Setelah makan malam. Semua melepas penat. Tidak ada urusan lain. Biasanya ada beberapa orang yang berbincang-bincang di teras-teras rumah. Tapi, malam itu sunyi. Gelap. Semua penerangan telah dipadamkan sebelum tidur. Lelap.
Ayam jantan telah berkokok untuk ke tiga kalinya. Burung-burung Cicempala telah berkicau. Membangunkan tuannya. Tak ada satu manusia pun yang keluar rumah. Masih pulas, membalas lelah kemaren, dan jelas penerangan di Musala tidak menyala.
Tiba-tiba Guntur berbunyi nyaring. Semua terjaga. Langit seolah retak. Semua orang merasa terteror. Langit tanpa henti menakuti. Semua penduduk keluar rumah. Terperangah memandang langit yang berwarna hitam dengan garis-garis merah api. Mereka saling pandang. Setelahnya tidak takut lagi. Sudah biasa.
Mereka sadar belum mengisi perut. Semua masuk ke rumah masing-masing. Bersantap ria. Buru-buru. Dengan alasan harus tepat waktu menuju sawah—disiplin tadi. Belum ada yang keluar rumah. Suara letusan nyaring terdengar di hulu sungai. Nyaring sekali. Semua kaget. Rasa kaget belum usai, banjir bandang telah menyapu kampung Aliran Sungai dengan beringas. Tanpa ampun. Kampung Aliran Sungai dan penduduknya serta harta benda lenyap sudah.
Orang-orang kampung yang merantau, saat kembali mendapati kampung Aliran Sungai telah rata. Hanya bukit kecil di sebelah barat yang luput dari amukan banjir. Setelah ditelusuri, bukit tandus itu milik orang asing yang kurang diterima dua tahun lalu. Tanah yang tanpa tuan itu diwakafkan padanya. Orang yang diduga selangkah lagi menuju gila itu sudah tidak ada. Entah turut terbawa banjir atau sebelumnya telah diusir.
Orang-orang yang telah pulang dari perantauan sepakat membuat kampung diatas bukit itu. Mereka semua setuju Diatas Bukit nama kampung baru mereka. Itu asal muasal nama kampung pak udin.
Setelahnya meraka beranak pinak dan sekarang telah melewati tujuh generasi. Namun, kini ada yang berbeda dari moyang mereka terdahulu. Moyang mereka tidak peduli dengan apapun, selain sawah. Mereka-meraka kini sangat ingin tahu pada sesuatu apapun. Apa lagi yang bersifat baru.
Penduduk kampung Diatas Bukit tengah heboh dengan Keranda Baru. Belum jadi, tepatnya. Meski kehebohan itu meyeluruh, tentu ada kadarnya. Yang paling heboh adalah Pak Udin. Jika merinci ke belakang, mengutak-atik silsilah, pak Udin ternyata turunan dari keluarga yang paling sukses di kampung Aliran Sungai dulu.
Perbedaan pak udin dan moyangnya sangat kontras. Pak udin sangat kepo,sedangkan moyangnya cuek minta ampun. Pak udin paling melarat, sedangkan moyangnya sangat tajir. Moyangnya giat dan pekerja keras, tapi pak udin paling malas.
“Coba tebak, siapa penumpang pertama Keranda baru itu?” Tanya pak udin antusias.
Seketika orang-orang yang sedang duduk berjejer di pos ronda menoleh. Keranda yang sedang dirakit orang tua dibawah panggung Musala jadi pusat perhatian. Semua mengerutkan dahi, mencari jawaban dari pertanyaan pak Udin.