“Iya.” Tambah yang lain.
“Alasannya?” Tanya pak Udin.
“Pak Geuchik tak mau,” Ia behenti dan menelan ludah. Penghuni pos ronda menunggu, penasaran. “Ia tak mau mengawinkan saya dengan Minah.” Lanjutnya dengan muka kecewa.
“Hahaha.”
Orang-orang langsung teringat janda genit, Minah. Dan orang sekampung tau kalau pak Geuchik mereka secara diam-diam sedang bermain asmara dengan Minah.
“Hahaha.”
Setelah dua bulan Keranda baru itu jadi. Kehebohan penduduk kampung terhenti. Lelucon pak Udin dan kolega akhirnya terjawab. Keranda baru itu telah mengantar penumpang pertama ke pemakaman umum.
Semua pengantar jenazah sedang khusuk mendengar lantunan do’a pak Imam. Lantunan do’a dan dibantu suaru merdu pak Imam mampu membuat sebagian yang hadir menitikkan air mata. Lelaki pembuat Keranda salah satunya. Ada juga yang tertidur, pak Geuchik orangnya.
Do’a pak Imam belum usai. Agaknya terlalu panjang untuk jenazah yang sudah dikubur, begitu menurut sebagian orang. Hah? Apa karena di nisan kayu itu hanya tertulis “UDIN BIN GAHAR” semata? Ah, aneh sekali jika hanya sebab itu. Iya, kan?
Gayo Lues, 2017