Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keranda Baru

18 April 2017   23:12 Diperbarui: 18 April 2017   23:50 2468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustraasi Keranda Baru. sumber:http://muslimmerapi.com

Tentu manusia punya sifat heboh pada sesuatu yang baru. Di mana-mana begitu. Itu juga bergantung kelasnya. Jika ada Gatget keluaran terbaru jelas pak Udin tidak tertarik. Kenapa? Ya, bukan kelasnya.

Orang-orang kota atau orang yang sudah pernah tau, pasti akan ingin lebih tau. Syukur kalau bisa beli. Pak Udin orang ndeso tulen pasalnya, wajar saja ia membuang muka. Pakai Handphonejadul pun tidak pernah. Apalagi benda-benda modern yang dibuat sepintar mungkin. Hal demikian tidak masuk sesuatu yang menarik bagi pak udin.

“Apalah itu? Mending kalau bisa dimakan.” Cueknya.

Terkadang kita merasa aneh pada kehebohan orang kampung—juga sebaliknya. Menurut kita itu sesuatu yang tidak perlu dihebohkan. Seperti kehebohan yang terjadi di Kampung Diatas Bukit. Ya, Diatas Bukit nama Kampung pak Udin tinggal.

Awal kisah, kenapa nama kampung itu Diatas Bukit, pernah suatu kejadian luar biasa, musibah tepatnya.

Ada sebuah kampung di tepi sungai. Namanya kampung Aliran Sungai. Semua penduduknya petani sawah. Tak ada bau amis kelaparan di kampung itu. Karena sawah mereka sangat subur. Penghasilan sekali bercocok tanam sebanding dengan tiga kali sawah di kampung lain. Makmur.

Jum’at hari itu. Sedari pagi, Matahari enggan menunjukkan diri. Padahal musim kemarau. Langit hitam pekat hampir menyerupai malam. Karena warna langit pagi itu sesuatu yang baru. Tentu penduduk Kampung Aliran Sungai heboh. Tapi, tak lama.

“Apa yang kau herani? Ayo ke sawah!”

Salah satu kepala keluarga yang paling makmur di kampung itu sudah tidak peduli dengan kondisi langit dan mengajak anak-anaknya ke sawah. Anak-anaknya nurut.

Orang-orang selalu berpedoman pada keluarga sukses itu. Sekira Matahari naik sepenggalahan, orang-orang langsung kembali bekerja ke sawah masing-masing. Walau pun tidak terlalu terang mereka semangat bekerja.

Hari itu sudah sekitar jam dua belas siang. Biasanya itu jam istirahat penduduk Kampung. Mereka sangat disiplin terhadap peraturan yang mereka buat sendiri itu. Secera kebetulan—karena mereka sangat disiplin—semua orang kampung tidak istirahat. Mereka mengganti waktu yang telah disia-siakan karena memandang langit yang tidak biasa paginya. Jadi, jum’at itu mereka tidak istirahat hingga maghrib—waktu istirahat sebelum malam. Langit masih hitam ketika itu.

Setelah makan malam. Semua melepas penat. Tidak ada urusan lain. Biasanya ada beberapa orang yang berbincang-bincang di teras-teras rumah. Tapi, malam itu sunyi. Gelap. Semua penerangan telah dipadamkan sebelum tidur. Lelap.

Ayam jantan telah berkokok untuk ke tiga kalinya. Burung-burung Cicempala telah berkicau. Membangunkan tuannya. Tak ada satu manusia pun yang keluar rumah. Masih pulas, membalas lelah kemaren, dan jelas penerangan di Musala tidak menyala.

Tiba-tiba Guntur berbunyi nyaring. Semua terjaga. Langit seolah retak. Semua orang merasa terteror. Langit tanpa henti menakuti. Semua penduduk keluar rumah. Terperangah memandang langit yang berwarna hitam dengan garis-garis merah api. Mereka saling pandang. Setelahnya tidak takut lagi. Sudah biasa.

Mereka sadar belum mengisi perut. Semua masuk ke rumah masing-masing. Bersantap ria. Buru-buru. Dengan alasan harus tepat waktu menuju sawah—disiplin tadi. Belum ada yang keluar rumah. Suara letusan nyaring terdengar di hulu sungai. Nyaring sekali. Semua kaget. Rasa kaget belum usai, banjir bandang telah menyapu kampung Aliran Sungai dengan beringas. Tanpa ampun. Kampung Aliran Sungai dan penduduknya serta harta benda lenyap sudah.

Orang-orang kampung yang merantau, saat kembali mendapati kampung Aliran Sungai telah rata. Hanya bukit kecil di sebelah barat yang luput dari amukan banjir. Setelah ditelusuri, bukit tandus itu milik orang asing yang kurang diterima dua tahun lalu. Tanah yang tanpa tuan itu diwakafkan padanya. Orang yang diduga selangkah lagi menuju gila itu sudah tidak ada. Entah turut terbawa banjir atau sebelumnya telah diusir.

Orang-orang yang telah pulang dari perantauan sepakat membuat kampung diatas bukit itu. Mereka semua setuju Diatas Bukit nama kampung baru mereka. Itu asal muasal nama kampung pak udin.

Setelahnya meraka beranak pinak dan sekarang telah melewati tujuh generasi. Namun, kini ada yang berbeda dari moyang mereka terdahulu. Moyang mereka tidak peduli dengan apapun, selain sawah. Mereka-meraka kini sangat ingin tahu pada sesuatu apapun. Apa lagi yang bersifat baru.

Penduduk kampung Diatas Bukit tengah heboh dengan Keranda Baru. Belum jadi, tepatnya. Meski kehebohan itu meyeluruh, tentu ada kadarnya. Yang paling heboh adalah Pak Udin. Jika merinci ke belakang, mengutak-atik silsilah, pak Udin ternyata turunan dari keluarga yang paling sukses di kampung Aliran Sungai dulu.

Perbedaan pak udin dan moyangnya sangat kontras. Pak udin sangat kepo,sedangkan moyangnya cuek minta ampun. Pak udin paling melarat, sedangkan moyangnya sangat tajir. Moyangnya giat dan pekerja keras, tapi pak udin paling malas.

“Coba tebak, siapa penumpang pertama Keranda baru itu?” Tanya pak udin antusias.

Seketika orang-orang yang sedang duduk berjejer di pos ronda menoleh. Keranda yang sedang dirakit orang tua dibawah panggung Musala jadi pusat perhatian. Semua mengerutkan dahi, mencari jawaban dari pertanyaan pak Udin.

“Pasti yang buat.”

“hahaha.” Tertawa meraka pecah.

Lelaki keriput yang akan berjasa atas alat transportasi ciptaannya menjadi sasaran. Lelaki itu memang jadi buah bibir di kampung. Karena sering kawin.

“Menurut saya pak Imam.”

“Hah! Kenapa?” Tanya pak udin.

Imam kampung meraka terlalu jauh dari kategori itu, terlalu muda. Masih banyak yang sepuh. Kedua mertua Pak Udin yang cerewat, contohnya. Jadi, menurut pak udin tidak jelas pilihan itu.

“Supaya Zakat tidak dikorupsi.”

“Hahaha.” Kembali mereka menyambut dengan tawa.

“Bukan,” Orang yang paling serius buka suara, semua diam. “Pak Geuchik lebih pantas.” Sambungnya.

Mendengar itu orang-orang berpandangan. Kepala kampung atau kepala desa mereka memang kejam. Juga mata duitan. Baru-baru ini muncul isu, dana APBKp ia tilap. Padahal saluran air bersih kampung belum kunjung beres. Bisa mandi tiap hari masih menjadi cita-cita penduduk kampung.

“Mmm. Itu pantas.” Salah satu mereka mendukung.

“Iya.” Tambah yang lain.

“Alasannya?” Tanya pak Udin.

“Pak Geuchik tak mau,” Ia behenti dan menelan ludah. Penghuni pos ronda menunggu, penasaran. “Ia tak mau mengawinkan saya dengan Minah.” Lanjutnya dengan muka kecewa.

“Hahaha.”

Orang-orang langsung teringat janda genit, Minah. Dan orang sekampung tau kalau pak Geuchik mereka secara diam-diam sedang bermain asmara dengan Minah.

“Hahaha.”

Setelah dua bulan Keranda baru itu jadi. Kehebohan penduduk kampung terhenti. Lelucon pak Udin dan kolega akhirnya terjawab. Keranda baru itu telah mengantar penumpang pertama ke pemakaman umum.

Semua pengantar jenazah sedang khusuk mendengar lantunan do’a pak Imam. Lantunan do’a dan dibantu suaru merdu pak Imam mampu membuat sebagian yang hadir menitikkan air mata. Lelaki pembuat Keranda salah satunya. Ada juga yang tertidur, pak Geuchik orangnya.

Do’a pak Imam belum usai. Agaknya terlalu panjang untuk jenazah yang sudah dikubur, begitu menurut sebagian orang. Hah? Apa karena di nisan kayu itu hanya tertulis “UDIN BIN GAHAR” semata? Ah, aneh sekali jika hanya sebab itu. Iya, kan?

Gayo Lues, 2017

Cerpen  Lainnya: Kode Alam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun