuk warung itu mendapati kunci mobil yang dimaksud diatas meja kasir. Lalu menyodorkannya.

Namun, lelaki pengantar keripik itu tidak langsung pergi. Dengan sedikit ragu bercampur penasaran, ia mendekati Amir yang seolah tidak kenal. Amir yang sedang membuang pandang pada Lembaga Pemasysrakatan sebalah utara memunggunginya.

"Amir."

Lelaki itu memberanikan diri menyapa. Walaupun dihantui rasa ragu, tapi ia tidak mau dipecundangi penasaran dan juga hal lainnya. Amir membalikkan badan.

"Alif."

Dengan lakon seolah tak percaya yang dibuat-buat, Amir balas menyapa. Iya, lelaki ceking kerontang itu adalah Alif, yang tak lain adalah sahabatnya ketika SMP dulu.

"Ternyata benar. Apa kabar kamu?"

"Baik. Kamu apa kabar?"

"Ah. Seperti yang kau lihat." Dengan lagak sombong. "Semakin rupawan saja. Haha..." Celetuknya ngelawak.

Setelah bersalaman penuh hangat, dibumbui euforia kelas langit kedua sahabat melepas rindu. Penuh canda, khas kariban mereka melumat kenangan. Saling serang dengan guyonan yang menggemparkan suasana sekeliling. Terutama membuat iri dua buah pohon mahoni di pertigaan sebelah selatan. Meski hanya terpaut jarak lima meter, pohon itu tak pernah bersentuhan apalagi saling peluk.

Seolah sudah puas, Amir dan Alif melayangkan pandang ke lapangan Pancasila sebelah timur. Melintasi jalan Ahmad Yani menuju kota. Kemudian berhampuran di hamparan rumput yang menguning diterpa kemarau. Hening.

Pertemuan tidak dijanjikan itu membuat hati Alif diliputi keharuan yang sulit dipaparkan. Pandangannya tertumpu pada tiang panjat pinang, miring. Dalam hati ia bertanya, kenapa setelah perayaan usai bahkan seolah tidak ada yang peduli lagi padanya, padahal berkat tiang itu keceriaan lahir.

Sedangkan pertemuan itu membuat hati Amir diselimuti rasa haru dan malu. Juga pandangannya teralihkan pada tiang yang pernak-pernik mahkotanya sudah dilucuti. Tiba-tiba timbul perasaan bersalah. Sebab ia merasa hidupnya terpenuhi dari keistimewaan hadiah yang dilekatkan diatasnya, tapi ia tidak ikut memanjat. ***

Keduanya telah terpisah dua belas tahun lalu, dari sejak SMP. Sebab Amir melanjutkan sekolah ke luar daerah. Sedangkan Alif bahkan tidak tamat SMP. Prihal masalah klasik anak negeri jadi biangnya, ekonomi. Ia pun melanjutkan warisan keluarga sebagai petani pisang dan singkong.

Bagi keduanya, secara spontan pertemuan itu membawa kembali ingatan pada pengalaman dahulu. Karena sejak dipertemukan di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama mereka begitu intim.

Amir yang lambat tanggap dengan pelajaran selalu dibantu sang sahabat. Alif memang punya otak diatas rata-rata. Maka pemberianNya itu menempatkannya selalu jawara. Hingga karena terpatri hati tulus, dengan kemapuannya ia selalu membantu teman yang kesusahan, masalah pelajaran.

Amir yang bersifat pongah dan sok berkuasa sering mengintimidasi. Sebenarnya walaupun tidak dengan cara kolonial itu Alif akan membantu. Tapi karena ada sifat yang bukan jagoan sejati hinggap di hati Amir ia selalu mengawali dengan ancaman. Terutama untuk mengerjakan PR dan tak jarang urusan contek-mencontek saat ulangan.

Kendati begitu, Amir juga punya sifat belas kasih. Setelah Alif membatu, tak jarang pula Amir mentraktirnya di kantin dan atau memberinya perlengkapan sekolah, semisal buku dan pulpen.

Jelas saja diawal-awal Alif menolak, karena hati yang tulus tadi, jerihnya tidak mau dibayar. Ia tidak mengharap balas budi. Tapi Amir yang punya rupiah melimpah dan alat sekolah tanpa batas tidak mau berhutang budi, selalu memaksa kehendak.

Sebab pertemuan arus berlawanan itu selalu dihiasi bentrok lebih dulu, untuk kemudian seperti biasa Alif yang selalu mengalah dan juga mungkin karena adanya sifat butuh: lapar dan kekurangan alat sekolah.

Ada sebuah kenangan yang selalu membekas dan tidak bisa lekas lenyap dari ingatan keduanya ketika hinggap. Pernah suatu hari sepulang sekolah, Amir ikut ke rumah Alif.

Hari itu memang tidak seperti biasanya, Amir tidak dijemput Ayah atau Ibunya, orang tuanya memang Pejabat penting di Kabupaten dan keduanya sedang tugas diluar daerah. Melainkan kakak perempuannya yang sudah kelas tiga SMA menggantikan urusan jemput-menjemput. Siang itu kakaknya ditemani entah mungkin teman atau pacarnya. Keduanya masing-masing membawa motor.

Amir ngotot tidak mau pulang. Tentu kakaknya pura-pura memaksa sambil sesekali menyabarkan temannya, "sebentar ya yang," katanya. Setelah Amir dan kakaknya melakukan kesepakatan, saling tidak mengadu pada orang tua, baru Amir diizinkan dan janji akan dijemput sore. Alif yang mulanya ragu tidak kuasa menolak, karena Amir mengeluarkan sifat akunya.

Meski Amir setiap sabtu sore latihan Basket dan minggu pagi latihan Sepak Bola, di perjalanan naik turun dan berlika-liku sejauh 4 Km menuju rumah Alif ia kepayahan. Alif biasanya tidak pernah istirahat pulang pergi sekolah, tapi waktu itu tiga kali berteduh karena tidak tega melihat sahabatnya. Hal itu membuatnya agak terlambat dari biasanya.

Tidak ada siapa pun di rumah. Seperti biasa orang tua dan abang Alif berkebun jauh ke gunung. Pergi pagi pulangnya sore, dekat magrib.

Amir yang sudah biasa memakan makanan enak-enak tidak bernafsu dengan santapan keluarga Alif. Menu Nasi dari raskin yang berkutu dan terasi dibakar seadanya membuat Amir hendak muntah.

"Aku tak biasa makan seperti ini. Aku gak makan."

Tolak Amir dengan nada jijik yang sama sekali tanpa memikirkan perasaan Alif. Bagi Alif masih makan nasi juga sudah lumayan, karena tak jarang keluarganya mengganjal perut dengan singkong yang ditanam sendiri.

Selebihnya segala keadaan kelaurga Alif dipertanyakan. Pertanyaan yang sekaligus menyimpan heran dan tentu saja merendahkan. Mulai dari memasak masih menggunakan kayu bakar dan dinding rumah yang berlubang, tiang keropas serta atap yang berkarat, dsb.

Perasaan Amir baru merasa lega dan mengasyikkan ketika diajak ke kebun tumpang sari antara singkong dan pisang yang tak jauh dari rumahnya. Seketika perasaan tersayat-sayat di lambungnya hilang. Alif hanya mengganti seragam putihnya. Sedang Amir tidak, sebab tubuhnya jauh lebih besar dari Alif membuat tak ada baju yang muat.

Mereka khusyuk mencabut singkong. Alif merasa biasa saja, malah menganggap beban karena setiap hari harus menyediakan 20 Kg singkong untuk pesanan tengkulak. Dan terkadang ditambah 2-3 tandan pisang. Tapi bagi Amir itu sebuah hiburan yang menggairahkan. Setelah merasa cukup keduanya mengemas barang.

"Kenapa tidak dimasukkan goni?"

Amir heran melihat Alif tidak memasukkan singkong kedalam goni yang sedari tadi mereka bawa. Tapi malah mengikatnya dengan serat pohon pisang.

"Itu untuk rumput," Terangnya. "Pakan sapi. Ini kamu bawa satu."

Setelah mengecek ikatan, Alif menyerahkan bagian yang harus dibawa Amir dan langsung memundak bagiannya.

"Ayo."

Amir yang masih bingung, mau tidak mau harus mengangkat bagiannya dan langsung mengekor Alif yang langsung beranjak. Meski belum mengisi perut untuk menggotong Singkong sekitar 10 kg jalannya tidak pincang sama sekali, masih enteng baginya.

Mereka berhenti ditengah sawah yang juga mereka lewati saat berangkat. Bentangan sawah yang menguning sedikit memberi hiburan tatkala tenaga sudah mulai terkuras.

"Ini sawahmu?"

"Bukan."

"Kenapa berhenti?"

"Motong rumput."

Jawab Alif sambil langsung bereaksi cekatan memotong rumput dengan sabit yang tak kalah ganas juga, tajam.

Selebihnya Amir tidak bertanya lagi. Ia mulai hanyut dengan perpaduan teriakan orang-orang yang mengusir burung dan cericit gerombolan burung pipit yang bergulung-gulung di angkasa. Ia begitu takjub melihat usaha burung pipit mencari celah saat-saat pemilik sawah lengah.

Iya memang, sekuat apa pun orang berteriak, mengutuk dan membaca mantra bahkan dengan bantuan orang-orangan sawah masih tidak sulit mendapati bulir padi yang tercuri, entah itu tikus atau burung jadi lakonnya. Tapi yang patut dicontoh, orang-orang juga mempertahankan haknya hingga titik darah penghabisan.

Amir masih terpana, padahal lembayung senja telah memberi tanda-tanda. Juga Alif telah mengisi goni penuh.

"Ayo." Ajak Alif yang menyadarkan Amir. "Kamu bawa singkong. Aku bawa rumputnya."

"Apa?"

"Gak bisa aku bawa dua-duanya."

Baru pertama kali Amir mengalah tanpa protes. Sebab rasa tidak sanggup sudah muncul duluan melihat  goni yang sama tinggi dengan Alif, juga padat berisi. Sangat tidak masuk akalnya memilih memundak rumput itu.

Amir sangat menikmati tantangan menenteng dua buah ikatan singkong sambil meniti tambak-tambak sawah. Baru setelah mendapati jalan yang menanjak ia kelimpungan. Nafasnya tersengal-sengal. Cacing dalam perutnya semakin memburu. Berkali-kali ia ingin muntah, mungkin karena tidak ada yang bisa dikeluarkan jadi batal. Ia sebanarnya sudah sangat tidak kuat. Tapi Alif terus berjalan, tanpa memerhatikan di belakang.

Amir benar-benar timpang. Keteduhan senja yang syahdu dan memukau menerpa padang sawah yang menguning tidak mampu dijadikannya suntikan tenaga. Malah tidak sempat diperhatikannya.

Akhirnya sampai juga pada kandang Sapi. Nafas Amir masih terpompa tidak beraturan. Alif langsung memberikan jatah buat Sapinya.

"Buat apa pelihara Sapi?"

Amir bertanya heran.

"Ini satu-satunya yang tinggal dari sawah Almarhum Kakek yang sudah dijual. Sawah yang tadi kita motong rumput dulu punya Kakek. Demi uang berobat kakek sawah itu akhirnya dijual. Walaupun kakek meninggal juga." Ia merasa sedih. "Kata bapak, kami harus menganti sawah kakek dari sapi ini."

Alif menjelaskan panjang lebar dengan raut muka tak rela karena sawah yang terjual, sekaligus terpancar harapan besar pada binatang pemamah biak yang sedang lahap memamah rumput pemberiannya untuk kelak bisa mengganti sawah kakeknya.

Sedang Alif masih ingin menjelaskan, Amir sudah keburu muntah-muntah. Perpaduan perut keroncong dan bau amis taik dan kencing sapi yang tak terawat membuat perutnya semakin berulah. Pandangan Amir berkunang-kunang. "Pruk" ia jatuh telungkup ke kotoran sapi. Tentu seragamnya ternodai. Bercak kekuningan terlihat jelas pada seragam putihnya.

"Sadar, Mir. Sadar."

Alif kaget dan langsung menggendong. Berdasar dalil Alif tidak bisa, tubuhnya lebih kecil, tapi entah karena kekuatan apa yang muncul tiba-tiba ia berhasil tanpa sekalipun berhenti apalagi terjatuh.

Sesampai di rumah kakak Amir yang sudah janji menjemputnya sudah tiba, kali ini dengan pembantunya. Untungnya tidak pakai motor, tapi mobil berplat merah, tak lain adalah mobil orang tuanya. Meski terkejut melihat Amir yang tak bergerak, sempat-sempatnya melemparkan kata-kata kotor pada keluarga Alif. Baru kemudian dengan mobil mulus itu ia melarikan Amir yang malang ke RSUD Kabupaten.

Beberapa hari Amir di opname, belum juga sembuh. Terpaksa keluarganya merujuk ke luar daerah. Setelah kejadian itu Amir dan Alif tidak pernah bertemu lagi.***

"Aku minta maaf."

"Tidak perlu minta maaf." Setelah Amir paham kenapa sahabatnya minta maaf. "Aku seharusnya minta maaf. Soalnya selalu menyusahkanmu."

Keduanya kembali hening. Mengeja masa lalu sambil kadang-kadang tersenyum sendiri.

Setelah beberapa lama mereka bercakap-cakap, Alif lebih dulu pamit. Alasannya harus mengantar pesanan pelanggan. Yang langsung ditanggapi nyelonong oleh Amir, "Juragan memang harus gitu." Candanya. Tawa pun membuncah.

"Kamu masih disini?"

"Iya. Ada yang kutunggu."

Sebelum akhirnya dengan perasaan yang sulit diungkapkan Alif benar-benar meninggalkannya, tak lupa ia meminta sahabatnya bertandang. Di ingatan mereka, kenangan dahulu memang sangat lekat tertancap. Terutama bagi Amir yang beberapa tahun belakangan baru sadar kalau secara tidak langsung ia telah menikmati harta rampasan dari sahabatnya, tentu saja kesadaran itu muncul setelah mata hatinya benar-benar berfungsi.

Kalau memang tidak ada prihal rampas-merampas ia yakin sahabatnya akan lebih sukses, otaknya jelas sangat cemerlang. Meskipun sebagai juragan keripik singkong dan pisang yang bahannya dari kebunnya sendiri ia cukup berhasil. Serta pembuat yogort, dan juga bahan dasarnya dari susu sapi anak bernak sapi yang dulu ia pelihara, jadi tambahan. Ia bahkan sudah membeli sawah dua kali lapat dari sawah kakeknya yang dulu sempat terjual, jadi bukti nyatanya. Ketimbang dirinya, ia mengaku Alif jauh lebih sukses meski sudah berpendidikan Master.

Hal lampau yang membuat ia malu bertemu, yang beberapa tahun belakangan baru disadarinya, tak lain karena perbuatan bapaknya. Setelah kejadian di kandang sapi dulu, bapaknya mengintervensi kepala sekolah agar memutus sekolah Alif. Menggunakan kekuasaan sang bapak berhasil balas dendam padanya.

Setahun kedepannya, Tuhan benar-benar murka, yang juga berhasil mengantar sang Ibu ke alam baka karena stroke memikirkan sang bapak yang tertangkap korupsi dana pendidikan. Dana pendidikan yang seharusnya Alif dan anak-anak senasib yang menerima.

Walaupun perasaan ingin minta maaf pada Alif terus membuncah, tapi ia bingung memulai dari mana. Amir sudah berniat akan memaksa bapaknya melakukan itu setelah keluar dari penjara.

Di hari yang sudah mulai senja, setelah lebih dari sepuluh tahun bapaknya dipenjara, dari pintu Lembaga Pemasyarakatan sebelah utara warung terlihat bapaknya keluar. Amir melambaikan tangan dan bangkit dari duduknya, langsung menemui sang bapak.

Gayo Lues, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun