Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Apa Dipandang 'Hina' demi Pendidikan

25 April 2017   18:53 Diperbarui: 2 Mei 2017   18:28 1371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak setuju pentingnya pendidikaan? Saya kira, kita semua setuju.

Alasannya, tidak lain: karena kehidupan yang baik tidak bisa lepas dari hasil pendidikan (belajar) yang baik pula. Anak yang baru lahir, tanpa diajari secara baik dan berkelanjutan, pasti di kala besar nanti akan timpang dalam menjalani aturan kehidupan—yang dibuat moyang terdahulu—itu sendiri.

Contoh sederhananya: seseorang yang sudah dewasa, sebut saja saya, dapat berkomunikasi dengan orang lain tak lepas sebab adanya pendidikan itu sendiri, secara perlahan dan dipaksakan para orang tua setiap hari mengajak anak-anaknya bicara, dan oleh waktu yang terus berlalu serta ‘memori’ telah menyimpan “kata-kata” yang pernah didengar, jadilah—secara perlahan anak itu bisa berbicara. Semua tidak terlepas dari pendidikan, bukan?

Contoh lainnya: Sekonyol-konyolnya maling di siang bolong, pasti belajar membobol kunci; sehina-hinanya seorang koruptor pasti mengecap pendidikan, apalagi yang berhasil menggondol hak rakyat berjumlah fantastis, wah, barang kali pelakunya sudah bergelar Master atau bahkan Doktor. (Catat: contoh ini perlu dibekukan).

Tidak bisa dipungkiri lagi, Negara kita Indonesia masih dalam pantauan sekarat akan rendahnya kualitas pendidikan. Terutama daerah yang tergolong 'kurang disentuh' oleh kemajuan. Meski demikian, terdapat banyak kabar juga kemerosotan pendidikan akibat kemajuan tadi.

Salah satu daerah yang kurang disentuh atau barang kali penyentuhnya yang kurang adalah Kabupaten Gayo Lues. Gayo Lues merupakan Kabupaten di daerah pendalam Aceh, asal penulis. Di tempat kelahiran penulis ini kualitas pendidikan masih (sangat) rendah. Entah pihak mana yang bertanggung jawab untuk itu.

Saya telah merasakan betapa dangkalnya kualitas pendidikan yang diperoleh ketika bersanding dengan teman-teman saya dari daerah lain Indonesia (2009). Saat itu saya mendapat anugrah, beasiswa dari pemerintah, sebagai siswa yang digolongkan berprestasi. Sebenarnya saya tidak merasa cukup berprestasi, ya, saya tidak merasa menaklukkan semua pelajaran-pelajaran jurusan IPA yang saya pilih. Alasannya, saya tidak tertarik belajar; sebab hitungan matematisnya saya tidak lanjut ke perguruan tinggi. Apa perlunya hanya sekedar SMA! Paham, kan? (kemudian saya mengaku keliru).

Tapi meski begitu, saya pemegang 'panggung' beberapa mata pelajaran di kelas: Matematika, Bahasa Inggris dan Fisika, bahkan dari SMP begitu penilaian guru dan teman-teman saya (saya senang ketika itu, karena yang lain menganggap pelajaran itu mematikan).

Tentu semua penghargaan kepada saya hanya sebatas versi kelas dan pengajar. Saya mengetahui saat kelas dua SMA. Saya mewakili sekolah untuk ikut bersaing dalam Olimpiade Sains tingkat Kabupaten, kebagian pelajaran Matematika. Di situ saya sudah sadar seperti apa kualitas matematika yang saya kuasai. Ya, peserta lain sibuk mengerjakan soal, saya masih sibuk memahami soal, sialnya semakin berusaha memahami semakin tidak mengerti. Anda sudah bisa tebak hasilnya? Saya juga tidak tau peringkat berapa, yang jelas saya tidak ikut dipanggil untuk bertanding di Provinsi.

Yang paling memprihatinkan saat kuliah. Berangkat dengan embel-embel nilai raport yang tinggi. Nyatanya, saya dipaksa kemampuan untuk menempati posisi buncit. Pelajaran yang dicap 'saya banget' oleh teman-teman SMA dan guru pelajaran itu, ternyata sukses membuat perasaan malu kambuh saat pembagian KRS. Ketiga mata kuliah yang serupa mata pelajaran 'saya baget' saat SMA tidak lebih baik dari sekedar nilai C dan D semata, dan sukses menempatkan saya di posisi 30 dari 30 mahasiswa dalam kelas saya. Menyedihkan.

Ketika curhat dengan teman asal Lampung tentang bagaimana prosesi belajar mereka saat SMA, saya tidak terlalu menyalahkan diri. Karena tempaan yang saya dapat memang tidak layang bertarung dengan teman kuliah lainnya. Teman saya bukan hanya dari Lampung juga daerah Jawa (minus Jogja), NTB, Sumut, Sumbar, Sulsel, Sulteng, Sultra, Kalteng dan kabupaten lain dari Provinsi Aceh: Banda Aceh dan Lhokseumawe. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun