Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata Hati

16 September 2017   17:44 Diperbarui: 17 September 2017   17:50 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelas saja diawal-awal Alif menolak, karena hati yang tulus tadi, jerihnya tidak mau dibayar. Ia tidak mengharap balas budi. Tapi Amir yang punya rupiah melimpah dan alat sekolah tanpa batas tidak mau berhutang budi, selalu memaksa kehendak.

Sebab pertemuan arus berlawanan itu selalu dihiasi bentrok lebih dulu, untuk kemudian seperti biasa Alif yang selalu mengalah dan juga mungkin karena adanya sifat butuh: lapar dan kekurangan alat sekolah.

Ada sebuah kenangan yang selalu membekas dan tidak bisa lekas lenyap dari ingatan keduanya ketika hinggap. Pernah suatu hari sepulang sekolah, Amir ikut ke rumah Alif.

Hari itu memang tidak seperti biasanya, Amir tidak dijemput Ayah atau Ibunya, orang tuanya memang Pejabat penting di Kabupaten dan keduanya sedang tugas diluar daerah. Melainkan kakak perempuannya yang sudah kelas tiga SMA menggantikan urusan jemput-menjemput. Siang itu kakaknya ditemani entah mungkin teman atau pacarnya. Keduanya masing-masing membawa motor.

Amir ngotot tidak mau pulang. Tentu kakaknya pura-pura memaksa sambil sesekali menyabarkan temannya, "sebentar ya yang," katanya. Setelah Amir dan kakaknya melakukan kesepakatan, saling tidak mengadu pada orang tua, baru Amir diizinkan dan janji akan dijemput sore. Alif yang mulanya ragu tidak kuasa menolak, karena Amir mengeluarkan sifat akunya.

Meski Amir setiap sabtu sore latihan Basket dan minggu pagi latihan Sepak Bola, di perjalanan naik turun dan berlika-liku sejauh 4 Km menuju rumah Alif ia kepayahan. Alif biasanya tidak pernah istirahat pulang pergi sekolah, tapi waktu itu tiga kali berteduh karena tidak tega melihat sahabatnya. Hal itu membuatnya agak terlambat dari biasanya.

Tidak ada siapa pun di rumah. Seperti biasa orang tua dan abang Alif berkebun jauh ke gunung. Pergi pagi pulangnya sore, dekat magrib.

Amir yang sudah biasa memakan makanan enak-enak tidak bernafsu dengan santapan keluarga Alif. Menu Nasi dari raskin yang berkutu dan terasi dibakar seadanya membuat Amir hendak muntah.

"Aku tak biasa makan seperti ini. Aku gak makan."

Tolak Amir dengan nada jijik yang sama sekali tanpa memikirkan perasaan Alif. Bagi Alif masih makan nasi juga sudah lumayan, karena tak jarang keluarganya mengganjal perut dengan singkong yang ditanam sendiri.

Selebihnya segala keadaan kelaurga Alif dipertanyakan. Pertanyaan yang sekaligus menyimpan heran dan tentu saja merendahkan. Mulai dari memasak masih menggunakan kayu bakar dan dinding rumah yang berlubang, tiang keropas serta atap yang berkarat, dsb.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun