Adik perempuannya sedang menempuh pendidikan Ekonomi di salah satu Universitas Swasta di Medan, kemungkinan 2017 ini menjadi sarjana. Awalnya kedua orang tuanya enggan melanjutkan adik perempuannya ke perguruan tinggi. Tapi, ia memaksa dan bertanggung jawab membiayai.
Berkat tenaganya adik nomor duanya telah lulus Diploma III. Kesulitan lapangan kerja membuat adiknya itu tidak terlalu bisa berbuat lebih, selain membantunya di kebun. Sedangkan adik bungsunya juga sudah tamat SMK, tapi tidak lanjut. Biar adik perempuannya tamat dulu, katanya.
Baginya, pendidikan itu penting. Ia sudah merasakannya sebagai orang kurang pendidikan. Karena itu, ia berusaha untuk menyekolahkan adiknya sebisa mungkin.
“Tidak. Bukan itu. Tidak ada maksud agar mereka bisa jadi PNS atau lainnya,” jawabnya saat ditanya apa maksudnya menyekolahkan adik-adiknya. “Hanya supaya mereka berpendidikan. Syukur kalau memang nasibnya baik. Bisa kerja kantoran. Kalau tidak, ya gak apa.” Tambahnya.
Kedua, Sarjana Seni Banting Bakat Demi Keluarga
Ditengah maraknya para sarjana, di Gayo Lues, berjuang untuk menjadi Pegawai pemerintah, tak apa walau hanya honorer yang sebagian menghalalkan segala cara. Ran malah tidak tertarik. Ia malah memilih jadi Tauke Cabe dan Bawang merah, meneruskan profesi almarhum ayahnya.
“Mau makan apa adik-adik nanti?” Ia balik bertanya saat ditanya kenapa tidak mau jadi pegawai. “Siapa yang membiayai sekolah mereka? 500 ribu buat saya aja tidak cukup. Gajian tiga bulan sekali lagi.” Pesimisnya menjadi tenaga honorer.
Ia memang bisa dapat puluhan juta perbulan menjadi tauke, meski tak jarang rugi puluhan juta juga. Ia juga pernah menolak tawaran temannya dari luar daerah untuk menekuni keahliannya, seni lukis. Ia menolak. Karena penghasilannya tidak jelas. Padahal dapur keluarganya tidak mau tau penhasilannya.
Ketiga, Sarjana Administrasi Rela Mengajar di Sekolah Swasta
Apa yang dilakukan Jamal lain dari umumnya. Ia rela mengajar di sekolah Swasta yang kekurangan pengajar. Upahnya sangat kecil, Rp. 300 rb saja perbulan, kadang juga kurang. Juga tidak ada iming-iming adanya SK pemerintah, yang nantinya ada kemungkinan pengangkatan jadi PNS atau bisa ikut tes K2—yang umumnya para honorer mengejar itu.
Saya tanya: kok mau jadi Guru?