"Kenapa berhenti?"
"Motong rumput."
Jawab Alif sambil langsung bereaksi cekatan memotong rumput dengan sabit yang tak kalah ganas juga, tajam.
Selebihnya Amir tidak bertanya lagi. Ia mulai hanyut dengan perpaduan teriakan orang-orang yang mengusir burung dan cericit gerombolan burung pipit yang bergulung-gulung di angkasa. Ia begitu takjub melihat usaha burung pipit mencari celah saat-saat pemilik sawah lengah.
Iya memang, sekuat apa pun orang berteriak, mengutuk dan membaca mantra bahkan dengan bantuan orang-orangan sawah masih tidak sulit mendapati bulir padi yang tercuri, entah itu tikus atau burung jadi lakonnya. Tapi yang patut dicontoh, orang-orang juga mempertahankan haknya hingga titik darah penghabisan.
Amir masih terpana, padahal lembayung senja telah memberi tanda-tanda. Juga Alif telah mengisi goni penuh.
"Ayo." Ajak Alif yang menyadarkan Amir. "Kamu bawa singkong. Aku bawa rumputnya."
"Apa?"
"Gak bisa aku bawa dua-duanya."
Baru pertama kali Amir mengalah tanpa protes. Sebab rasa tidak sanggup sudah muncul duluan melihat  goni yang sama tinggi dengan Alif, juga padat berisi. Sangat tidak masuk akalnya memilih memundak rumput itu.
Amir sangat menikmati tantangan menenteng dua buah ikatan singkong sambil meniti tambak-tambak sawah. Baru setelah mendapati jalan yang menanjak ia kelimpungan. Nafasnya tersengal-sengal. Cacing dalam perutnya semakin memburu. Berkali-kali ia ingin muntah, mungkin karena tidak ada yang bisa dikeluarkan jadi batal. Ia sebanarnya sudah sangat tidak kuat. Tapi Alif terus berjalan, tanpa memerhatikan di belakang.