Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Apa Dipandang 'Hina' demi Pendidikan

25 April 2017   18:53 Diperbarui: 2 Mei 2017   18:28 1371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adik perempuannya sedang menempuh pendidikan Ekonomi di salah satu Universitas Swasta di Medan, kemungkinan 2017 ini menjadi sarjana. Awalnya kedua orang tuanya enggan melanjutkan adik perempuannya ke perguruan tinggi. Tapi, ia memaksa dan bertanggung jawab membiayai.

Berkat tenaganya adik nomor duanya telah lulus Diploma III. Kesulitan lapangan kerja membuat adiknya itu tidak terlalu bisa berbuat lebih, selain membantunya di kebun. Sedangkan adik bungsunya juga sudah tamat SMK, tapi tidak lanjut. Biar adik perempuannya tamat dulu, katanya.

Baginya, pendidikan itu penting. Ia sudah merasakannya sebagai orang kurang pendidikan. Karena itu, ia berusaha untuk menyekolahkan adiknya sebisa mungkin.

“Tidak. Bukan itu. Tidak ada maksud agar mereka bisa jadi PNS atau lainnya,” jawabnya saat ditanya apa maksudnya menyekolahkan adik-adiknya. “Hanya supaya mereka berpendidikan. Syukur kalau memang nasibnya baik. Bisa kerja kantoran. Kalau tidak, ya gak apa.” Tambahnya.

Kedua, Sarjana Seni Banting Bakat Demi Keluarga

Ran sedang packing cabe di rumahnya. Dok Facebook Ran
Ran sedang packing cabe di rumahnya. Dok Facebook Ran
Lain Zul, lain pula Ran. Pemuda seperempat abad itu adalah Sarjana Seni lukis. Ran lulusan Unimed, Medan. Ia kini menjadi tulang punggung keluarganya, setelah bapaknya meninggal. Ia juga kini membiayai lima adiknya—dua SMP, satu SD dan satu SMA, serta satu lagi sudah tamat SMA yang rencananya akan dilanjutkan ke sekolah otomotif.

Ditengah maraknya para sarjana, di Gayo Lues, berjuang untuk menjadi Pegawai pemerintah, tak apa walau hanya honorer yang sebagian menghalalkan segala cara. Ran malah tidak tertarik. Ia malah memilih jadi Tauke Cabe dan Bawang merah, meneruskan profesi almarhum ayahnya.

“Mau makan apa adik-adik nanti?” Ia balik bertanya saat ditanya kenapa tidak mau jadi pegawai. “Siapa yang membiayai sekolah mereka? 500 ribu buat saya aja tidak cukup. Gajian tiga bulan sekali lagi.” Pesimisnya menjadi tenaga honorer.

Ia memang bisa dapat puluhan juta perbulan menjadi tauke, meski tak jarang rugi puluhan juta juga. Ia juga pernah menolak tawaran temannya dari luar daerah untuk menekuni keahliannya, seni lukis. Ia menolak. Karena penghasilannya tidak jelas. Padahal dapur keluarganya tidak mau tau penhasilannya.

Ketiga, Sarjana Administrasi Rela Mengajar di Sekolah Swasta

Dok Facebook Jamal
Dok Facebook Jamal
Para sarjana, pada umumnya memilih kerjaan yang bergengsi atau punya jalan menuju tujuan utama, PNS. Hingga mereka memilih nimbrung di instansi pemerintah, meski keberadaannya tidak merubah nasib rakyat sama sekali—tak lebih dari Apel pagi, ngopi, snack-an, ngobrol dan pulang (baca: sebagian).

Apa yang dilakukan Jamal lain dari umumnya. Ia rela mengajar di sekolah Swasta yang kekurangan pengajar. Upahnya sangat kecil, Rp. 300 rb saja perbulan, kadang juga kurang. Juga tidak ada iming-iming adanya SK pemerintah, yang nantinya ada kemungkinan pengangkatan jadi PNS atau bisa ikut tes K2—yang umumnya para honorer mengejar itu.

Saya tanya: kok mau jadi Guru?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun